Foto : Dhio Gandhi/Unsplash
Minggu, 28 Desember 2025Deru koper yang diseret di lantai terminal, antrean kendaraan di jalur utama, dan kerumunan manusia yang bergerak perlahan di pusat kota menjadi potret yang nyaris selalu berulang setiap akhir tahun. Musim libur Natal dan Tahun Baru kembali tiba, dan seperti ritual tahunan yang tak tertulis, Yogyakarta sekali lagi menjadi tujuan jutaan orang yang ingin berlibur, melepas penat, sekaligus mencari jeda dari rutinitas.
Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta memprediksi sebanyak 7 juta wisatawan akan memasuki Kota Yogyakarta selama periode libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin betapa kuatnya daya tarik kota ini di mata wisatawan domestik.
Salah satu pintu masuk utama, Yogyakarta International Airport (YIA) di Kulon Progo, mencatat lonjakan kedatangan yang signifikan. Branch Communication and CSR Department Head YIA, Anita Herawati, mengungkapkan bahwa pada Sabtu (27/12), total pergerakan penumpang mencapai sekitar 12.300 orang dengan 86 pergerakan pesawat. Dari jumlah tersebut, sekitar 7.152 penumpang merupakan penumpang kedatangan.
“Pergerakan penumpang didominasi oleh penumpang kedatangan,” ujar Anita. Menurutnya, tingginya angka tersebut menegaskan bahwa Yogyakarta dan wilayah sekitarnya masih menjadi magnet utama untuk menghabiskan libur akhir tahun. Arus kedatangan bahkan diperkirakan terus mengalir hingga mendekati pergantian tahun, sebelum berbalik arah pada puncak arus balik yang diprediksi terjadi pada 4 Januari 2026, dengan estimasi 13.500 penumpang.

Suasana di jalan Mailoboro saat malam libur
Foto : Fuad Hasim
Di luar bandara, kepadatan juga terasa di berbagai destinasi wisata. Salah satu yang menikmati lonjakan paling nyata adalah wisata Lava Tour Merapi. Deretan jip berwarna mencolok tampak hilir mudik menyusuri jalur berbatu di lereng Merapi, membawa wisatawan yang ingin merasakan sensasi petualangan sekaligus melihat jejak erupsi gunung berapi paling aktif di Indonesia.
Ketua Asosiasi Jip Wisata Lereng Merapi (AJWLM), Dardiri, mengatakan lonjakan kunjungan sudah terasa sejak Kamis pekan lalu dan terus menanjak. “Jika dibandingkan hari biasa, kenaikan volume wisatawan mencapai angka 50 persen,” katanya. Dari sekitar 1.500 armada, sebanyak 1.400 jip beroperasi aktif, dengan satu jip bisa melakukan tiga hingga lima trip per hari. Perputaran wisatawan di kawasan ini diperkirakan mencapai 17 ribu hingga 18 ribu orang per hari.
Menariknya, jika pada musim libur sekolah kawasan ini didominasi rombongan pelajar, libur Nataru kali ini justru dipenuhi segmen keluarga. Wisatawan datang dari berbagai daerah, mulai dari Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Jawa Barat. Bagi pelaku wisata, lonjakan ini menjadi berkah setelah sempat mengalami penurunan kunjungan. Namun di balik ramainya aktivitas, aspek keselamatan tetap menjadi fokus utama, dengan ramp check armada dan pengetatan standar keamanan bagi para pengemudi.
Di tengah gelombang wisatawan itulah May, karyawan swasta asal Jakarta, untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Yogyakarta. Ia datang bersama kedua orang tuanya menggunakan mobil pribadi. “Orang tua saya belum pernah ke Jogja, jadi sekalian liburan bareng,” ujarnya.

Candi Prambanan
Foto : Pixabay/denysabri
Bagi May, perjalanan ini bukan sekadar liburan, tetapi pengalaman pertama mengenal Yogyakarta secara langsung. Dengan total anggaran sekitar Rp3–4 juta untuk transportasi, makan, penginapan, dan oleh-oleh yang dibagi bersama orang tuanya, May merasa biaya berlibur di Jogja masih relatif terjangkau. “Untuk makan dan akomodasi masih bisa disesuaikan dengan budget karena pilihannya banyak. Overall menurut saya worth it kalau liburan di Jogja lebih dari dua hari.”
Kesan pertamanya tentang kota ini begitu kuat. “Menurut saya Jogja itu kota yang ramah. Orang-orangnya kelihatan ramah, tempat wisatanya banyak dan beragam, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan dan sejarah,” katanya. Selama di Jogja, ia mengunjungi destinasi ikonik seperti Candi Prambanan, Malioboro, Pasar Kranggan, Tugu Jogja, dan Keraton, tempat-tempat yang menurutnya wajib didatangi untuk kunjungan pertama.
Meski menyadari kepadatan wisatawan yang tinggi, laki-laki berusia 30 tahun ini memilih bersikap santai. Ia dan keluarganya sengaja tidak membuat itinerary ketat. “Kami lebih spontan dan siap cari alternatif destinasi lain,” ujarnya. Bagi May, daya tarik Jogja terletak pada suasananya. “Jogja punya vibes yang khas, sesuatu yang menurut saya tidak dimiliki kota lain.”
Berbeda dengan May yang baru pertama kali datang, Raka, justru menjadikan Jogja sebagai destinasi rutin. Karyawan swasta asal Pemalang ini mengaku bisa datang ke Jogja tiga hingga empat kali dalam setahun. “Jogja itu seperti rumah kedua buat saya,” kata laki-laki berusia 25 tahun ini. Ia pernah menghabiskan masa SMA dan kuliah di kota ini, sehingga masih memiliki banyak teman dan ikatan emosional yang kuat.

Para seniman di sudut jalan Mailoboro di malam liburan.
Foto : Fuad Hasim
Bagi Raka, alasan kembali ke Jogja bukan hanya nostalgia, tetapi juga rasa nyaman. “Jogja itu kayak hampir setiap bulan ada yang baru. Entah itu kafe atau kuliner, jadi nggak bosen,” ujarnya. Aktivitas favoritnya pun sederhana, berburu coffee shop, kulineran, dan sesekali menjelajah pantai atau wisata alam di Kulon Progo, Gunungkidul, dan Bantul.
Soal biaya, Raka menilai Jogja sangat ramah di kantong, terutama bagi pekerja yang berdomisili di Jakarta. “Yang paling mahal itu biasanya tiket kereta. Sisanya untuk tempat tinggal dan makan nggak yang ngabisin biaya banyak. Harga makanan di Jogja relatif murah dibanding Jakarta,” katanya. Dengan budget sekitar Rp1,5–2 juta untuk perjalanan lima hari empat malam, Raka merasa liburan di Jogja tetap masuk akal, bahkan saat musim puncak Nataru.
Kepadatan wisatawan tak membuatnya gentar. Berbekal pengalaman tinggal lama di Jogja, Raka tahu waktu dan tempat yang perlu dihindari. “Malioboro pasti malam rame. Kalau siang biasanya nggak terlalu, karena panas,” ujarnya. Ia memilih datang pagi atau siang, menghindari jam-jam puncak, dan menjelajah tempat yang relatif lebih sepi.
Bagi Raka, keistimewaan Jogja terletak pada suasananya yang berbeda dari kota-kota besar lain. “Jogja terkenal slow living. Orang-orangnya ramah, welcome. Buat pekerja korporat seperti saya, itu sangat membantu buat nyegerin pikiran,” katanya.
Reporter: Khatibul Azizy Alfairuz
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim