Di antara ambisi menjangkau luar angkasa, terserak berbagai sampah antariksa yang melayang liar dan berlipat ganda. Limbah ini berpotensi melumpuhkan akses manusia selamanya.
Awalnya antariksa adalah ruang hening yang sempurna. Tak berdebu. Tak berjejak. Namun, sejak manusia menjangkaunya, kesunyian itu perlahan tercemar ambisi yang diroketkan teknologi. Di balik gemerlap teknologi, puing-puing sampah antariksa menjadi mimpi buruk yang mematikan.
Pada 1957, ketika Uni Soviet meluncurkan Sputnik 1, dunia bersorak. Namun, begitu misi berakhir, Sputnik 1 menjadi benda mati yang melayang liar di orbit Bumi. Ia adalah sampah pertama antariksa.
Setiap peluncuran berikutnya menambah jumlah serpihan yang terserak di orbit Bumi. Ada roket tahap kedua yang terlepas dan dibiarkan mengambang setelah misinya selesai, panel surya yang remuk karena ditabrak mikro meteorit, baut, dan serpihan cat yang terlepas dari satelit yang sudah tua. Tidak ada gravitasi yang bisa menariknya turun, tidak ada laut yang bisa menelannya, tidak ada angin yang bisa meniupnya pergi. Sekali sebuah benda melayang di orbit, ia bisa bertahan selama ratusan, bahkan ribuan tahun.
Pada awalnya, para ilmuwan tidak terlalu memikirkan nasib sisa-sisa itu. Fokus mereka ialah kemenangan politik dan kemajuan teknologi di tengah Perang Dingin. Namun, seiring waktu, orbit rendah Bumi (low Earth orbit) mulai dipenuhi ratusan ribu objek, dari satelit yang sudah mati hingga potongan logam sekecil serpihan cat yang bisa menembus panel surya dengan kecepatan 28 ribu kilometer per jam.
Pada 1978, Donald J Kessler, ilmuwan National Aeronautics and Space Administration (NASA), memberikan peringatan lewat papernya terkait Kessler Syndrome. Itu adalah skenario mengerikan dari benturan di orbit menghasilkan ribuan serpihan baru, lalu memicu reaksi berantai tanpa henti. Langit pun berubah jadi arena penuh puing logam yang berputar tak terkendali. Ini mengancam satelit komunikasi, stasiun luar angkasa, serta harapan manusia menjelajah antariksa.
Kini, lebih dari 60 tahun setelah Sputnik pertama mengudara, Bumi dikelilingi oleh awan tak kasatmata dari jutaan potongan logam, kaca, dan plastik. Ada satelit tua yang diam membeku di orbit seperti monumen era digital, ada sisa-sisa roket yang berputar tanpa tujuan, dan bahkan sarung tangan astronaut yang terlepas saat perbaikan di luar angkasa.
Macam-macam Sampah Antariksa
Satelit Mati
Satelit yang sudah kehilangan fungsi atau kehabisan bahan bakar kini melayang sunyi di orbit, menjadi saksi bisu ambisi manusia menjelajahi angkasa. Objek-objek ini sering dibiarkan begitu saja setelah misinya selesai, membentuk gugus ‘kuburan logam’ di langit.
Tahap Roket yang Ditinggalkan
Setiap kali roket mengantarkan muatan ke orbit, sebagian tubuhnya tertinggal di belakang, tabung bahan bakar raksasa, cincin penghubung, atau mesin pembantu yang tak lagi berguna. Beberapa bahkan tetap berputar tanpa kendali selama puluhan tahun, menjadi raksasa tidur di antara bintang.
Sisa Misi (Mission-Related Debris)
Dari baut kecil yang terlepas hingga penutup lensa yang terbuka di ruang hampa, sisa-sisa kecil ini merupakan jejak aktivitas manusia di orbit. Masing-masing mungkin tampak sepele, tapi pada kecepatan 28 ribu km/jam, sebutir logam sekecil mur bisa menembus panel satelit.
Partikel Mikro dan Debu Logam
Tak semua sampah antariksa bisa dilihat. Di antara puing besar itu, terdapat debu halus berupa serpihan cat, butiran logam, atau sisa pembakaran bahan bakar roket. Ukurannya mungkin hanya sepersekian milimeter, namun kecepatannya cukup untuk melubangi kaca jendela Stasiun Luar Angkasa Internasional.
Total sampah luar angkasa mengalami penurunan selama tiga tahun terakhir. NASA mencatat, per November 2022, sampah luar angkasa masih di kisaran 16.054. Limbah-limbah ini terdiri atas badan roket, satelit, dan pesawat ulang-alik yang sudah tidak berfungsi.
Namun, pada Juni 2025, jumlahnya berkurang hingga menjadi 15.182 unit. Diduga pengurangan itu terjadi lantaran sebagian sampah-sampah luar angkasa telah jatuh ke Bumi atau tercerai berai menjadi bagian-bagian yang sangat kecil.
Tiga negara adidaya, yakni Rusia, China, dan Amerika Serikat, menjadi penyumbang terbesar sampah-sampah luar angkasa ini. Ketiganya menyumbang sekitar 95 persen dari total sampah luar angkasa yang ada saat ini.
Negara Penyumbang Sampah Antariksa
Sampah Antariksa yang Jatuh ke Bumi
Roket Long March 5B (Tiongkok, 2022)
potongan besar roket kembali ke atmosfer dan sebagian jatuh di wilayah Kalimantan, memicu kekhawatiran global soal keselamatan.
Skylab (AS, 1979)
stasiun luar angkasa pertama milik NASA yang jatuh dan terbakar sebagian di langit Australia Barat.
Kosmos 954 (Uni Soviet, 1978)
satelit militer bertenaga nuklir yang jatuh di Kanada, meninggalkan jejak radioaktif di area seluas ribuan kilometer persegi.
Tiangong-1 (Tiongkok, 2018)
laboratorium ruang angkasa yang hilang kendali dan terbakar di atas Samudra Pasifik Selatan.
Ancaman Nyata yang Mengintai
Menurut catatan Agenzia Spaziale Italiana (ASI), di sekitar Bumi kini mengorbit sedikitnya 20 ribu benda berukuran lebih dari 10 sentimeter, sekitar 700 ribu benda yang diameternya melebihi 1 sentimeter, dan hingga 170 juta partikel kecil berukuran di atas 1 milimeter.
Laporan terbaru European Space Agency (ESA) dalam Space Environment Report 2025 menegaskan jumlah puing antariksa terus meningkat, meskipun berbagai upaya mitigasi telah dilakukan. Orbit rendah Bumi (low Earth orbit/LEO) semakin sesak, dipadati satelit aktif dan serpihan logam yang melayang tanpa kendali. Situasi ini menyulitkan satelit berfungsi dengan aman karena ruang manuver kian terbatas dan risiko tabrakan terus bertambah. Berikut bahaya yang mengintai:
Tabrakan Antarobjek dan Efek Berantai
Ketika satelit atau bagian roket bertabrakan dengan debris, bisa menghasilkan fragmen baru yang kemudian menambah jumlah objek berbahaya. Pola ini dapat mempercepat kerusakan orbit dan disebut efek Kessler Syndrome (sindrom Kessler).
Risiko terhadap Satelit dan Infrastruktur Ruang Angkasa
Collision (tabrakan antar dua objek di orbit) dengan objek >10 cm dapat menyebabkan kerusakan total terhadap satelit yang beroperasi. Objek >1 cm dapat menonaktifkan satelit atau sistemnya. Objek sangat kecil (1 mm) pun bisa merusak subsistem satelit karena kecepatan sangat tinggi.
Risiko terhadap Manusia
Objek besar yang tidak terkendali bisa memasuki atmosfer dan mencapai permukaan Bumi. Ini membahayakan manusia mulai dari risiko tumbukan serta kebakaran hingga kontaminasi bahan berbahaya yang mencemari tanah dan air.
Ketergantungan terhadap Orbit Menjadi Terancam
Orbit Bumi bukan ruang tak terbatas. ESA menegaskan bahwa “lingkungan orbit Bumi adalah sumber daya yang terbatas. Ketika jalur orbit makin sesak oleh satelit dan puing antariksa, ruang gerak untuk misi ilmiah, komunikasi, dan navigasi pun terancam.”
Kenapa Bahayanya Makin Besar?
Makin banyak peluncuran satelit menambah kepadatan orbit. Banyak satelit dan roket yang tidak disingkirkan atau dikeluarkan dari orbit utama Bumi setelah masa operasinya selesai.
Mitigasi Pembersihan Orbit
Upaya penanggulangan sampah antariksa dibagi menjadi Mitigasi (pencegahan agar tidak menambah sampah baru) dan Penghapusan Aktif (ADR). Ini adalah praktik yang harus dilakukan oleh operator satelit saat peluncuran untuk memastikan mereka tidak meninggalkan objek tak berfungsi yang dapat membahayakan orbit pada masa depan.
Penghapusan Aktif (Active Debris Removal atau ADR) juga menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan penggunaan orbit Bumi. ADR merujuk pada upaya secara aktif menghilangkan atau menarik sampah antariksa besar yang sudah ada di orbit dan tidak memiliki kemampuan deorbit.



