Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang diajukan Fathul Hadie Usman dan AD Afkar Rara. Salah satu poin gugatan ialah meminta agar nama calon anggota legislatif dihilangkan dari surat suara.
Sidang putusan perkara nomor 21/PUU-XXII/2024 digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (21/3/2024). Sidang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Ada sejumlah pasal dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 yang digugat para pemohon. Pasal-pasal itu yakni Pasal 14 huruf c, Pasal 342 ayat (2), Pasal 414 ayat (1), Pasal 415 ayat (1), Pasal 415 ayat (2), Pasal 420 UU huruf b,c,d dan Pasal 419.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu petitum itu berbunyi:
Menyatakan bahwa sepanjang frasa "......dan nama " yang terdapat dalam Pasal 342 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 342 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi berbunyi: 'Surat suara sebagaimana dimaksud pada pasal 341 ayat (1) huruf b, untuk calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota memuat tanda gambar partai politik, nomor urut partai politik, nomor urut calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan'.
Pemohon meminta agar surat suara disederhanakan hanya memuat nomor partai, gambar partai dan nomor urut calon sehingga pemilih cukup mencoblos nomor caleg dari partai tertentu. Alasannya, pemilih telah mendapat informasi soal siapa caleg yang ada pada nomor urut tersebut selama masa sosialisasi.
MK kemudian memberikan pertimbangan atas dalil-dalil pemohon. MK berpandangan keharusan mencantumkan nama calon dalam daftar surat suara pemilihan anggota legislatif merupakan konsekuensi logis dari sistem proporsional terbuka yang dianut Indonesia, termasuk yang dianut UU 7/2017.
Dengan menganut sistem proporsional terbuka, memuat gambar partai politik, nomor urut partai politik, nomor urut dan nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan menjadi keniscayaan atau tidak mungkin untuk dihindarkan.
"Secara substansial, keabsahan sistem pemilihan umum proporsional telah dinilai konstitusionalitasnya dan dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XX/2022," kata Hakim Saldi Isra
Oleh karena itu, Saldi mengatakan, menghilangkan frasa 'dan nama' dalam Pasal 342 ayat (2) UU 7/2017 sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon akan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XX/2022. Sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang yang telah dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah, menghilangkan nama calon dalam surat suara adalah tidak sejalan dengan pilihan atas sistem pemilihan umum proporsional terbuka.
"Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon sepanjang frasa 'dan nama' dalam Pasal 342 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum," ujarnya.
"Dengan demikian, dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 14 huruf c dan frasa 'dan nama' dalam Pasal 342 ayat (2) UU 7/2017 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," ujar MK.
MK juga menyebut pemohon kehilangan objek perkara soal pasal 414. Pasal itu mengatur soal parliamentary threshold yang telah diputus MK.
Berikut amar putusan MK atas gugatan pemohon:
1. Menyatakan dalil para Pemohon sepanjang pengujian Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) tidak dapat diterima.
2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Simak juga 'Ganjar-Mahfud Bakal Gugat Hasil Pilpres 2024 ke MK':