INTERMESO

Sunrise Pertama di Gunung Prau

Pendakian perdana ke Gunung Prau yang berada di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah menjadi pengalaman penuh kejutan

Puncak Gunung Prau | Foto: Melisa Mailoa

Sabtu, 27 September 2025

Saya masih ingat jelas bagaimana awal mula keputusan itu saya ambil. Bagi sebagian orang,mendaki gunung mungkin terdengar seperti aktivitas biasa. Tapi bagi saya yang selama inihanya terbiasa dengan rutinitas kota, berjalan di trotoar yang rata, dan sesekali jogging ditaman, mendaki gunung adalah sebuah tantangan besar. Ada rasa penasaran yang menggelitikdalam diri, semacam dorongan untuk keluar dari zona nyaman, untuk sekali saja mencobamenapakkan kaki di jalur yang tak pernah saya jelajahi sebelumnya. Pilihan saya jatuh padaGunung Prau, gunung yang sering disebut ramah bagi pendaki pemula. Ramah bukan berartitanpa tantangan, tapi paling tidak, dari banyak cerita yang saya baca, gunung ini memiliki trekyang bisa saya lalui dengan kemampuan yang saya miliki.

Gunung Prau berdiri kokoh di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, dengan ketinggian 2.590meter di atas permukaan laut. Gunung ini unik, karena bukan hanya sekadar titik tinggi untukmelihat matahari terbit, melainkan juga menjadi batas alami empat kabupaten: Batang, Kendal,Temanggung, dan Wonosobo. Dari banyak artikel yang saya baca, Prau semakin populer dalambeberapa tahun terakhir. Ada semacam magnet yang menarik orang untuk datang, entah itupendaki berpengalaman maupun pemula seperti saya. Mungkin karena jalurnya yang relatifbersahabat, mungkin juga karena reputasinya sebagai tempat terbaik untuk menyaksikansunrise yang memukau, atau bisa jadi karena padang sabananya yang luas yang seakanmemberi ruang untuk bernafas lebih lega setelah menempuh perjalanan panjang.

Hujan deras sempat mengguyur Jakarta beberapa hari sebelum keberangkatan, saya dibuatgamang ketika memikirkan bagaimana nanti cuaca di Dataran Tinggi Dieng. Dari aplikasiprakiraan cuaca, awan hujan tampak betah menggantung di sekitar Gunung Prau. Namun tekadsaya sudah bulat. Ini adalah pendakian pertama saya, sesuatu yang lama saya bayangkan tetapiselalu tertunda, dan kini benar-benar akan saya jalani. Ada beberapa jalur pendakianuntuk mencapai puncak Gunung Prau. Selain Kalilembu, ada jugaPatakbanteng, Dieng, Igirmranak, Dwarawati, dan Wates. Patakbantengmerupakan jalur paling popular. Saya memilih jalur Wates, jalur yang katanya lebihramah untuk pendaki pemula seperti saya meskipun sedikit lebih panjang. Rasanya campuranantara gugup, antusias, dan sedikit takut membayangkan apa yang menanti di ketinggian 2.590meter di atas permukaan laut itu.

Saya bergabung dengan sebuah open trip, membayar tujuh ratus ribu rupiah untuk paket lengkaptransportasi pulang-pergi, tiket masuk, makan selama di sana, juga tenda untuk bermalam. Bagipemula, open trip ini ibarat penyelamat. Saya tak perlu repot membawa peralatan camping yangberat dan mahal, cukup membawa keperluan pribadi, sementara perlengkapan seperti tas carrierdan sleeping bag bisa saya sewa dari penyelenggara. Menjelang keberangkatan, saya sempatmenyiapkan fisik sebisanya. Jogging ringan di sekitar rumah, sekadar melatih napas dan stamina,karena saya tak ingin menjadi beban bagi rombongan.

Gerbang Pendakian Prau Jalur Wates
Foto : Melisa Mailoa

Malam itu, Jumat (8/8/2025), basecamp open trip di Jakarta Timur sudah riuh ketika saya tiba.Rombongan yang sebagian besar terdiri dari anak muda tampak menunggu dengan wajah penuhsemangat. Di depan basecamp, belasan mobil elf berjajar rapat, siap mengangkut para pesertamenuju berbagai destinasi gunung. Rasanya seperti terminal kecil yang hanya dipenuhi orang-orang yang membawa ransel besar dan mengenakan jaket gunung. Saya agak kaget ternyatabegitu banyak peminat naik gunung di akhir pekan, mungkin karena bertepatan dengan tanggalmuda, ketika gaji baru turun dan sebagian orang memilih menggunakannya untuk healing kealam.

Tepat pukul sepuluh malam, kami berangkat. Ada tiga elf yang berangkat menuju Prau,sementara mobil lainnya membawa peserta open trip lain ke tujuan lain seperti Gunung Semeru,Gunung Sindoro, Gunung Gede, dan berbagai gunung populer lainnya. Perjalanan panjangmenanti. Di dalam elf, suasana awalnya ramai, beberapa peserta saling berkenalan, ada yangtertawa keras, ada yang langsung menempelkan kepala ke kaca jendela mencoba tidur. Sayasendiri masih sulit memejamkan mata. Supir elf seakan mengejar waktu, membawa mobildengan kecepatan cukup tinggi. Sekali kami berhenti di rest area untuk istirahat dan ke toilet. Diluar, udara semakin dingin ketika kami memasuki wilayah Jawa Tengah menjelang pagi.

Sekitar pukul tujuh pagi, mobil elf akhirnya tiba di basecamp Gunung Prau. Matahari sudahcukup tinggi, sinarnya menembus kabut tipis yang masih menggantung di lereng-lereng hijau.Udara dingin menyambut, membuat saya segera merapatkan jaket. Basecamp dipenuhi aktivitaspara pendaki, ada yang baru tiba, ada pula yang sedang bersiap-siap naik. Saya sarapan seadanyadengan nasi, orek tempe dan telor ceplok. Setelah perut kenyang, saya lalu mencoba tidursebentar di ruangan sederhana untuk memulihkan tenaga.

Tepat pukul sepuluh pagi, tibalah saatnya memulai pendakian. Kami sudah diarahkan olehpemandu open trip, kami dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil supaya lebih mudahdipantau. Dari basecamp, ada dua pilihan menuju Pos 1. Pertama berjalan kaki melewati ladangsayuran milik warga, atau kedua naik ojek untuk menghemat tenaga. Saya memilih naik ojek danmembayar dua puluh ribu rupiah. Motor meliuk-liuk melewati berliku, dengan tanjakan curamdan jurang di sisi kiri kanan. Motor ojek dipacu dengan kecepatan tinggi, membuat saya mestiberpegangan erat. Untungnya lima menit kemudian, plang pendakian Gunung Prau jalur Watessudah terlihat, menjadi pertanda dimulainya perjalanan sesungguhnya.

Langkah pertama di jalur pendakian membuat saya sadar, semua latihan jogging di rumah tidakbenar-benar menyiapkan saya untuk trek semacam ini. Jalur tanah menanjak, diapit pepohonanyang rapat, aroma humus basah memenuhi udara. Saya melangkah perlahan, mengikutirombongan. Sesekali saya mendengar tawa atau celetukan dari pendaki lain. Di depan, seorangpemuda dengan bandana merah berulang kali menyemangati temannya yang sudah ngos-ngosan.“Ayo, sedikit lagi ke pos!” teriaknya, padahal saya tahu pos berikutnya masih jauh. Di situlahsaya belajar, semangat di gunung sering lebih penting daripada jarak sebenarnya.

Pos 2 Cemaran gunung Prau

Foto : Melisa Mailoa

Pos 3 Sudung Dewo di gunung Prau

Foto : Melisa Mailoa

Para Pendaki menuju puncak Prau

Foto : Melisa Mailoa

Pendaki menuju puncak Prau

Foto : Melisa Mailoa

Sunset di puncak Prau

Foto : Melisa Mailoa

Pos demi pos terlewati. Jalur Wates memang lebih landai dibanding Patakbanteng, tapipanjangnya membuat lutut terasa berat. Pohon pinus berdiri tinggi, sesekali muncul tanamanpakis, dan suara burung hutan terdengar samar di kejauhan. Saya meneguk air dari botol yangmulai menipis, berusaha mengatur napas. Sesekali saya menyalip rombongan lain, kadang jugaterpaksa minggir memberi jalan pada pendaki yang lebih cepat. Jalur tanah liat yang lembapmembuat sepatu sedikit licin, saya harus hati-hati agar tidak terpeleset.

Sampai di Pos 3, akhirnya kami istirahat lebih lama. Pemandu membagikan nasi kotak berisinasi, ayam goreng, lalapan, dan sambal. Saya duduk tanah, membuka kotak itu dengan rasa laparyang tak bisa ditunda. Makan di gunung memang selalu terasa lebih nikmat. Angin sejuk, tubuhlelah, dan lauk sederhana namun bersahaja, emua berpadu jadi pengalaman sederhana tapiberkesan. Di pos ini juga ada mata air dengan keran sederhana. Saya mengisi botol minumsampai penuh, merasakan dinginnya air pegunungan yang jernih.

Setelah istirahat setengah jam, perjalanan dilanjutkan. Di sinilah mulai terasa berat. Jalur dariPos 3 menuju Sunrise Camp penuh dengan undakan tanah, akar-akar pohon yang menjulur, dantangga-tangga alami yang panjang. Hujan semalam membuat tanah licin, beberapa kali sayaharus berpegangan pada batang pohon untuk menjaga keseimbangan. Nafas tersengal, otot betismenegang. Namun setiap kali saya menoleh, pemandangan hutan yang rimbun dan kabut tipisyang bergulir pelan memberi semacam energi baru.

Benar saja, setelah jalur tertutup vegetasi rapat, perlahan terbuka hamparan sabana luas. Rumputhijau terhampar sejauh mata memandang, bergoyang diterpa angin. Kabut tipis menyelimuti,membuat suasana seperti berada di negeri dongeng. Rasa penat seakan sirna digantikan rasakagum. Namun langit yang mulai mendung memaksa kami mempercepat langkah. Rintik hujanturun pelan, lalu semakin deras. Kami bergegas menuju area Sunrise Camp, tempat tenda-tendasudah didirikan oleh tim open trip.

Pukul tiga sore kami tiba di area perkemahan, tepat ketika hujan semakin deras. Saya masuk kedalam tenda, meletakkan barang-barang, lalu terkapar di sleeping bag. Suara hujan derasmenghantam flysheet tenda, menciptakan ritme alam yang menenangkan. Saya tertidur sebentar,membiarkan tubuh memulihkan diri. Ketika terbangun, hujan mulai reda. Dari luar tenda, aromapisang goreng dan teh hangat menggoda. Tim open trip rupanya sudah menyiapkan camilan sore.Pisang goreng yang renyah dengan teh manis hangat terasa luar biasa nikmat di udara dinginpegunungan.

Para pendaki telah sampai di puncak gunung Prau

Foto : Melisa Mailoa

Para Pendaki berkemah di puncak gunung Prau

Foto : Melisa Mailoa

Kemah kemah para pendaki

Foto : Melisa Mailoa

Bunga mekar di puncak Prau

Foto : Melisa Mailoa

Pendaki mulai turun dari puncak Prau

Foto : Melisa Mailoa

Malam tiba, langit sebenarnya saya harapkan bertabur bintang, tetapi kabut tebal menutuppandangan. Sekitar tenda, lampu-lampu headlamp berkelip seperti kunang-kunang. Suasananyamistis, mengingatkan saya pada film horor dengan kabut pekat yang membuat jarak pandanghanya beberapa meter. Kami akhirnya berkumpul di dalam tenda, bermain kartu, berceritatentang pengalaman masing-masing. Makan malam disajikan, nasi hangat dengan soto ayamsederhana, dan kami menikmatinya dengan lahap.

Tidur malam itu tidak sepenuhnya nyenyak. Angin kadang menderu, mengguncang tenda,dinginnya tidak tertahankan meski sudah memakai pakaian berlapis dan sleeping bag berbulutebal. Namun tubuh yang lelah akhirnya terlelap juga. Pukul lima pagi, kami dibangunkan.Bubur kacang hijau hangat disajikan, menjadi bekal energi sebelum summit ke puncak. Denganheadlamp terpasang, kami berangkat menuju puncak. Jalurnya ternyata tidak jauh, hanya sekitarlima belas menit berjalan, tetapi dalam gelap gulita dan udara dingin, rasanya tetap menantang.

Awalnya saya agak kecewa karena kabut masih menutupi pemandangan. Tak ada apa pun yangterlihat selain putih pekat. Namun perlahan, sekitar pukul enam, kabut mulai menyingkap.Cahaya keemasan matahari perlahan menembus, menyingkap siluet Gunung Sindoro danSumbing di hadapan. Rasanya magis. Dari timur, deretan gunung lain mulai terlihat. AdaGunung Merapi, Gunung Merbabu, hingga Gunung Lawu. Di arah barat, Gunung Slamet berdirigagah. Saya nyaris menitikkan air mata, rasa lelah dan ragu selama perjalanan terbayar tuntasoleh pemandangan ini.

Pendaki lain bersorak, banyak yang sibuk memotret. Saya sendiri hanya berdiri terpaku,menghirup dalam-dalam udara dingin yang terasa berbeda. Di sekitar puncak, bunga daisybermekaran, menambah keindahan lanskap. Saya berfoto dengan bunga itu, mencobamenyimpan kenangan sebanyak mungkin.

Matahari semakin tinggi, kabut benar-benar sirna, dan panorama terbentang jelas. Saya merasaberuntung, karena cuaca yang awalnya meragukan ternyata memberi kejutan indah. Setelah puas,kami kembali ke area camp. Kami beres-beres barang, merapikan tenda, lalu bersiap turun.

Turun gunung ternyata lebih cepat, hanya sekitar satu setengah jam. Namun rasa pegal di lututcukup terasa. Di jalur, kami berpapasan dengan peserta trail run yang berlari ringan melewatitrek yang membuat saya ngos-ngosan. Saya salut melihat mereka, betapa kuatnya fisik danmental yang dibutuhkan. Siang itu kami tiba kembali di basecamp. Perjalanan yang penuh rasalelah, rasa kagum, juga rasa syukur akhirnya berakhir. Ini memang pendakian pertama saya,tetapi rasanya akan terus teringat lama.


Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE