Investigasi

Disiksa dan Dipaksa Menipu Bangsa Sendiri di Kamboja

Warga Indonesia dijebak bekerja secara paksa di perusahaan penipuan daring di perbatasan Kamboja-Vietnam. Sebagian dari mereka tidak digaji, disiksa, dan dikabarkan meninggal.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Rabu, 29 Oktober 2025

Mimpi buruk Bilal—bukan nama sebenarnya—menjadi nyata di negeri Angkor Wat. Bermula dari perkenalannya dengan agen penyalur kerja. Lewat media sosial Facebook, seorang agen menawarinya bekerja di Malaysia. Tak pikir lama, Bilal langsung menerima tawaran tersebut. Ia diberangkatkan lewat jalur laut dari Jakarta ke Malaysia. Namun, sesampai di negeri jiran itu, dia dibawa ke Vietnam dan dipaksa melintas jalur darat ke Kamboja.

Di Kamboja, paspor pria asal Jakarta itu dirampas. Ia kemudian dijual tanpa identitas ke perusahaan scammer. Sekitar tanggal 10 Oktober 2025, ia ditempatkan di sebuah kawasan terpencil berjarak sekitar 5 kilometer dari perbatasan Kamboja-Vietnam. Lokasinya berada di Provinsi Takeo, sekitar 1 kilometer dari Sungai Angkor Borei. Di sana, bersama ratusan WNI lain, ia dipaksa bekerja dan disiksa.

"Ditipu agen. Semua tidak sesuai harapan. Otak saya cuma (berpikir) bagaimana supaya bisa kabur aja, nggak peduli soal kerja dan uang," kata Bilal kepada detikX.

Beberapa pekerja yang memberontak mengalami luka-luka dan harus dirawat di rumah sakit setempat di Kamboja.
Foto : Dok. Istimewa

Kami nggak mau jadi mayat yang ketiga. Jadi ini pesanku, Bang, buat kawan-kawan warga Indonesia. Janganlah ada lagi yang kerja ke Kamboja dengan iming-iming gaji besar. Kalau dapat perusahaan seperti kami, ya siksaan yang ada. Cuman nangis saja setiap malam kalian."

Dia dan ratusan WNI lainnya ditempatkan di gedung-gedung berlantai 4-5 yang baru dibangun sekitar Maret lalu. Kompleks perusahaan itu seperti penjara atau sangkar yang dikelilingi pagar setinggi sekitar 3 meter. Di sekitar kawasan gedung adalah area perairan sungai dan dataran luas yang kerap digenangi air.

Setiap hari Bilal dipaksa bekerja mulai jam delapan pagi hingga pukul 12 tengah malam. Ruang kerjanya ia sebut mirip warnet. Dia dan para korban perbudakan lainnya dipaksa bekerja menjadi penipu melalui jaringan daring. Gaji yang dijanjikan sebesar USD 700. Namun gaji sebagian dari mereka tak kunjung dibayar. Jika tak memenuhi target, mereka disiksa dan dikenai denda.

"Ada di antara kami belum dibayar 6 bulan. Yang saya tahu hanya denda. Kalau nggak dapat member atau pelanggan, didenda. Gajinya dijanjikan USD 700, tapi sepeser pun kami nggak dapat. Bukan hanya denda, bahkan dipukulin. Buang air kecil aja didenda," ungkapnya.

Petugas keamanan gedung, kata Bilal, dibekali berbagai jenis senjata, seperti cambuk, tongkat besi, dan tongkat listrik, untuk menyiksa para WNI. Dalam beroperasi, para penjaga itu dibantu oleh penerjemah yang berasal dari Indonesia dan Kamboja.

"Kena (alat setrum) sekali bisa pingsan, yang gede itu, tegangannya gede. Kalau nggak dapat omzet, target, kami dapat hukuman. Disetrum dan dicambuk. Sudah trauma lihat teman kami disiksa dipukul," keluh Bilal.

Sugi—bukan nama sebenarnya—juga baru sampai di fasilitas penuh siksa itu sekitar awal Oktober. Ia mengaku kartu identitasnya dirampas dan ia dijual ke perusahaan penipuan tersebut. Tiap hari ia dipaksa bekerja sebagai love scammer dan menarget orang-orang di Indonesia.

"Kita disuruh kerja nipu bangsa sendiri. Jadi nyari target kayak di medsos, dipancing supaya mau pacaran. Setelah pacaran, baru kita ajak main di platform. Ada juga pakai link mirip ecommerce. Diiming-imingi jumlah uang, padahal itu tidak ada. Makanya di Indonesia banyak investasi bodong, nah itu larinya kemari," ungkap Sugi kepada detikX pekan lalu.

Menurut Sugi, lokasi itu dijaga ketat oleh banyak penjaga bersenjata. Bahkan sebagian dibekali senjata api. Penjaga di gerbang kebanyakan adalah orang-orang lokal Kamboja, sementara penjaga di tiap gedung dan yang bertugas menyiksa para korban disebut berasal dari Nepal.

Untuk tidur, mereka ditempatkan di satu ruangan khusus. Satu ruangan ditempati sekitar sepuluh orang. Menurut Sugi, tempatnya pengap dan panas. Di tiap lantai ditempatkan para penjaga bersenjata yang bertugas mengawasi para korban. Mereka juga bertugas menggiring dan memastikan para WNI langsung masuk ke ruangan masing-masing tiap tengah malam setelah kerja paksa.

"Tempat penyiksaan tidak pernah di ruangan istirahat pekerja. Tapi di kantor, sering disiksa di ruangan bos. Disetrum, dipukul," ungkap pria asal Medan tersebut.

Ono—bukan nama sebenarnya—sebelumnya juga menaruh harap akan bekerja di sebuah restoran. Nahas, ketika sampai, dia justru dijual ke perusahaan love scammer. Kartu identitasnya dirampas dan dia dipaksa menandatangani berbagai berkas.

"Kalau menolak, disiksa atau dijual ke perusahaan lain," kata Ono kepada detikX.

Pria asal Jawa Barat itu sudah sejak lama ingin pulang ke Indonesia. Namun ketiadaan biaya dan ancaman penyiksaan menjadi hambatan utama. 

"Ya nggak (menyangkal kabar yang menyatakan mereka tetap ingin kerja di Kamboja), kami itu ingin pulang," tegasnya.

Nasib serupa juga dialami Amir—bukan nama sebenarnya—pemuda asal Sumatra Utara yang tiba di Kamboja sekitar Februari 2025. Awalnya ia dipekerjakan di Kota Bavet sebagai admin judi online. Di sana ia mengaku sudah mendapatkan penyiksaan. Setelah itu, ia kembali dijual ke perusahaan online scammer di dekat Kota Chrey Thum, berbatasan langsung dengan Vietnam. Selama di situ, ia menyaksikan rekan-rekannya tak dibayar dan hanya disiksa.

"Kami ditempatkan di gedung Kimsha. Beberapa minggu itu sudah ada teman kami yang meninggal, sekitar bulan lalu," ungkap Amir kepada detikX.

Korban meninggal yang dimaksud Amir adalah Argo Prasetyo, anak muda usia 25 tahun dari Desa Karang Rejo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Menurutnya, kejadian itu bermula saat Amir menyampaikan niatnya kepada perusahaan untuk pulang ke Indonesia. Ia diberi tahu akan dibebaskan jika menebus diri sendiri dengan uang sebanyak USD 4.000. Sayangnya, hal itu hampir mustahil.

Demi memenuhi jumlah tebusan itu, Argo diminta terus bekerja sampai lemas. Karena dinilai bermalas-malasan, Argo justru disiksa.

"Jadinya dia ini dibawa pergi. Sehari dua hari setelah dibawa pergi, dia ditemukan habis dipukulin, badannya memar di tong sampah. Nah, setelah itu, baru dia masuk rumah sakit. Setelah itu, dengar kabar beberapa hari dia meninggal," jelas Amir.

Bukan hanya Argo, menurut Amir, ada satu korban lagi atas nama Rahmat asal Madura yang akhirnya meninggal setelah jatuh dari atas gedung. Setelah kejadian itu, Amir dan kawan-kawannya sempat dipindah ke gedung lain.

"Kami baru satu hari sampai, besoknya kerja langsung itu di tempat bos, sebelah itu udah lakukan pembantaian. Disetrum, pukulan ke badan, ke pantat, ke semuanyalah," terangnya.

"Disiksa kalau nggak dapat target atau member, nggak dapat omzet. Tapi gimana mau dapat omzet, kerja pun gemetaran kami," sambung Amir.

Segala bentuk penyiksaan itu akhirnya menyatukan hampir seluruh WNI di kawasan tersebut untuk melakukan pemberontakan pada 17 Oktober lalu. Dalam laporan resmi pemerintah, 11 WNI terluka dalam insiden tersebut. Dari informasi yang detikX himpun, setidaknya ada dua WNI yang tertembak dan dikabarkan hilang setelah peristiwa tersebut.

Sebuah kompleks gedung perkantoran dan hunian di Provinsi Takeo, Kamboja, pada 16 Oktober 2025. Di tempat seperti ini, usaha penipuan dijalankan. 
Foto : Reuters

"Kami nggak mau jadi mayat yang ketiga. Jadi ini pesanku, Bang, buat kawan-kawan warga Indonesia. Janganlah ada lagi yang kerja ke Kamboja dengan iming-iming gaji besar. Kalau dapat perusahaan seperti kami, ya siksaan yang ada. Cuman nangis saja setiap malam kalian," tegasnya.

Kini sebagian dari 110 WNI yang memberontak dan melarikan diri dari perusahaan yang memperbudak mereka itu masih hidup tak menentu di fasilitas imigrasi Kamboja di Phnom Penh. Mereka tidak seperti para WNI lainnya yang bisa pulang karena bisa membeli tiket perjalanan sendiri atau ditanggung kerabatnya. Kepada detikX, mereka mengaku sangat ingin pulang, tetapi hingga kini pemerintah belum menanggung biaya tiket ke Indonesia. Bantuan yang diberikan sejauh ini hanya berupa fasilitas pengurusan dokumen pengganti paspor.

Pemerintah Indonesia Dianggap Macan Kertas

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Yvonne mengatakan pemerintah melalui KBRI memberikan bantuan konsuler, termasuk verifikasi identitas, pendampingan, penerbitan surat perjalanan laksana paspor (SPLP), dan komunikasi dengan keluarga. Namun, untuk biaya kepulangan, ia mengakui hanya diberikan apabila seseorang telah diidentifikasi secara resmi sebagai korban perdagangan orang (TPPO) oleh aparat penegak hukum atau dalam kondisi darurat kemanusiaan tertentu, misalnya perang atau bencana alam.

"Hingga saat ini tidak ada informasi bahwa kasus kemarin adalah TPPO dan WNI yang keluar dari perusahaan merupakan korban TPPO," kata Yvonne kepada detikX pekan lalu.

Adapun terkait adanya korban jiwa maupun hilang, Kemenlu mengaku sudah menerima informasi tersebut. Saat ini, KBRI Phnom Penh bersama otoritas setempat mengklaim masih melakukan verifikasi dan pendataan.

"Sebelum kami menerima hasil pemeriksaan resmi dari kepolisian, kami belum dapat menyampaikan identitas maupun penyebab meninggalnya," ungkapnya.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, menilai maraknya WNI yang menjadi korban penipuan kerja dan perbudakan modern di Kamboja tak lepas dari jebakan lowongan kerja palsu yang beredar luas di media sosial. Modusnya biasanya berupa penawaran kerja bergaji tinggi di sektor digital, dengan posisi seperti customer service atau operator. Pelakunya sering kali adalah mantan pekerja di tempat serupa yang berhasil menggaet kelompok-kelompok terdekatnya, sehingga calon korban merasa yakin karena informasinya datang dari orang yang dikenal.

Target utamanya, menurut Wahyu, ialah anak muda melek digital yang ingin bekerja secara fleksibel. Banyak di antara mereka adalah korban pemutusan hubungan kerja (PHK) saat pandemi yang sebelumnya bekerja di sektor startup atau industri teknologi. Bagi Wahyu, kondisi ini menggambarkan situasi yang ia sebut sebagai fenomena lapar kerja. Sebuah dorongan mencari penghidupan apa pun bentuknya, bahkan dengan risiko tinggi di luar negeri.

“Lapar kerja ini mulai memuncak atau mulai menjadi fenomena sejak masa pandemi atau setelah pandemi,” jelas Wahyu kepada detikX akhir pekan lalu. 

Ia menjelaskan, ketika ekonomi merosot dan lapangan kerja menipis, banyak orang berani mengambil pekerjaan apa saja, termasuk di luar negeri, tanpa prosedur jelas. Situasi itu kemudian dimanfaatkan oleh sindikat internasional yang memanfaatkan celah antara tingginya kebutuhan kerja dan lemahnya pengawasan perekrutan.

Migrant Care mencatat fenomena ini membuat kasus perdagangan orang meningkat tajam. Data lembaga itu menunjukkan eskalasi hingga 700 persen selama periode pandemi hingga pasca-pandemi COVID-19. Sementara itu, Kamboja menjadi magnet baru karena kemudahan masuk dan lemahnya pengawasan di sektor digitalnya. Di sana, banyak WNI yang semula dijanjikan kerja di bidang teknologi justru dipaksa melakukan kejahatan daring, seperti online scamming.

Wahyu menilai penanganan pemerintah Indonesia terhadap persoalan ini masih lemah. Ia menyebut pendekatannya cenderung business as usual, belum ada langkah proaktif seperti kerja sama lintas negara untuk penggerebekan sindikat sebagaimana dilakukan Thailand atau Korea Selatan. 

“Padahal Indonesia ini pada keketuaan ASEAN tahun 2023 itu yang menelurkan deklarasi ASEAN untuk pencegahan perdagangan orang karena penyalahgunaan teknologi digital, tapi deklarasi ini hanya sekedar macan kertas,” ucapnya.

Ia juga menyinggung laporan Trafficking in Persons 2025 yang diterbitkan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, yang menyebut Kamboja, Laos, Myanmar, dan China sebagai state sponsor trafficking. Temuan itu, menurutnya, memperumit upaya diplomasi karena menunjukkan keterlibatan negara dalam kejahatan perdagangan orang.

Wahyu menilai akar masalah lain terletak pada kerangka hukum yang belum memadai. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dinilainya belum mampu menjangkau modus kejahatan baru berbasis digital. Karena itu, ia mendorong agar revisi segera dilakukan agar mampu menjerat pelaku kejahatan scamming online yang menjerumuskan ribuan pekerja muda Indonesia.


Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE