Sekjen DAI Tegaskan Guyon Zulhas Bukan Penistaan Agama

Sekjen DAI Tegaskan Guyon Zulhas Bukan Penistaan Agama

Nurcholis Ma'arif - detikNews
Kamis, 21 Des 2023 12:05 WIB
Yusuf Burhanudin
Foto: Istimewa
Jakarta -

Sekjen Dai Amanat Indonesia (DAI) Yusuf Burhanudin ikut bicara soal potongan video Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) soal gerakan tahiyat dalam salat yang viral dan menjadi sorotan. Ia mengungkit guyonan yang sama pernah dilontarkan Ustaz Adi Hidayat dan Ustaz Abdul Somad.

"Padahal sebelumnya, candaan yang sama seputar 'amien' dalam akhir surat Al-Fatihah dan 'satu jari telunjuk' dalam tasyahud tahiyat, lebih dulu disuguhkan tokoh negeri dan dai nasional. Sebut saja UAS dan UAH, bahkan Anies Baswedan sendiri," ujar Yusuf dalam keterangannya, dikutip Kamis (20/12/2023).

"Berbeda dengan ketiganya, guyonan Zulhas dianggap bermasalah. Akibatnya, berbagai cacian, makian, bahkan sebutan 'kafir' dengan mudahnya dialamatkan kepada menteri perdagangan itu," imbuhya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut alumni Universitas Al-Azhar tersebut, salat sebagai ibadah utama umat Islam, seyogianya tidak dijadikan bahan dan materi candaan. Dalam agama, aksi ini termasuk 'Istihza', memperolok-olok ibadah.

Namun, sikap ini dinilai penistaan ketika pelakunya adalah orang kafir yang sengaja melecehkan ibadah agama Islam, atau kaum munafik yang bukan ahli salat (mushallin).

ADVERTISEMENT

"Tanpa upaya pembenaran dan apologetik, kita harus menimbang persoalan konteks guyonan ini dengan arif dan bijaksana. Jika dirunut ke belakang, candaan viral yang dilakukan beberapa tokoh negeri ini tidaklah berdiri sendiri," ujarnya.

"Bermula dari nomor dan simbol kampanye politik pilpres yang dikait-kaitkan dengan agama untuk memonopoli dan berebut siapa yang paling 'Islam'," imbuhnya.

Bagi pendukung paslon tertentu, nomor dan simbol kampanye bahkan diyakini isyarat alam semesta. Betapa tidak, simbol mereka dimaknai sama persis dengan akhir bacaan dalam doa surat Al-Fatihah maupun bernomor sesuai isyarat telunjuk dalam tahiyat salat.

Bagi internal pendukung capres tertentu, upaya cocoklogi dalam kasus di atas sebenarnya sah-sah saja. Namun menjadikan cocoklogi sebagai simbol dalam kampanye politik -apalagi terkait ibadah agama tertentu-tentu saja adalah 'penistaan' yang sesungguhnya.

Karena dengan begitu akan saling membenturkan sehingga pada saat yang sama menganulir dan mengabaikan suara umat Islam lain yang melabuhkan dukungan mereka kepada capres yang berbeda.

"Akibatnya, ketika yang satu nyebut 'amin', yang lain bilang 'qabul', yang satu tahiyat 'satu telunjuk', yang lain 'dua telunjuk' dan seterusnya," ujarnya.

Lebih lanjut Yusuf menjelaskan dalam perhelatan akbar Muhasabah Kebangsaan Ahad lalu (17/12), Dai Amanat Indonesia (DAI) menyerukan pemilu damai dan kampanye simpatik. Betapa tidak, umat Islam dengan mudahnya berseteru saling maki dan hujat antara saudara dengan lainnya hanya karena berbeda pilihan partai maupun presiden.

Dalam acara di Masjid Trans Studio Bandung (TSB) ini, Dai Amanat Indonesia (DAI) yang merupakan kumpulan sejumlah dai dan mubalig alumni Al-Azhar Mesir menegaskan susahnya merawat persaudaaran sesuai dengan yang diamanahkan para leluhur negeri terutama dalam keragaman Indonesia yang begitu kompleks dan berwarna.

DAI alumni Al-Azhar juga mengajak semua tokoh dan elemen negeri tidak larut dalam suasana saling caci dan hujat menghujat demi perolehan suara. Dalam Islam, hak bagi seorang muslim untuk mendapatkan keamanan dari ulah tangan dan lisan muslim lainnya (wajib).

"Dalam konteks inilah orang yang sengaja menebar hoaks, kebohongan, dan fitnah untuk mengadu domba umat di akar rumput, tidak akan pernah masuk surga. Para buzzer hoaks itu disebut dalam hadits sebagai 'Qathi'u Rahimin', pemecah belah simpul persatuan dan persaudaraan (HR. Muttafaq 'Alaih)," ujar Yusuf.

Bagi setiap timses kontestan pilpres hendaknya mengedepankan edukasi kesadaran mencerdaskan rakyat pemilih dengan tawaran program riil keumatan. Bukan menebar hoaks, buzzer, dan fitnah.

Lalu sebagai umat Islam, Yusuf mengajak perlu spirit bersama untuk bermigrasi dari politik simbol menuju politik etik, dari politik keagamaan kepada politik keumatan dan kebangsaan.

'Inilah politik wasatiyyah Al-Azhar Mesir, sebuah upaya moderasi keagamaan yang penuh toleran dan senantiasa bersikap tengah untuk menjadi wasit bagi konflik dan pertikaian keagamaan khususnya dalam masalah politik keuamatan baik itu antar agama maupun intra-agama," ujar Yusuf.

"Inilah politik ideal, yaitu sebuah kepentingan politik yang mengandaikan penilaian dan kampanye objektif terhadap kinerja para pasangan capres demi terwujudnya spirit dari Islam untuk Indonesia," pungkasnya.

Simak Video 'Pernyataan Zulhas soal Gerakan Tahiyat hingga Klarifikasinya':

[Gambas:Video 20detik]



(ncm/ega)



Hide Ads