Sebagaimana diketahui, berbagai konflik dan peperangan terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Ada perang Rusia-Ukraina yang tidak kunjung selesai, konflik Israel-Hamas yang mengakibatkan korban sipil berjatuhan, hingga peningkatan ketegangan di Laut China Selatan.
Kondisi Geokonomi juga makin menunjukkan nuansa persaingan karena banyak negara mendorong kebijakan proteksionisme yang mengganggu rantai pasok global. Lantas, apa itu Otonomi Strategis?
"Otonomi Strategis seyogyanya menjadi bagian integral dari prinsip Bebas-Aktif yang merupakan fondasi kebijakan luar negeri Indonesia. Selama ini, Bebas-Aktif banyak diterjemahkan sebagai netralitas. Pemahaman ini perlu redefinisi," ujar Mantan Duta Besar Indonesia untuk Britania Raya, Irlandia, dan International Maritime Organization Rizal Sukma dalam keterangan tertulis, Kamis (11/1/2024).
Sementara itu Deputi Politik 5.0 TPN Ganjar-Mahfud Andi Widjajanto menerangkan Bebas-Aktif menurut Ganjar-Mahfud adalah keleluasaan menentukan posisi yang 100% sejalan kepentingan nasional. Menurutnya, penguatan kapasitas nasional menjadi kunci mewujudkan Otonomi Strategis. Namun, kondisi terkini menunjukkan tren pelemahan kapasitas nasional untuk mendukung diplomasi yang efektif.
"Skor Indonesia dalam Asia Power Index yang dirilis Lowy Institute mengalami tren penurunan. Tahun 2019, Indonesia mencatatkan skor power sebesar 20,6. Tahun 2023, skor Indonesia turun menjadi 19,4," jelas Andi.
Ia mengatakan Indonesia kini dikategorikan sebagai kekuatan menengah (middle power). Setidaknya, Indonesia harus mencatatkan skor 40 untuk menjadi kekuatan besar (major power) di kawasan.
Untuk itu, Ganjar-Mahfud akan mempercepat penguatan kapasitas nasional di segala dimensi agar Indonesia menjadi kekuatan maritim Indo-Pasifik. Sekaligus menjadi Garda Samudra (Guardian of the Seas) yang mampu menjalankan diplomasi maritim yang membawa manfaat secara konkret dan diakui global. Untuk menjadi Garda Samudra, Indonesia pun harus fokus berkomitmen dalam pelindungan kawasan maritim.
Namun, Andi mengatakan masih ada kekhawatiran dari wilayah kemaritiman kawasan, yakni sengketa Laut China Selatan yang melibatkan China dengan beberapa negara tetangga di ASEAN. Sebagai negara non-claimant, Indonesia akan terus berkiblat pada UNCLOS yang sudah mengatur regulasi luas kawasan bagi tiap-tiap negara berdaulat yang memiliki kawasan maritim.
Kesepakatan antara ASEAN dengan China terkait Laut China Selatan telah dilakukan melalui Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) dan Code of Conduct in the South China Sea (COC). Namun, proses negosiasi yang telah berjalan selama lebih dari 20 tahun ini tidak memberikan hasil yang berarti untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara yang damai.
Andi menegaskan Ganjar-Mahfud akan mendorong kesepakatan interim antara ASEAN-China terkait penanganan insiden dan utamanya kesepakatan mengenai aturan main serta langkah-langkah untuk mencegah terjadinya insiden dan konflik.
Selain itu, Ganjar-Mahfud akan mendorong revitalisasi dari ASEAN agar hal-hal yang mengganggu stabilitas Asia Tenggara, seperti sengketa Laut China Selatan, bisa diselesaikan dengan lebih cepat. Revitalisasi dilakukan antara lain dengan mendorong revisi Piagam ASEAN, khususnya mengenai mekanisme pengambilan keputusan dan menambahkan perihal mekanisme penanganan krisis.
Ia menambahkan Indonesia juga harus mampu berperan aktif memperjuangkan ketertiban dunia. Salah satunya krisis kemanusiaan di Gaza yang menjadi permasalahan mendesak saat ini.
"Kami berkomitmen penuh mendukung kemerdekaan dan kedaulatan penuh rakyat Palestina. Kami akan meluncurkan Indonesia Gaza Initiative untuk mempercepat pengiriman bantuan, membangun ulang Rumah Sakit Indonesia di Gaza, mendorong pemulihan kehidupan masyarakat di Gaza," ungkap Andi.
Sementara itu, Anggota Eksekutif TPN Ganjar-Mahfud Reine Prihandoko menjelaskan Ganjar-Mahfud memprioritaskan penguatan keterlibatan dalam rantai pasok global untuk memperkuat posisi Indonesia dalam dinamika geoekonomi global.
Namun berdasarkan data Global Connectedness Index yang dirilis oleh DHL, tren globalisasi keterhubungan Indonesia di berbagai aspek, termasuk perdagangan, terus menurun.
"Tahun 2017, Indonesia mencatatkan skor konektivitas sebesar 42, di periode 2019 hingga 2020 mengalami penurunan skor hingga 39," tuturnya.
Penurunan yang disebabkan oleh COVID-19 ini menurutnya harus segera dipulihkan. Ia pun berharap aktivitas ekspor dari UMKM serta koperasi dapat terus didorong. Sebab hal ini berperan penting bagi perekonomian Indonesia. Kerja sama perdagangan yang selama ini telah terjalin juga harus dioptimalisasi untuk meningkatkan surplus neraca perdagangan Indonesia.
Di sisi lain, Ganjar Pranowo menilai Indonesia memiliki banyak potensi dan bakat untuk menjadi representasi di dunia internasional. Hal ini pun disampaikan olehnya dalam debat capres ketiga pada Minggu (7/1) lalu.
"Di budaya populer, seniman berbakat seperti NIKI, Rich Brian, dan Voice of Baceprot perlu kita dukung. Mereka modal kita dalam melakukan diplomasi budaya dan menjadi pilar ekspor ekonomi kreatif Indonesia," kata Ganjar.
Ia menilai Diaspora Indonesia juga menjadi modal besar dalam diplomasi Indonesia karena mereka tersebar di berbagai negara. Para diaspora menurutnya memiliki skill tinggi dan bekerja di perusahaan-perusahaan top dunia. Contohnya, Dr. Carina ilmuwan Indonesia yang ikut menemukan vaksin COVID-19 di Oxford.
Pengetahuan dan pengalaman diaspora dinilai dapat bermanfaat bagi pembangunan nasional. Untuk itu, pihaknya akan mendorong penyusunan Peta Potensi Diaspora yang akan memudahkan interaksi dan menjalin kolaborasi.
Mengingat banyak masyarakat Indonesia di luar negeri, ia pun akan memprioritaskan perlindungan terhadap mereka. Ganjar-Mahfud akan terus memberikan dukungan terhadap perwakilan Indonesia di luar negeri sebagai garda terdepan perlindungan WNI. KTP Sakti yang mencakup diaspora juga diluncurkan untuk mewujudkan pelayanan prima terhadap masyarakat Indonesia di luar negeri.
Lebih lanjut, Ganjar menegaskan infrastruktur diplomasi harus diperkuat agar Indonesia mampu menarik manfaat konkret hubungan internasional. Diplomat akan menjadi garda terdepan dalam perjuangan kepentingan nasional. Strategi diplomasi juga perlu ditata, khususnya untuk memperjuangkan isu-isu yang bernilai strategis.
"Kami akan menugaskan Duta Besar Siber dan Teknologi Kritis serta Duta Besar Krisis Iklim yang akan menjadi garda untuk menggali potensi kerja sama, sekaligus untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia dalam isu-isu kekinian," tegas Ganjar.
(ega/ega)