Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari bicara soal kendala pembuktian politik uang dalam Pemilu. Menurutnya, mencari bukti politik uang menjadi salah satu hal yang sulit.
"Kemudian tentang politik uang, rumusannya jelas tapi paling susah pembuktiannya, saya kira teman-teman di Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan juga merasakan situasi yang sama, bunyi-bunyiannya (politik uang) banyak, tapi kemudian cari buktinya yang susah," kata Hasyim dalam Rakornas Sentra Gakkumdu yang disiarkan di YouTube Bawaslu, Selasa (20/9/2022).
Hasyim mengatakan politik uang salah satunya ialah pemberian uang secara langsung ke pemilih. Namun, katanya, hal itu bisa dimaknai berbeda jika yang diberikan adalah voucher untuk membeli bensin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi jelas, yang namanya politik uang itu jalan amplop, kalau bentuknya voucher untuk beli bensin atau segala macam bisa dimaknai tadi fasilitas untuk hadir di kampanye," katanya.
"Tapi harus diwaspadai. Gini, pernah jadi putusan Mahkamah Konstitusi, lebih dari 60 persen nama pemilih dilaporkan ke KPU sebagai bagian dari interesting kampanye, pernah terjadi di Kobar, Kota Waringin Barat, calon itu mendaftarkan 60 persen pemilih ke KPU didaftarkan sebagai tim kampanye, sehingga aspek formilnya masuk dikasih amplop, beli bensin, mau ditangkap Bawaslu, 'Eh ini tim kampanye saya mas, ini ada daftarnya'," sambungnya.
Menurutnya, membuktikan politik uang pada Pemilu menjadi tugas berat para penyelenggara pemilu. Dia menyebut pembuktian politik uang harus hati-hati.
"Pertanyaannya, secara substantif melanggar nggak? Ternyata aspek formilnya kan dia anggota tim kampanye, ini yang saya maksud teman-teman penegak hukum mulai dari Bawaslu terutama Kepolisian Kejaksaan mau mengkonstruksikan fakta ini harus hati-hati," kata Hasyim.
Hasyim kemudian memberikan contoh lain. Dia menyebut ketika seseorang menjadi calon dalam pemilu dan ingin memberikan zakat, maka nilai zakat yang diberikan tahun ini harus sama dengan tahun sebelumnya. Menurutnya, jika seperti itu, maka tidak dikategorikan sebagai politik uang.
"Saya pernah ditanya ketika, kalau nggak salah Pilkada Samarinda, Pilgub Kalimantan Timur, ada orang kaya nyalon, ditanya 'Mas ini kampanyenya pas musim Ramadhan, kalau saya calon ini mau bagi uang, padahal ini uang zakat, kira-kira kena pidana nggak? Money politic nggak?'. Saya katakan 'Nggak, tapi dengan catatan uang yang dibagi sama dengan uang tahun lalu sebelum jadi calon'," katanya.
"'Ya mas, ini beda metodenya saja, ini mau dibagi langsung supaya yang nerima lihat wajahnya, masuk kategori money politic nggak?'. Begitu zakat, kalau duitnya sama dengan tahun lalu, menurut saya bukan money politic, beda kalau tahun lalu Rp 1,5 miliar kemudian sekarang jadi Rp 3 miliar, nah baru Rp 1,5 miliar dalam rangka money politic," imbuhnya.
Sebelumnya, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, menyebut penyelenggara pemilu masih dihadapkan persoalan-persoalan klasik. Di antaranya adalah politik uang hingga mahar politik dalam pencalonan.
"Bawaslu masih dihadapkan pada persoalan-persoalan klasik kepemiluan dalam mengawal agenda elektoral 5 tahunan. Di antaranya, pertama adalah politik uang, mahar politik dalam pilkada, dalam pencalonan, ketidaknetralan ASN dan pegawai pemerintahan non ASN, politisasi birokrasi," kata Bagja di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (19/9).
Simak video 'Komisi II Buka Kemungkinan Bahas Nomor Parpol Tak Diganti dengan KPU':