Pada debat capres yang berlangsung di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Selasa (12/12) malam, calon presiden Anies Baswedan menyebut sejumlah masyarakat tidak percaya dengan proses demokrasi. Ia menyinggung soal kepercayaan terhadap partai politik yang rendah.
Anies menjelaskan, ketika berbicara demokrasi, minimal ada tiga faktor yang harus digarisbawahi, yakni kebebasan bicara, oposisi yang bebas mengkritik dan penyeimbang pemerintahan, serta adanya proses pemilu dan pilpres yang transparan.
Berkaitan dengan hal itu, pengamat politik Arifki Chaniago menilai bargaining position dan memperkuat daya tawar narasi 'perubahan' di masyarakat itu sah-sah saja. Tetapi juga harus selaras dengan sikap partai politik pengusungnya, yakni NasDem dan PKB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mas Anies harus menyelaraskan narasi perubahan yang dimainkannya dengan sikap politik NasDem dan PKB. Jika NasDem dan PKB masih berada di pemerintahan, berarti partai pengusung Anies setuju dengan keberlanjutan program Jokowi," ujar Arifki dalam keterangan tertulis, Rabu (13/12/2023).
Selain itu, kritik yang dilemparkan Anies terhadap demokrasi juga dinilai tidak relevan. Menurut Arifki, di era media sosial yang serba terbuka ini, setiap orang dapat dengan mudah menyampaikan atau mendapatkan informasi.
"Anies memainkan narasi demokrasi itu karena memang posisinya kontra dengan pemerintahan Jokowi. Tetapi pendukung Ganjar atau Anies yang hari ini posisinya menjadi pengkritik pemerintah masih bebas saja menyatakan pendapatnya," ungkap Arifki.
Ia juga menambahkan, dalam tiga tahun terakhir, skor indeks demokrasi justru menunjukkan kenaikan. Hal ini dapat dilihat dari data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
"Kita lihat saja data BPS, selama periode 2020 hingga 2022, skor indeks demokrasi buktinya mengalami kenaikan. Di tahun 2020 skornya 73,66, tahun 2021 itu 78,12, serta di tahun 2022 angkanya 80,41," tutup Arifki.
Lihat juga Video 'Timnas soal Anies Jadi Oposisi atau Gabung Menteri Jika Kalah Pilpres':