Mahkamah Agung (MA) mengimbau para penggugat pemilu untuk jangan membawa terlalu banyak bukti atau saksi. Sebab, proses pengadilan sengketa pemilu dibatasi waktu.
"Jangan terlalu banyak bukti atau saksi. Ada kecenderungan saksi sebanyak-banyaknya. Pengadilan hanya diberi 21 hari. Bahkan Mahkamah Agung hanya 12 hari," kata Ketua Muda MA bidang Tata Usaha Negara, Yulius.
Hal itu disampaikan dalam Seminar Nasional 'Peran Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Sengketa Proses Pemilu, Sengketa Pemilihan dan Pelanggaran Administrasi Pemilihan' yang digelar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) yang disiarkan chanel YouTube Unkris, Rabu (29/11/2023). Acara itu dibuka oleh mantan hakim agung Prof Gayus Lumbuun. Ikut memberikan sambutan dalam acara itu Dekan FH Unkris Prof Abdul Latief.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yulius juga membeberkan saat ini MA terkendala jumlah hakim agung yang terbatas dan usia yang tidak muda lagi. Rata-rata hakim agung berusia di atas 60 tahun.
"(Jumlah perkara) Tata Usaha Negara mendekati 9 ribu per tahun, hakim agungnya cuma 6 orang. Paling muda saya, 65 tahun. Sudah aki aki semua," ucap Yulius.
Fakta di atas menjadikan beban pengadilan sangat banyak dalam memutus perkara pemilu.
"Ada pil pahit tahun 2019. Seorang hakim TUN meninggal saat sidang. Mungkin karena terlalu capek karena sidang bisa melampui jam 12 malam," tutur Yulius.
Di sesi yang sama, dosen Fakultas Hukum Unkris, Teguh Satya Bakti menyampaikan MA memiliki kewenangan yang luar biasa dalam sengketa pemilu, selain MK. Bahkan, MA bisa mendiskualifikasi calon.
"MA mempunyai kewenangan yang sangat besar soal sengketa pemilu. Apabila terbukti adminstrasi pemilihan yang terstruktur, sistematis dan masif, MA punya kewenangan untuk mendiskualifikasi, bisa mengeluarkan seseorang calon. Di sengketa pilkada, pengadilan pernah melakuka itu seperti pilkada di Makassar," ucap Teguh.
(asp/dnu)