Penampakan Tiang Monorel Mangkrak, Siap Dibongkar Januari 2026 | Foto : Pradita Utama/detikcom
Sabtu, 25 Oktober 2025Setiap pagi, Andri Sunardja melewati deretan tiang-tiang beton besar di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Ia bekerja di salah satu gedung perkantoran yang berdiri tak jauh dari barisan tiang itu. Struktur kelabu yang sudah begitu menyatu dengan lanskap kota, seolah menjadi bagian alami dari langit beton Jakarta. Kadang, sambil menunggu ojek daring di trotoar, ia menatap ke atas tiang beton terbengkalai itu, permukaan dindingnya terlihat usang dan dipenuhi coretan.
“Dulu waktu pertama kali saya kerja di Jakarta, orang bilang itu bakal jadi monorel. Sekarang malah jadi ganggu pemandangan, kesannya juga mempersempit jalan,” ujarnya. Bagi Andri yang sudah sepuluh tahun bekerja di kawasan Kuningan, tiang-tiang itu seperti jam pasir yang macet. Waktu di Jakarta terus berjalan, tapi di sudut ini seakan berhenti.
Dua puluh tahun lalu, tepatnya pada 14 Juni 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri bersama Gubernur Sutiyoso meresmikan proyek monorel Jakarta di kawasan Senayan. Mereka menekan tombol sirene sekitar pukul 10.30 WIB, sebagai penandan dimulainya pembangunan monorel pertama di Indonesia. Sebuah tonggak besar ditegakkan sebagai simbol era baru transportasi publik ibu kota.
Kala itu, pemerintah menaruh harapan besar pada proyek ini sebagai solusi kemacetan yang sudah mencekik. Monorel dianggap sebagai masa depan, moda cepat, ramah lingkungan, dan efisien. Jalur hijau sepanjang lebih dari 14,3 kilometer direncanakan melintasi koridor bisnis Kuningan, Sudirman, hingga Tanah Abang. Sementara jalur biru sepanjang 12,7 kilometer akan menghubungkan berbagai titik penting kota.
Tiang pertama dipancang di kawasan Senayan. Media menulisnya sebagai awal era baru transportasi Jakarta, masa depan tanpa macet, perjalanan cepat di atas rel melayang. Namun seperti banyak mimpi besar lain di kota ini, janji itu tak pernah benar-benar sampai di tujuan. Skema pembiayaan yang rumit, negosiasi lahan yang berlarut, hingga tarik-menarik kepentingan investor membuat proyek tersendat. Konsorsium awal yang dipimpin oleh PT Indonesia Transit Central (ITC) bersama investor Malaysia akhirnya goyah. Proyek kemudian dialihkan ke PT Jakarta Monorail (PT JM), tapi masalah baru pun muncul.
Pada 2008, PT JM gagal memenuhi komitmen investasi senilai 144 juta dolar AS. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo akhirnya menghentikan proyek tersebut. Tiang-tiang beton yang sudah terlanjur berdiri di beberapa ruas jalan dibiarkan begitu saja. “Sekarang keputusannya terserah Pak Gubernur. PT JM akan ngikut saja,” kata Direktur Utama PT JM Sukmawati Sukur, 12 Maret 2008 silam.

Sejumlah kendaraan melintas diantara tiang monorel yang mangkrak di kawasan Jalan Rasuna Said, Kuninga, Jakarta Selatan
Foto : Pradita Utama/detikcom
Pada 2011, di era Fauzi Bowo, proyek ini dihentikan total. PT JM bahkan menuntut ganti rugi Rp600 miliar, tapi Foke menolak dan hanya bersedia membayar sesuai rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sejak itu, monorel resmi menjadi proyek mangkrak.
Ketika Joko Widodo menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012, ada secercah harapan baru. Jokowi mengajak PT Adhi Karya, salah satu BUMN konstruksi terbesar, untuk ikut menggarap proyek tersebut bersama PT JM. “Bareng-bareng. Duet-duet. Ngapain harus lama-lama? Ya, bener kok. Serius,” ujarnya di Balai Kota Jakarta pada 20 Desember 2012.
Tahun berikutnya, ia melakukan peletakan batu pertama pembangunan monorel di Tugu 66, Jalan Rasuna Said. “Setelah proyek ini terhenti selama 5 tahun, dengan mengucap bismillah, pada tanggal 16 Oktober 2013, saya nyatakan proyek monorel oleh PT Jakarta Monorail saya nyatakan dilanjutkan kembali,” kata Jokowi saat itu.
Namun tak lama, proyek itu kembali terhenti. Persoalan perjanjian kerja sama yang tak kunjung tuntas, permintaan subsidi jika jumlah penumpang tak mencapai 160 ribu per hari, hingga sengketa nilai aset tiang antara PT JM dan PT Adhi Karya membuat proyek monorel kembali ke titik nol. “Di dalam PKS pertama itu disebutkan, jika penumpangnya kurang dari 160 ribu, kalau tidak salah, kami harus subsidi. Itu yang kami nggak mau,” kata Jokowi pada 25 Februari 2014.
Ketika kursi gubernur beralih ke Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), ia memilih untuk memutus kontrak dengan PT JM. “Langsung aku kirim surat putus kita. Tidak ada lagi kereta monorel. Yaa... jadi tiang monumen,” katanya pada 26 Juni 2014. Ia menyebut tiang-tiang itu sebagai “monumen penipuan”. Ahok juga memastikan bahwa tiang-tiang tersebut adalah aset PT Adhi Karya, bukan milik pemerintah provinsi. Pada 2015, Pemprov DKI resmi memutus kerja sama dengan PT JM dan menyerahkan pengelolaan tiang kepada Adhi Karya.
Sempat muncul wacana agar tiang-tiang itu dimanfaatkan untuk proyek lain. Pada 2017, ketika Adhi Karya membangun LRT Jabodebek, ada rencana menggunakan kembali tiang monorel sebagai penyangga rel. Namun posisi tiang yang terlalu ke pinggir jalan membuatnya tak layak. Pada 2018, ide baru muncul, menjadikannya penyangga jalur bus layang. “Bisa untuk hal lain, misalnya bisa jadi elevated bus bisa nggak di situ, bisa nggak dipakai untuk trase yang lain,” kata Direktur Operasi II Adhi Karya, Pundjung Setya. Dua tahun kemudian, wacana itu berubah lagi. Pada Oktober 2020, Adhi Karya mempertimbangkan menjadikan tiang-tiang tersebut sebagai skywalk pejalan kaki yang terintegrasi dengan stasiun LRT di sekitarnya.

"Bangkai' tiang bekas proyek monorel Jakarta di kawasan Jalan HR Rasuna Said, Jakarta
Foto : CNN Indonesia/Adi Ibrahim
Namun hingga kini, tiang-tiang itu tetap tak berfungsi. Sebagian mulai rusak, besi-besi penopangnya dicuri, dan catnya memudar. Di antara gedung-gedung megah Rasuna Said, deretan tiang beton itu kini hanya menjadi beban tata ruang dan simbol dari manajemen transportasi yang tidak tuntas.
Kini, di bawah kepemimpinan Gubernur Pramono Anung, nasib tiang monorel itu kembali masuk daftar prioritas. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membongkar tiang pancang bekas proyek mangkrak itu mulai Januari 2026. “Pokoknya doain bulan Januari depan kita udah mulai bersih-bersih,” kata Pramono di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Selasa (14/10/2025). Ia menegaskan, penyelesaian masalah tiang monorel menjadi salah satu prioritas.
Gubernur Pramono Anung memastikan pihaknya telah berkoordinasi dengan Kejaksaan Tinggi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar proses pembongkaran berjalan sesuai hukum. “Kami telah mendapatkan arahan untuk apabila secara permasalahan hukum sudah selesai, dan kami juga telah mendapatkan surat dari Kajati,” ucapnya. Menurut Pramono, keberadaan tiang-tiang itu mengganggu estetika kota dan bahkan berpotensi menimbulkan kecelakaan. “Ada kolom-kolom untuk monorel yang sampai hari ini semuanya nggak mau nyentuh untuk diselesaikan. Kalau bagi saya pribadi, ini adalah hal yang harus diselesaikan,” tegasnya.
Bagi Andri, kabar itu terdengar seperti akhir dari bab panjang yang tak pernah selesai. “Setuju sih kalau akhirnya dibongkar. Dari dulu juga harusnya gitu. Semoga aja kali ini beneran terealisasi,” ujarnya. “Daripada cuma berdiri nggak jelas, mending lahannya dipakai buat sesuatu yang kepake. Bisa buat pelebaran jalan, atau dibikin area hijau yang beneran enak dilihat, bukan kayak gini.”
Namun Andri tak memungkiri persoalan baru yang mungkin muncul. Ia tahu Rasuna Said bukan jalur kecil, setiap pagi dan sore, ribuan kendaraan melintas, menciptakan antrean panjang hingga ke Karet dan Setiabudi. “Yang penting kalau dibongkar, jangan sampai malah bikin macet parah,” katanya. Ia berharap prosesnya bisa dilakukan malam hari, bukan di jam sibuk, dan ada tenggat waktu jelas agar proyek itu tak berlarut seperti yang sering terjadi di Jakarta. “Soalnya kita udah sering banget lihat proyek yang mangkrak lagi. Nanti malah jadi tiang baru versi lain.”
Ia juga khawatir pembongkaran tiang akan bersinggungan dengan proyek-proyek lain yang sedang berlangsung. Drainase, utilitas bawah tanah, hingga pembangunan transportasi publik seperti LRT dan MRT. “Kadang yang satu belum kelar, udah mulai lagi yang lain. Ujung-ujungnya jalanan penuh galian, kita yang kerja tiap hari yang repot,” tuturnya. Bagi Andri, Jakarta seolah tidak pernah benar-benar berhenti membangun, tapi juga jarang selesai dengan rapi.
Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim