Kapal Neraka di Pelabuhan Benoa
Kapal Neraka di Pelabuhan Benoa
Puluhan awak kapal perikanan jadi korban perdagangan orang. Mereka dijebak, disekap, dan diperlakukan tak manusiawi oleh sindikat yang terafiliasi dengan perusahaan pemilik kapal.
Tersambung. Miftah—bukan nama sebenarnya—menghubungi nomor Rizki yang tertera di sebuah unggahan Facebook, pada awal Agustus lalu. Isinya iklan lowongan sebagai anak buah kapal (ABK). Ia tergiur. Seorang yang mengaku sebagai perekrut ABK dari sebuah perusahaan itu merespons Miftah dengan menawarkan untuk dijemput dan segera bekerja.
Miftah, yang sehari-hari berjualan bakso khas Malang, setuju. Sebab, gaji yang ditawarkan puluhan juta untuk sekali berlayar.
"Saya chat dia jam 1 siang, lalu dijemput jam 3 sore," kata laki-laki berusia 40 tahun itu kepada detikX.
Hari itu juga, ia menjual telepon selulernya dengan harga Rp 800 ribu. Dari hasil penjualannya, sekitar Rp 200 ribu ia gunakan untuk uang saku. Sisanya ia berikan kepada istrinya guna pegangan di rumah. Tak diduga, dalam perjalanan itu, ia justru berakhir ditipu dan disekap.
Kondisi serupa dialami oleh Harun—bukan nama sebenarnya. Putus asa mencari pekerjaan, laki-laki berusia 28 tahun ini tergiur oleh tawaran serupa. Mulanya ia masuk ke grup Facebook yang khusus menawarkan pekerjaan sebagai ABK. Merasa tertarik, pada 6 Agustus ia menghubungi nomor tertera atas nama Adam. Ia ditawari pekerjaan di Pelabuhan Muara Baru, Jakarta Utara. Ia mengiyakan tawaran itu karena dijanjikan upah Rp 6 juta di awal.
Pada hari yang sama, pria asal Depok, Jawa Barat, itu diminta bersiap. Bahkan seorang perekrut memintanya mengajak seorang teman ikut ke Muara Baru. Lalu sekitar pukul sebelas malam, akhirnya ia dijemput dengan mobil. Namun, di perjalanan, ia sempat panik karena mengetahui mobil yang ditumpanginya ternyata menuju Pekalongan, Jawa Tengah, bukan Jakarta Utara. Dia tak bisa menolak karena diancam mengembalikan dana hingga jutaan rupiah sebagai pengganti administrasi dan biaya penjemputan. Akhirnya ia pasrah dijebak.
"Saya kaget juga di situ, mau pulang tapi saya nggak megang duit. Mau nggak mau saya terpaksa," kata Harun kepada detikX.
Hal yang sama dialami oleh Bagus—bukan nama sebenarnya—pada 7 Agustus lalu. Laki-laki berusia 21 tahun itu awalnya bingung mencari pekerjaan karena menjadi korban PHK. Sampai kemudian ia mendapati lowongan sebagai pekerja di Pelabuhan Muara Baru yang ditawarkan oleh seorang bernama Herman melalui unggahan Facebook.
Sekitar pukul sepuluh malam, ia menghubungi nomor Herman. Gayung bersambut, Herman cepat membalas dan meminta Bagus bersiap. Sekitar pukul 12 malam, ia dijemput dengan mobil dari kediamannya di Madiun, Jawa Timur. Namun, di tengah jalan, ia diturunkan di sebuah rumah makan di daerah Caruban, Madiun, untuk dipertemukan dengan atasan Herman bernama Refdi. Di situ Bagus diminta bekerja di kapal penangkap cumi, yang akan berangkat dari Pelabuhan Benoa, Bali.
Bagus awalnya bersikeras menolak karena tawaran itu tak sesuai dengan kesepakatan awal. Namun, karena diancam untuk mengganti biaya administrasi dan penjemputan sebesar Rp 2,5 juta, ia terpaksa ikut.
Nasib sial juga menghampiri Jupri—bukan nama sebenarnya, anak muda yang baru beberapa hari menginjak usia 18 tahun. Ia awalnya dijanjikan upah Rp 3 juta tiap bulannya. Namun, sesampai di Pekalongan, ia dipaksa ikut melaut dengan kurun waktu hampir satu tahun. Upahnya disebut hanya Rp 35 ribu per hari.
Neraka Bermula dari Pekalongan

Semua kontak awal yang dihubungi korban adalah anggota sindikat calo yang bertugas mencari sebanyak-banyaknya korban untuk dipekerjakan secara paksa. Mereka disebut berada dalam koordinasi seorang yang bernama Refdiyanto, laki-laki berusia 26 tahun asal Kota Pekalongan.
Pada 4-6 Agustus, para korban dibawa secara paksa dan disekap di Kota Pekalongan. Menurut penuturan para korban, mereka dibawa oleh Refdi ke salah satu rumah di Jalan Palapa I, Desa Kandang Panjang, Kecamatan Pekalongan Utara, Pekalongan. Rumah itu disebut juga sebagai kantor penyedia jasa travel.
Pada 7 Agustus, sekitar pukul delapan malam, para korban dibawa menggunakan dua minibus menuju Pelabuhan Benoa di Denpasar, Bali. Per mobil ada 12 hingga 13 korban. Di tiap mobil setidaknya ada dua hingga tiga pengawal yang bertugas menjaga para korban agar tidak kabur.
Besoknya, sekitar pukul sebelas siang, saat melintas di Probolinggo, Jawa Timur, salah satu mobil mengalami kerusakan dan berhenti di bengkel. Kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh tiga korban, yang akhirnya berhasil melarikan diri.
Setelah itu, saat memasuki area Pelabuhan Ketapang, salah satu korban menyaksikan seorang petugas pelabuhan membantu memuluskan perjalanan rombongan tersebut untuk segera menyeberang. Korban juga menyaksikan komplotan sindikat TPPO menyerahkan sejumlah uang kepada petugas sembari memalsukan jumlah penumpang dalam minibus tersebut.
Rombongan pertama tiba di Benoa sekitar pukul sembilan pagi, pada 8 Agustus. Adapun rombongan kedua, yang kendaraannya sempat bermasalah, baru tiba di pelabuhan pada 9 Agustus sekitar pukul empat sore.
"Waktu sampai diabsen sama calo. Kok tiga orang ini nggak ada. Nah, pengawal yang di mobil itu sempet dimarahin juga, ditanyain kenapa bisa kabur gini," ungkap Bagus, salah satu korban yang identitasnya detikX samarkan.
Para korban langsung ditempatkan di kapal penangkap cumi kapal motor Awindo 2A milik PT Awindo International. Kapal ini terisolasi di tengah laut dan hanya bisa diakses dengan perahu kecil sekitar sepuluh menit dari darat.
Dua korban sempat memberontak dan menolak penempatan itu karena tak sesuai kesepakatan. Mereka kemudian dibawa ke rumah salah satu calo bernama Titin Sumartini alias Mama Ina. Rumah itu terletak di Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar.
Di sana, keduanya diintimidasi dan diancam agar membayar Rp 2,4 juta sebagai biaya keberangkatan ke Bali. Tak sanggup membayar, mereka akhirnya menyerah dan terpaksa menyetujui penempatan di kapal penangkap cumi-cumi.
Hari yang sama, seorang anggota Polairud datang bersama komplotan pelaku TPPO itu ke atas kapal. Mereka merampas kartu identitas korban dengan dalih melakukan pendataan. Belakangan diketahui anggota Polairud ini adalah I Putu Setyawan, yang diduga berkomplot dengan para pelaku TPPO.
Sejak 8 hingga 12 Agustus 2025, puluhan korban disekap di KM Awindo 2A sambil menunggu keberangkatan. Ponsel mereka disita, KTP ditahan, dan siapa pun yang menolak berangkat dimintai uang tebusan Rp 2,5 juta. Selama ‘penahanan’, mereka dipaksa bekerja membersihkan dan mengecat kapal tanpa alat pelindung. Mereka juga harus menguras solar dan menimba air palka karena mesin penyedot rusak.
Makanan yang disuguhkan kepada mereka tidak layak. Mereka dipaksa makan enam bungkus mi instan yang dihancurkan lalu dibagi untuk 30 orang. Tiap orang mendapat jatah 2-3 sendok mi. Mereka juga dipaksa menyantap sambal yang dibuat dari cabai busuk dan minum menggunakan air di palka kapal yang kotor, berbau amis, dan asin. Malam harinya, mereka terjebak dalam gelap karena kapal tak punya penerangan.
Sekitar 10 Agustus, para korban kembali didata oleh pihak PT Awindo International dan seorang anggota Polairud bernama Putu Setyawan. Seluruh korban difoto secara paksa sambil memegang KTP yang sudah lebih dulu disita.
Keesokan harinya, 11 Agustus, para anggota sindikat bersama anggota Polairud memaksa seluruh korban menandatangani perjanjian kerja laut (PKL) tanpa diberi waktu membaca. Isinya jauh dari janji awal. Dalam dokumen itu, mereka disebut dikontrak selama empat bulan dengan gaji ditulis Rp 3,1 juta per bulan plus BPJS, tetapi itu hanya formalitas. Faktanya, di kapal, mereka hanya menerima upah Rp 10 ribu per hari dan dipaksa bekerja di laut selama kurang lebih satu tahun ke depan.
Belakangan diketahui, ada bukti yang menunjukkan adanya transaksi dan aliran dana antara para calo, pihak perusahaan, dan anggota Polri tersebut. Aliran dana itu diduga merupakan bagian dari upaya tindak pidana perdagangan orang. Dalam kasus ini, para korban dijebak dan dieksploitasi sebagai awak kapal perikanan ilegal.
Membongkar Keterlibatan Aparatus Negara
Direktur Reskrimum Polda Bali I Gede Adhi Mulyawarman mengatakan pihaknya mendapat laporan dari warga terkait adanya aktivitas mencurigakan di kapal tersebut. Setelah dilakukan pengecekan, ternyata ditemukan para korban yang diperlakukan tidak manusiawi.
"Kami langsung tampung mereka. Para ABK ini waktu itu cukup banyak ya, ada 21 orang," kata polisi berpangkat kombes itu kepada detikX.
Kepolisian telah melakukan penggeledahan di kantor PT Awindo International, baik yang ada di Bali maupun kantor pusatnya di Jakarta. Dari sana ditemukan bukti-bukti yang mengarah keterlibatan perusahaan dalam TPPO. Beberapa alat bukti yang ditemukan adalah KTP para korban dan beberapa dokumen yang sebelumnya dipaksakan untuk ditandatangani oleh korban.
Salah satu temuan yang cukup mencolok dalam penggeledahan di kantor PT Awindo di Bali adalah ditemukannya benda mirip senjata api laras panjang. Namun, menurut polisi, setelah melakukan pengujian di labfor, benda itu dinyatakan sebagai replika.
"Kemudian juga dari bukti, kemudian juga petunjuk-petunjuk yang ada, sehingga kami penyidik Polda Bali patut kiranya menduga bahwa pihak perusahaan terlibat di dalam eksploitasi ABK tersebut," ucapnya.
Adhi membenarkan salah satu tersangka adalah anggota Polri. Saat ini pelaku tersebut juga sudah ditahan. "Ya, memang kebetulan salah satu ada di situ, ya kebetulan saja anggota Polri," tegasnya.
Ia menambahkan, salah satu bukti yang menguatkan adalah adanya transaksi keuangan yang mengalir di antara perusahaan, komplotan calo, maupun anggota Polri yang terlibat.
"Barang bukti pastilah ada beberapa salah satunya yang menyangkut transaksi dana," tuturnya.
Sejak 9 Oktober, Polda Bali menetapkan enam tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Refdiyanto, Titin Sumartini alias Mami Ina, Melyanus Alex Sander, dan Jaja Sucharja. Ketiganya adanya komplotan calo yang berperan mencari dan menjebak para korban. Sementara nama terakhir adalah nakhoda kapal. Ketiganya dikenai Pasal 2 Ayat (1) dan/atau Pasal 10 UU 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO.
Sementara itu, anggota Polri atas nama I Putu Setyawan ditetapkan sebagai tersangka dan dipersangkakan dengan Pasal 2 Ayat (1), Pasal 8 Ayat (1), dan Pasal 10 Ayat (1) UU 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO. Adapun Direktur Awindo atas nama Iwan ditetapkan sebagai tersangka dan dikenai Pasal 2 Ayat (1), Pasal 10 Ayat (1), dan Pasal 15 UU TPPO.
Selain mereka, Direktur Utama Awindo juga telah diperiksa. Namun saat ini statusnya masih sebagai saksi. Menurut Polda Bali, saat ini penyidikan masih akan berlangsung dan dikembangkan.
Adapun Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Mochamad Idnillah mengaku pihaknya bisa memberikan sanksi terhadap perusahaan atau pemilik kapal yang terlibat TPPO. Sanksi tersebut dapat meliputi peringatan, pembekuan izin, hingga pencabutan izin. Namun, hingga kini, Awindo hanya mendapat sanksi berupa teguran atau peringatan.
"Ya, karena ini kan masih berproses. Masih berproses, kan. Tapi kami sudah berikan peringatan kepada pemilik kapal bahwa tindakan yang dilakukan, artinya dalam satu manajemen kapal itu, walaupun pemilik merasa ini adalah calo yang melakukan harus menjadi tetap tanggung jawab sebetulnya ada di pemilik kapal," kata Idnillah kepada detikX.
detikX telah berupaya mengonfirmasi kasus ini kepada Bapak Madong Nadeak melalui nomor WhatsApp, posel kantor yang tertera di situs web resmi PT Awindo International, dan mengirim surat ke kantor perusahaan itu. Juga sudah berupaya mengirim surat permohonan wawancara kepada Rustam selaku direktur utama ke kantor perusahaan tersebut. Namun hingga kini seluruhnya belum ada respons.
Baca juga: Dari Pengamen Jatuh ke Perbudakan Kapal
Pola Sama dan Berulang
Pola perdagangan orang di sektor perikanan terus berulang, dengan jejaring pelaku yang melibatkan calo, perusahaan, dan oknum aparatus negara dari berbagai instansi. Menurut pendamping hukum 21 korban dari Tim Advokasi Perlindungan Pekerja Perikanan (Tangkap), Siti Wahyatun, dari tiga kasus besar yang ditangani belakangan ini, skemanya hampir selalu serupa.

Prosesnya biasanya dimulai dari rekrutmen informal lewat media sosial, seperti Facebook, atau lewat kenalan dan tetangga yang sebelumnya pernah bekerja sebagai awak kapal. Dari situ dijanjikan pekerjaan di kapal perikanan luar negeri. Namun, di baliknya, ada keterlibatan pemilik modal dan perusahaan yang sengaja memanfaatkan sistem perekrutan gelap untuk menghindari tanggung jawab hukum.
Dalam beberapa kasus, perusahaan bahkan ikut membiayai pengacara bagi calo yang ditangkap. Mereka juga berusaha mendatangi rumah korban, menawarkan uang tunai untuk kesepakatan damai demi menghindari konsekuensi hukum serta sanksi lainnya. Di sisi lain, keberadaan aparatur negara yang hampir selalu muncul di banyak kasus diduga turut membantu mengamankan atau melindungi jaringan perekrut.
Dari tiga kasus terakhir, semuanya ada keterlibatan aparat. Ada yang secara aktif ikut mengawal aliran uang ke calo,”
kata Siti kepada detikX.
Ia menambahkan, praktik rekrutmen semacam ini dibiarkan karena lemahnya aturan dan pengawasan. Meski sudah ada Permen KP Nomor 33 Tahun 2021 tentang Pengawakan Kapal Perikanan, regulasi itu belum menyentuh aspek perekrutan dan perlindungan pekerja. Celah hukum ini dimanfaatkan perusahaan untuk mempekerjakan orang tanpa kontrak resmi, lalu menolak tanggung jawab ketika muncul persoalan hukum.
“Mereka bisa dengan mudah bilang tidak tahu siapa yang merekrut, karena sistemnya dianggap ‘kemitraan’ antara perusahaan dan nakhoda,” ujarnya.
Siti menyebut sebagian otoritas juga kerap menolak mengakui kasus semacam ini sebagai TPPO, dengan alasan para korban belum berangkat ke laut. Padahal unsur eksploitasi dan kerugian sudah jelas terbukti. Dalam beberapa kasus, pekerja mengalami tekanan psikologis hingga kehilangan uang. Bahkan ada korban yang dilaporkan hilang di laut dan belum ditemukan hingga kini.