Ilustrasi : Edi Wahyono
Rabu, 22 Oktober 2025Galih—bukan nama sebenarnya—tak pernah membayangkan hidupnya akan bersinggungan dengan laut. Ia lahir dan besar di Pandeglang, Banten, jauh dari riuh pelabuhan. Pada usianya yang 26 tahun, Galih harus turut menyokong kebutuhan bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil di Depok, Jawa Barat.
Sampai suatu hari pada awal Agustus, seorang teman lama datang membawa kabar, ada pekerjaan di luar kota. Tak dijelaskan apa jenisnya, tak pula disebutkan berapa upahnya.
“Dia cuma bilang, mau kerja atau nggak. Kalau mau, berangkat sekarang,” kenang Galih kepada detikX. Nada yang terdengar memaksa membuatnya merasa seolah akan melewatkan pekerjaan berharga.
Terdesak kebutuhan ekonomi, Galih mengabaikan keraguannya. Dia berangkat. Dia berpikir tak ada pekerjaan lain yang mau menampung seseorang berijazah SD sepertinya.
Tanggal 6 Agustus pada hari penawaran itu juga, Galih meninggalkan Depok bersama teman yang menawarinya pekerjaan itu. Ia tak membawa banyak barang, hanya dua setel baju dan selembar fotokopi KTP. Uang saku pun nihil.
“Nggak bawa uang sama sekali,” ujarnya.
Saat itu ia hanya membayangkan pekerjaan yang bisa meraup penghasilan lebih besar dari ngamen. Soal jenis pekerjaan, gaji, atau tempat tujuan, semua masih samar.
Mereka naik mobil travel menuju Pekalongan, Jawa Tengah. Biaya perjalanan, kata temannya, akan ditanggung dulu oleh pihak ‘agen’ dan nanti dipotong dari gaji setelah ‘lepas tali’, istilah yang belakangan baru Galih pahami, yang artinya mulai berlayar.
Sesampainya di Pekalongan, Galih disodori urusan administrasi. Ia hanya membawa fotokopi KTP, tapi seorang calo menawarkan untuk membuatkan KTP elektronik palsu seharga Rp 300 ribu.
“Katanya nanti diganti kalau uang sudah cair,” ujarnya pelan.
Dari Pekalongan, rombongan itu melanjutkan perjalanan ke Bali, ke Pelabuhan Benoa. Selama dua hari dua malam perjalanan, Galih masih tak tahu pekerjaan apa yang menantinya. Ia baru sadar ketika tiba di dermaga dan langsung digiring naik ke atas kapal.
Belum ada kontrak, belum ada perjanjian gaji. Galih berada di kapal bersama sekitar 30 orang, yang sebagian besar juga tak tahu apa yang sedang mereka hadapi.
Baca Juga : Kapal Neraka di Pelabuhan Benoa

Potret gedung PT Awindo International di Penjaringan, Jakarta Utara.
Foto : Ani Mardatila/detikX
Keesokan paginya, ia dan yang lainnya diperintah membersihkan kapal, menguras tangki air, dan mengecat lambung kapal.
“Kerja dari pagi sampai sore. Malamnya gelap total, listrik mati,” katanya.
Tempat tidurnya hanya papan kayu, tanpa tikar, bantal, atau selimut. Air minum diambil dari laut yang ‘diolah entah bagaimana’, tapi tetap terasa asin. Makan dua kali sehari, lauk seadanya, nasi kadang masih setengah mentah.
“Tempat tidurnya kayak kandang ayam,” tuturnya. Mereka tidur berdesakan dalam satu ruangan hingga belasan orang.
Tiga hari berlalu tanpa kejelasan. Kapal belum juga berlayar, para pekerja hanya diperintah bersih-bersih serta mengepak logistik. Hingga suatu hari, rombongan aparat kepolisian datang ke pelabuhan.
“Bapak Kapolda Bali datang, nanya gimana cara kami bisa sampai ke sana,” tutur Galih.
Petugas meminta mereka menceritakan kondisi hidup di kapal, menyoal makan, mandi, tidur, dan perjalanan mereka dari kampung halaman. Dari situ, diketahui mereka merupakan calon anak buah kapal (ABK) yang direkrut secara tidak resmi oleh jaringan calo tenaga kerja laut.
Sebanyak 21 orang, termasuk Galih, kemudian dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Sejak itu, ia tak pernah kembali ke kapal. Teman yang mengajaknya pun hilang kabar. Setelah satu minggu bekerja di kapal tanpa upah dan tiga minggu menghadapi proses interogasi di Bali, Galih akhirnya berhasil pulang ke Depok.
Ia sempat berharap pekerjaan tersebut bisa memberi penghasilan lebih besar. Namun yang ia dapat justru kenyataan pahit: kerja tanpa upah, kondisi tak manusiawi, dan menjadi korban perdagangan manusia.
Sebulan lamanya, ia mesti menitipkan istri dan dua anaknya pada mertuanya. Anaknya sempat sakit dan ia tak bisa mengirim uang. Sebab, tak ada penghasilan sama sekali.
Cerita serupa juga datang dari dua korban lain, Santo yang berusia 40 tahun dari Malang, Jawa Timur, dan seorang pemuda berusia 21 tahun asal Surabaya. Keduanya direkrut untuk pekerjaan yang dijanjikan berupah layak. Tapi, begitu mereka naik kapal, kenyataannya berubah.
Awalnya mereka dijanjikan bayaran Rp 35 ribu per hari. Belum genap seminggu, upah itu diturunkan menjadi Rp 10 ribu. Ia diberi tahu, apabila nanti sudah lama kerja, upah bakal naik lagi. Namun janji itu tak pernah ditepati.

Makanan pun jauh dari layak. Mereka hanya diberi nasi setengah matang dan sambal yang dibuat dari cabai busuk. Beberapa ABK terserang diare. Air minum mereka berasal dari air palka, air bekas penampungan ikan yang disaring seadanya.
“Rasanya tetap asin dan amis,” ujar Santo.
Bau amis itu juga melekat di tubuh mereka. Saat disuruh membersihkan palka, tubuh mereka belepotan oli dan lendir ikan. Tak ada air bersih untuk mandi. Toilet kecil di kapal tak mampu menampung puluhan orang, membuat sebagian terpaksa mandi dengan air laut. Badannya perih, tapi pemuda asal Surabaya itu tak punya pilihan lain.
Pada malam hari, kapal berubah jadi gelap total. Listrik hanya menyala siang hari. Mereka tidur di atas papan tripleks tipis yang keras, sebagian bahkan di geladak luar, diterpa angin laut sepanjang malam. Seorang ABK datang dengan kaki keseleo dan tak pernah mendapat pengobatan layak. Ia hanya terbaring lemah di sudut kapal.
Yang paling tak terlupakan bagi mereka adalah malam ketika pemuda asal Surabaya menangis diam-diam di gelapnya kapal. Ia tak terbiasa bekerja seberat itu, apalagi diperlakukan tanpa belas kasih.
Seorang pemuda lain mengalami nasib serupa. Robi, korban berusia 18 tahun, tak pernah menyangka unggahan di Facebook bisa menyeretnya ke kapal di Bali. Ia tak lulus SMK dan sempat bekerja di warung empal gentong di Cirebon, Jawa Barat. Suatu hari, seseorang menghubunginya lewat Facebook. Katanya ada lowongan kerja packing di Pekalongan, dengan gaji Rp 1,5-3 juta.
“Awalnya ngobrol biasa aja, nanya mau kerja atau nggak,” cerita Robi. Tawaran itu terdengar masuk akal, apalagi makan dan rokok disebut ditanggung.
Beberapa hari kemudian, orang itu menjemputnya dengan mobil travel menuju Pekalongan. Namun, sesampainya di sana, janji kerja packing tiba-tiba berubah.
“Dibilangnya nanti kerjanya di kapal, bukan di pabrik,” ujar Robi. Gaji yang semula disebut jutaan berubah jadi Rp 45 ribu per hari, lalu turun lagi menjadi Rp 35 ribu.
Ia sempat ingin menolak, tapi tak punya jalan keluar. “Kalau mau pulang, disuruh bayar ongkos travel sama biaya admin,” katanya.
Uang di sakunya hanya Rp 100 ribu. Malam itu juga ia berangkat ke Bali, mengikuti rombongan lain yang juga baru direkrut.
Robi memilih tidak memberi tahu orang tuanya di Pemalang, Jawa Tengah. “Saya takut mereka khawatir,” ucapnya lirih.

Potret lobi kantor PT Awindo International di Penjaringan, Jakarta Utara.
Foto : Ani Mardatila/detikX
Dalam perjalanan menuju pelabuhan, ia mulai menebak-nebak arah hidupnya. “Saya udah kepikiran, kayaknya nasib saya bakal nggak jelas di laut entah sampai kapan, entah hidup atau nggak,” katanya.
Sesampainya di kapal, kekhawatiran itu terbukti. Ia tidur di papan kayu sempit beratap langit malam, bersama belasan orang lain, makan nasi yang sering belum matang dengan lauk tempe dua jari juga mi dua sendok. Upah sempat diberikan, tetapi dengan catatan merupakan upah kasbon alias utang sebesar Rp 350 ribu. Ia kirimkan Rp 50 ribu kepada ibunya agar tak gelisah atas keadaannya.
Setelah lima hari, aparat kepolisian datang dan mengevakuasi mereka dari kapal yang diduga menjadi bagian praktik perdagangan orang.
Ia menghela napas berat sebelum menutup telepon. “Istilahnya ya ini (pengalaman) yang nggak enak buat orang yang tak seberuntung saya, tapi saya aja masih diberi keberuntungan diselamatkan. Entah gimana kalau nggak, saya nggak tahu ceritanya, entah hidup atau nggak,” katanya.
Tim Advokasi Perlindungan Pekerja Perikanan I Gede Andi Winaba menyebut unsur tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam kasus di KM Awindo 2A sudah terlihat jelas.
“Bagaimana dari terlapor-terlapor ini, itu diduga melakukan proses perekrutan, penampungan, pemindahan dengan cara penipuan,” ujarnya kepada detikX.
Ia menambahkan, korban awalnya dijanjikan bekerja di kapal collecting atau unit pengelolaan ikan, tetapi kenyataannya ditempatkan di kapal cumi. Beban kerjanya pun jauh lebih berat dan masa kerja lebih lama di laut.
Selain itu, mereka juga sempat disekap di Pekalongan sebelum diberangkatkan, lalu dijaga ketat saat di kapal hingga tidak bisa turun ke darat.
“Yang menjadi unsur TPPO yang sangat jelas itu soal mereka ini statusnya sebenarnya belum jelas. Mereka itu belum menjadi pekerja, belum sah menjadi ABK, tapi sudah dipekerjakan,” kata Andi.
Ia menjelaskan forum multi-stakeholder yang melibatkan dinas terkait telah menyimpulkan: korban bukan pekerja karena belum menerima upah, meski sudah bekerja di bawah perintah perusahaan.
“Tujuan eksploitasinya itu sangat terlihat jelas,” dia menegaskan.
detikX telah berupaya mengonfirmasi kasus ini kepada Madong Nadeak melalui nomor WhatsApp, posel kantor yang tertera di situs web resmi PT Awindo International, dan mengirim surat ke kantor perusahaan itu. Juga sudah berupaya mengirim surat permohonan wawancara kepada Rustam selaku direktur utama ke kantor perusahaan tersebut. Namun hingga kini seluruhnya belum ada respons.
Sejak 9 Oktober, Polda Bali menetapkan enam tersangka dalam kasus TPPO ini. Mereka terdiri dari tiga sindikat calo pekerja, nahkoda, anggota Polairud, dan Direktur PT Awindo atas nama Iwan. Pihak kepolisian juga telah menggeledah kantor perusahaan tersebut, baik di cabang Bali maupun pusatnya di Jakarta.
"Penyidik Polda Bali patut kiranya menduga bahwa pihak perusahaan terlibat di dalam eksploitasi ABK tersebut," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bali Kombes Pol I Gede Adhi Mulyawarman kepada detikX.
Reporter: Ani Mardatila, Ahmad Thovan Sugandi, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim