Platform Medsos juga Diminta Ikut Cegah Hoax-Hate Speech Jelang Pemilu

Platform Medsos juga Diminta Ikut Cegah Hoax-Hate Speech Jelang Pemilu

Mulia Budi - detikNews
Kamis, 02 Mar 2023 15:25 WIB
TBL TBL TBL kini ramai di media sosial seperti Tiktok dan Twitter. Sebenarnya, TBL ini singkatan dari apa sih?
Ilustrasi platform media sosial (medsos) (Foto: Getty Images/5./15 WEST)
Jakarta -

Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina menyebut pemerintah hingga akademisi harus berkolaborasi menangkal ujaran kebencian jelang Pemilu 2024. Menurutnya, upaya mencegah penyebaran ujaran kebencian harus dilakukan bersama.

"Saya harap ini menjadi gerakan bersama ya, menghalau hasutan kebencian itu, negara, masyarakat sipil dan juga kampus itu berkolaborasi," kata peneliti PUSAD Paramadina, Husni Mubarok, Kamis (2/3/2023).

Hal itu disampaikan dalam diskusi bertema 'Menangkal Ujaran Kebencian Dalam Pemilu 2024' di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Husni mengatakan kampus dapat berpartisipasi menjadi tuan rumah debat kandidat agar masyarakat dapat mengetahui program para kandidat calon legislatif tersebut. Dia menuturkan kampus juga tak seharusnya menolak undangan di media massa untuk menyampaikan gagasan terkait pemilu.

"Saya kira sebagaimana di pemilu Amerika ya, kampus bisa menjadi tuan rumah debat kandidat, sehingga kampus bisa bertanya kepada para kandidat, pertanyaan-pertanyaan program mereka itu apa, jadi kampus yang memaksa mereka berbicara mengenai program," ujar Husni.

ADVERTISEMENT

"Kampus juga harus banyak bersuara di media massa, jadi kampus jangan nggak mau kalau diundang oleh media massa untuk bicara," imbuhnya.

Dia mengatakan keberadaan tim sukses bayangan yang kerap menyebarkan konten ujaran kebencian melalui akun anonim di media sosial (medsos) juga perlu diwaspadai. Dia menyebut tim sukses bayangan berbeda dengan relawan yang memiliki identitas keanggotaan resmi dan terdaftar sebagai pendukung seorang caleg tertentu.

"(Tim sukses bayangan) Sangat diwaspadai, dan merekalah yang justru bisa dengan gampang menyebarkan politik identitas dan kemudian ketika dikejar oleh polisi dia akan menghilang, adminnya hilang," ucapnya.

Dia mengatakan kontra narasi dan narasi alternatif yang berorientasi pada kebijakan harus dibangun untuk menepis ujaran kebencian yang tak bisa dihindari di medsos. Dia menyebut gerakan membangun kontra narasi itu harus dilakukan bersama antara kampus, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga gerakan sipil.

"Jadi ini bisa jadi tantangan buat kita untuk mempengaruhi narasi publik, supaya di publik itu narasinya tidak dikuasai oleh mereka yang menyebarkan ujaran kebencian melainkan lebih kepada narasi yang mempersatukan," tuturnya.

Selain itu, Husni juga mengomentari surat edaran (SE) yang dikeluarkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo terkait penanganan pelanggaran ujaran kebencian. Menurutnya, ketentuan dalam SE itu terlalu longgar dan luas.

"Kita punya SE ujaran kebencian yamg dikeluarkan oleh Kapolri untuk internal kepolisian tetapi sayangnya dalam pendefinisiannya, itu masih mencantumkan banyak hal. Jadi penghinaan masuk, pencemaran nama baik masuk, penistaan masuk, perbuatan tidak menyenangkan masuk," katanya.

Menurutnya, jika merujuk Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik PBB (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), ada hal yang spesifik soal ujaran kebencian.

"Kalau merujuk ke ICCPR sebenernya tidak selonggar ini juga. Kalau ini terlalu longgar, sehingga pencemaran nama baik bisa disebut dikategorikan ke dalam hasutan kebencian atau ujaran kebencian, padahal sebetulnya itu tidak masuk," ujar Husni.

"Kemudian perbuatan tidak menyenangkan itu juga kan kadang-kadang bukan karena orang hasutan tapi baper aja, orang baper lalu melapor ke polisi dan itu masuk ke dalam ujaran kebencian, itu bahaya karena bisa masuk pasal karet yang bisa digunakan oleh siapa saja, termasuk oleh aparat atau pejabat," tambahnya.

Platform Medsos Perlu Terlibat

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, menilai narasi ujaran kebencian merupakan sebuah virus dalam Pemilu mendatang. Dia menyebut moderasi konten di berbagai platform digital perlu dilakukan.

"Saya melihat minimnya transparansi perusahaan media sosial terkait kebijakan mereka dalam moderasi konten. Dialog yang bermakna baru mungkin terjadi jika, pertama, platform digital punya kemauan yang genuine dan terbuka terkait algoritma mereka, termasuk transparan dalam engineering yang mereka lakukan. Tidak hanya mengirim PR tapi juga engineer atau programmer di belakang platform," kata Wijayanto.

Lihat juga Video 'Ancaman Serangan Siber di RI Diprediksi Akan Meningkat, Ini Sebabnya':

[Gambas:Video 20detik]



Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.

Dia mengatakan sejumlah platform digital memiliki keengganan untuk duduk bersama membahas moderasi konten. Menurutnya, hal itu menghambat upaya mengurangi hoax dan konten ujaran kebencian di media sosial.

"Kemarin saya diundang UNESCO untuk konferensi di Paris di markasnya UNESCO, konferensi itu mengundang semua platform digital untuk datang. Ada hal-hal menarik. Pertama, saya memperhatikan Meta nggak datang, TikTok nggak datang, Meta ada Instagram dan Facebook kan di sana, Twitter itu nggak datang. Elon Musk nggak datang, nggak mengirim delegasi. Padahal kalau kita mau platform digital bersih dari hoax, mereka harus mau diajak bicara. Tapi mereka nggak datang. Padahal UNESCO yang manggil," ujar dia.

Wijayanto mengatakan tak semua konten ujaran kebencian di medsos dapat terdeteksi lantaran perbedaan algoritma setiap platform digital. Dia menyebut kondisi itu juga diakui oleh platform digital, Meta.

"Nah mereka yang datang itu adalah ketika itu saya konfrontir, orang Meta mengatakan dia dari Ukraina kalau tidak salah, scientist, dia bilang kami menyadari kami memiliki kelemahan. Ada konten-konten tertentu yang tidak bisa mereka filter. Termasuk di dalamnya hate speech, hoax, yang sifatnya harus mikir itu nggak bisa karena algoritma Facebook dibikin engineer," katanya.

Dia mengatakan engineer platform medsos mengaku tak memahami hate speech, hoax, wacana analisis, hingga semiotika. Sementara, platform tersebut belum bisa melakukan penyaringan seperti saat menyaring konten ketelanjangan (nudity).

"Jadi artinya apa, masalahnya ada di engineer yang tidak peka pada konten sosial," ujar Wijayanto.

Wijayanto menyayangkan platform digital yang tidak mendatangkan engineer dalam pertemuan bersama. Dia menyebut platform digital jauh lebih banyak menghadirkan public relations (PR) sebagai perwakilan yang tak bersentuhan langsung dengan algoritma platform.

"Jadi, terus kemudian, hal lain adalah, selalu dikatakan ada algoritma dan lain-lain. Tapi bagaimana algoritma itu disusun dan cara kerjanya, logikanya seperti apa, kita tidak tahu, tidak transparan," ujarnya.

Dia mengatakan penyaringan konten ujaran kebencian di media sosial dapat dilakukan maksimal jika platform digital mau berdiskusi bersama. Dia menuturkan diskusi itu untuk membahas perbedaan dan kelemahan dalam menyaring konten ujaran kebencian.

"Nah kalau sudah diajak duduk bareng, bagaimana logic dari engineer-nya kita ketahui, baru bisa kita bicara apa perbedaan-perbedaan kita, apa yang bisa kita dialogaritmakan," ujarnya.

(jbr/jbr)



Hide Ads