Foto: CGTN
Sabtu, 4 Oktober 2025Di sebuah pagi yang berkabut di pedalaman Hunan, aroma nasi putih mengepul dari dapur sederhana TK Shaping, Kabupaten Yongshun. Asap tipis keluar dari panci besar, bercampur wangi ayam rebus dan sayuran hijau yang baru saja dipetik dari kebun sekolah. Sejumlah ibu petani duduk di kursi kayu, mengupas ubi manis dan memotong kentang, sambil bercanda tentang betapa anak-anak kini lebih lahap makan sejak ada program makan siang gratis. Bagi banyak keluarga di desa ini, sepiring makan lengkap di sekolah bukan hanya soal kenyang, tapi juga sebuah kemewahan yang dulu sulit dibayangkan.
Sementara di ruang kelas TK Qicai di Xiangxi Tujia dan Miao, waktu camilan sore selalu jadi momen paling ditunggu. Di atas meja kayu panjang, tersaji ubi manis yang dihaluskan lalu dibentuk menyerupai es krim, ditaruh di cone renyah dengan taburan potongan melon. Di sampingnya, segelas susu hangat melengkapi camilan sederhana namun penuh gizi. “Kami ingin anak-anak tidak hanya kenyang, tapi juga bahagia setiap kali makan,” kata Xiang Haiyan, kepala sekolah Qicai, seperti dikutip Xinhua.
Program makan siang gratis di pedesaan China ini diluncurkan pada November 2011 dengan nama Nutrition Improvement Program for Rural Compulsory Education Students (NIPRCES). Sasaran utamanya adalah siswa sekolah dasar hingga menengah pertama (usia 6–15 tahun) di wilayah pedesaan.
Makanan berupa lauk dan sayur yang disajikan bervariasi menurut musim. Dalam menu mingguannya, sekolah-sekolah TK yang terlibat program Nutrition Improvement ini diarahkan menggunakan sayur lokal seperti kol, kentang manis, jagung, ubi, sayur hijau. Protein dari daging ayam, atau kadang bebek, serta sumber protein nabati seperti tahu dan kacang-kacangan. Sup harian, misalnya sup telur atau sup tahu yang ringan. Karbohidrat dipenuhi dari nasi, ubi, jagung, kentang. Standar nasional menuntut sekolah menyajikan setidaknya 25 jenis bahan makanan berbeda dalam seminggu. Bahan baku harus diprioritaskan dari hasil tani lokal agar segar sekaligus mendukung ekonomi desa
Camilan sore sering menggunakan bahan-bahan seperti ubi manis, kentang, jagung kukus atau panggang, atau sedikit buah segar. Semua itu disertai cara penyajian dan pengawasan yang diperhatikan. Porsi diukur, menu disusun pergantian setiap bulannya, foto makanan dan anak yang makan diunggah ke platform pengawasan nutrisi, dan penggunaan bahan baku dari petani lokal agar kesegaran bahan terjaga dan rantai pasokan dapat dipantau.
Kantin sekolah di Kota Huaying, Provinsi Sichuan
Foto : CGTN
Menurut laporan resmi, pemerintah China mengalokasikan dana hingga 5,2 miliar dolar AS pada tahun 2021 untuk menjalankan program tersebut. Selama satu dekade berjalan, NIPRCES telah menjangkau sekitar 37 juta siswa di 120.000 sekolah di 28 provinsi. Skemanya berupa subsidi harian untuk penyediaan makan siang. Awalnya sebesar 3 renminbi per siswa, naik menjadi 4 renminbi pada 2014, dan kembali meningkat menjadi 5 renminbi pada 2021. Dengan kurs saat ini, 1 renminbi setara Rp 2.334, sehingga setiap anak menerima makan siang senilai kira-kira Rp 11.665 per hari. Hasilnya terlihat nyata, rata-rata tinggi badan anak di daerah pedesaan meningkat sekitar 6 cm dibandingkan sebelum program berjalan.
Pemerintah juga memperkuat pengawasan dengan mengeluarkan pedoman nasional untuk kantin sekolah pada 2022. Qu Hao, pejabat dari Administrasi Negara untuk Regulasi Pasar, menjelaskan bahwa pedoman ini meliputi standar nutrisi, keamanan makanan, hingga kewajiban mendokumentasikan menu harian. “Sekolah wajib mengunggah foto hidangan ke platform pengawasan agar bisa dipantau publik dan otoritas,” katanya dalam China Daily.
Meski begitu tantangan tetap ada. Pada 2024, lebih dari 1.200 orang dihukum karena menyelewengkan dana program gizi siswa pedesaan. Ada pula kasus keracunan makanan yang sempat memicu kehebohan nasional, seperti insiden timbal di Tianshui, Gansu, pada 2025 yang membuat ratusan anak sakit. Lebih dari 230 anak taman kanak-kanak dilarikan ke rumah sakit setelah mengalami keracunan akibat makanan yang ternyata mengandung cat industri berbahaya dengan kadar timbal sangat tinggi.
Peristiwa ini disebut-sebut sebagai salah satu insiden terburuk terkait keamanan pangan di sekolah Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir. UNICEF bahkan mengeluarkan pernyataan prihatin, mendesak perbaikan sistem keamanan pangan di sekolah. Kasus itu menegaskan betapa rapuhnya rantai pengawasan jika tidak dijaga dengan disiplin.
Aparat kemudian menangkap enam staf TK yang diduga terlibat, sementara 27 orang lainnya, termasuk pihak sekolah, tenaga medis, hingga pejabat setempat ikut diperiksa. Laporan juga mengungkap bahwa laboratorium rumah sakit setempat dilaporkan memalsukan hasil tes darah anak-anak demi menutupi skandal tersebut. Pemerintah berupaya menjawab masalah ini dengan memperketat inspeksi, menambah fasilitas laboratorium penguji bahan makanan, dan melibatkan lebih banyak petani lokal melalui sistem rantai pasok yang diawasi langsung. Dengan begitu, makanan yang sampai ke piring anak-anak lebih terjamin mutunya.
Presiden Prabowo berkunjung kesekolah di China untuk meninjau penerapan program makan siang gratis di sana.
Foto : Gerindra
Menanggapi insiden itu, pada Juli 2025 diumumkan pedoman nasional pertama untuk penyedia layanan makan sekolah, yang akan berlaku efektif Desember tahun itu. Standar baru ini mengatur segala hal, mulai dari keharusan menunjuk petugas keamanan pangan penuh waktu, inspeksi harian dan analisis risiko bulanan, hingga kewajiban membeli beras, minyak, dan tepung dari pemasok yang ditunjuk.
Setiap batch bahan harus disertai laporan uji laboratorium, dan sampel makanan wajib disimpan minimal 48 jam. “Layanan makan sekolah melibatkan jangkauan luas dan banyak tahapan, sehingga menjadi bidang pengawasan utama,” jelas Qu Hao dari Administrasi Pasar Negara, dikutip China Daily.
Tak berhenti di situ, sistem dapur transparan berbasis internet mulai diterapkan. Orang tua bisa memantau proses memasak lewat layar kamera, sementara prosedur kunci diumumkan secara terbuka. Kementerian Pendidikan menekankan bahwa kepala sekolah kini memiliki tanggung jawab langsung. Dari mengawasi anggaran makan, duduk makan bersama murid, hingga menerima masukan orang tua setiap semester. Dengan begitu, program ini berusaha mengembalikan rasa percaya bahwa makanan yang tersaji aman, bergizi, dan sampai di meja anak-anak tanpa celah penyalahgunaan.
Bagi anak-anak pedesaan, sepiring nasi panas dengan lauk ayam atau tumisan sayur bukan sekadar makan siang. Itu adalah jembatan menuju hari sekolah yang lebih bersemangat, tubuh yang lebih sehat, dan masa depan yang lebih tinggi harapannya. Dan bagi China, program ini menjadi bukti bahwa perubahan besar bisa dimulai dari sesuatu yang tampak sederhana: sepiring makanan di meja sekolah.
“Setiap porsi makan siang bergizi bukan hanya soal makanan di piring, tapi juga investasi pada generasi mendatang,” ujar Zhao Bing dari WFP dalam laporan yang sama.
Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim