INVESTIGASI

Makin Kusut Korupsi Baju Hazmat

Pengadaan APD tahun 2020 diselidiki KPK dan diduga merugikan negara ratusan miliar. Ternyata, para pihak yang terlibat juga tengah berseteru secara perdata di pengadilan.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Jumat, 17 November 2023

Delegasi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkunjung ke gudang PT Permana Putra Mandiri (PPM) di Kabupaten Bogor, Jumat, 31 Maret 2023. Dalam ruangan berlantai hijau tersebut, terdapat tumpukan kardus berisi sekitar 1,8 juta hazmat suit atau alat pelindung diri (APD). Kardus-kardus itu berlogo Kaltech, salah satu jenama dari produsen asal Korea Selatan.

“Itu dalam rangka pemeriksaan setempat oleh pengadilan. Kami meminta kepada hakim agar melihat barang yang sudah diproduksi tersebut di gudang,” ujar Donal Fariz, kuasa hukum Direktur PT PPM Ahmad Taufik, kepada detikX. Saat dihubungi, Taufik meminta agar Donal saja yang menjawab konfirmasi detikX.

Berdasarkan keterangan yang dimuat di situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Jaksel, majelis hakim menunggu hasil pemeriksaan setempat dari 30 Maret sampai 4 Mei. Setelah itu pengadilan memenangkan gugatan PT PPM pada 22 Juni.

Maret tahun lalu, PT PPM menggugat Kemenkes, BNPB, dan mantan Kepala Pusat Krisis Kemenkes Budi Sylvana atas dugaan wanprestasi atau ingkar janji terhadap komitmen pembelian 5 juta APD saat pandemi COVID-19 tiga tahun lalu, sebagaimana tertera dalam surat pesanannya, Surat No. KK.02.91/1/460/2020.

Dalam surat tertanggal 28 Maret 2020 itu, Budi Sylvana sebagai pejabat pembuat komitmen menunjuk PT PPM dan PT Energi Kita Indonesia (EKI) sebagai penyedia APD. Dasarnya Surat Edaran Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 3 Tahun 2020, yang mengatur tentang pengadaan darurat dalam pandemi.

Menurut sumber detikX, penunjukan PT EKI dilakukan lantaran perusahaan tersebut mengklaim telah membeli APD kepada konsorsium perusahaan garmen Korea Selatan, yang terdiri atas sekitar 20 korporasi, antara lain PT GA Indonesia dan PT Yoon Shin Jaya. Baju-baju itu dibuat di pabrik-pabrik di Jawa Barat tapi bahan bakunya impor dari Korsel. Sedangkan PT PPM, tercatat di e-katalog LKPP, telah menjadi distributor alat kesehatan sejak 2015.

“Klien saya adalah distributor yang memiliki IPAK, izin penyalur alat kesehatan. Pada saat itu PT PPM diwajibkan untuk membeli dari PT EKI,” Donal Fariz mengkonfirmasi.

Dari jumlah yang disepakati, pemerintah baru menyerap sekitar 3,2 juta APD dan menyetop pembelian di tengah jalan. Sebelum penghentian, para pihak telah sepakat menurunkan harga APD. Awalnya setiap APD dipatok Rp 684 ribu untuk barang yang dikirim hingga 27 April. Harga turun menjadi Rp 366.850 per APD untuk pengadaan dari 28 April hingga 7 Mei 2020, dan Rp 294 ribu per APD untuk pengiriman berikutnya.

Potret Donal Fariz.
Ilustrasi : Ari Saputra/detikcom

Budi Sylvana pada September 2020 mengatakan pihaknya tidak melanjutkan kerja sama tersebut karena APD yang dikirim merek Boho dan Kaltech. Padahal, menurutnya, Kemenkes hanya memesan merek Boho. Sedangkan menurut Donal, dalam surat pesanan tidak ada penyebutan merek yang disyaratkan.

Selain itu, ada laporan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahwa APD yang dibeli itu kemahalan. Dalam hasil audit Nomor 01 Gugus/PW/02/05/2020 pada 20 Mei 2020, BPKP mencatat kelebihan harga APD yang dipasok PT PPM dan PT EKI sebesar Rp 625 miliar. BPKP juga mendapati, PT EKI tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK), bukan pengusaha kena pajak, dan memonopoli usaha dengan mengharuskan PT PPM hanya membeli barang dari PT EKI, yang melanggar undang-undang.

Kepada detikX, Direktur Pengawasan Bidang Sosial dan Penanganan Bencana BPKP Wawan Yulianto membenarkan temuan tersebut.

“Semua hasil pengawasan BPKP telah diserahkan kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19,” tulis Wawan melalui pesan singkat pada Selasa, 14 November 2023.

Dalam perkembangannya, Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah LKPP Setya Budi Arijanta juga menyurati Budi Sylvana, memintanya memutus kontrak dengan PT PPM dan PT EKI secara sepihak. Ada sejumlah alasan menurut dokumen surat tertanggal 17 Januari 2022 yang didapat oleh detikX tersebut.

Pertama, PT EKI, yang tidak memiliki IPAK, malah dominan menentukan harga pada saat penawaran harga seharusnya dilakukan dengan penyedia yang memiliki IPAK. Kedua, kontrak itu cacat karena tidak mencantumkan sumber dana, batas akhir berlakunya kontrak, dan jadwal tahapan pengiriman APD. Ketiga, kontrak juga dinilai cacat karena ditandatangani PT EKI, yang tidak mempunyai IPAK.

Donal tidak setuju jika dikatakan ada pemutusan kontrak. “Tidak ada pembatalan sama sekali. Dan akhirnya terbukti (tidak batal) kan di persidangan. Justru klien saya yang rugi,” ungkapnya.

Berdasarkan putusan 22 Juni 2023, PN Jaksel menyatakan surat pesanan APD sah sepanjang berkaitan dengan posisi PT PPM sebagai penyedia dan Budi Sylvana sebagai pejabat pembuat komitmen. Kemenkes diminta menyerap 1,8 juta APD dengan harga Rp 170 ribu per APD, atau seluruhnya Rp 316 miliar. Sedangkan BNPB diminta mengalokasikan dana siap pakai atau anggaran lainnya untuk membayar APD tersebut.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Ilustrasi : Ari Saputra/detikcom

Donal mengaku telah menyurati Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk segera menjalankan putusan, serta menyatakan PT PPM masih bersedia menegosiasikan harga. Namun tak ada tanggapan dari Menkes atau Kemenkes.

Saat dimintai konfirmasi oleh detikX, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi hanya mengatakan pihaknya mengajukan banding atas putusan.

“Kita mengikuti proses dan saat ini akan banding terhadap putusan tersebut,” kata Nadia.

BNPB pun mengajukan banding. “BNPB menjalankan upaya hukum banding dan mengikuti seluruh proses peradilan. Permohonan banding sudah disampaikan oleh kuasa hukum BNPB kepada PN Jaksel pada 5 Juli 2023,” ujar Kepala BNPB Suharyanto kepada detikX.

KPK Turun Tangan, Tetapkan Tersangka
Ketidakwajaran harga Rp 625 miliar lantas jadi acuan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengusut dugaan korupsi dalam proyek pengadaan 5 juta APD. Kini, berdasarkan sumber detikX yang merupakan penegak hukum di KPK, diduga sudah ada tiga tersangka yang ditetapkan KPK, yaitu Budi Sylvana, Direktur PT EKI Satrio Wibowo, dan Direktur PT PPM Ahmad Taufik.

Kata Donal Fariz, Taufik kaget saat mendengar kabar itu. “Kok bisa saya, ya?” ia menirukan Taufik.

Menurutnya, Taufik justru menderita kerugian. Dari total invoice sekitar Rp 1,4 triliun untuk 3,2 juta APD saja, belum semuanya dibayarkan. Belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk merawat 1,8 juta APD yang masih di gudang.

“Memang BPKP menemukan kelebihan harga Rp 625 miliar, tapi ada juga kurang bayar Rp 617 miliar, ini belum dibayarkan (oleh Kemenkes),” ungkapnya.

Dia menambahkan, PT PPM sudah meminta agar penyerapan 1,8 juta APD dilakukan pada pengadaan tahap berikutnya. “Ada 1,8 juta belum diserap, ya diseraplah dulu, ngapain bikin pengadaan tahap II dan tahap III?”

Menurut dua sumber detikX, yang patut disoroti justru penunjukan PT EKI, yang jelas-jelas tidak memiliki IPAK. PT EKI disebut sebagai perusahaan ‘titipan’. Salah satu sumber bahkan mengatakan, dalam pengadaan APD tahap selanjutnya, masih ada lagi perusahaan titipan yang lain.

Donal turut mempertanyakan penunjukan PT EKI. “Sebetulnya, tanpa PT EKI, PT PPM bisa mengambil langsung dari produsen dan memberikan langsung kepada pemerintah,” ucapnya.

Ia menambahkan, Ahmad Taufik tidak mengenal Satrio Wibowo ataupun bersepakat menjalin kerja sama dengan PT EKI sebelum adanya surat pesanan. “Setelah 28 Maret,” ujar Donal.

“Kami justru melihat dia (Ahmad Taufik) adalah korban dalam sistem pengadaan dan tidak proporsionalnya pihak-pihak tertentu dalam pengadaan barang dan jasa,” imbuhnya.

Pada 10 November lalu, KPK menerbitkan daftar cegah terhadap mantan Sekretaris Utama BNPB Harmensyah dan seorang pengacara bernama Isdar Yusuf.


Reporter: Alya Nurbaiti, Fajar Yusuf Rasdianto, Rahmat Khairurizqi (magang)
Penulis: Alya Nurbaiti
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE