Karya fotografi ini lahir dari suara hati rakyat yang sering kali tenggelam di antara riuh rendah janji politik. Melalui pendekatan vox populi photography, wajah-wajah rakyat ditangkap dengan jujur, lalu dipadukan dengan simbol-simbol harapan mereka lewat teknik double exposure. Di setiap guratan senyum, kerut, dan tatapan mata, terselip kerinduan akan keadilan, kesejahteraan, dan janji-janji yang pernah dilontarkan.
Setiap figur dalam karya ini bukan sekadar potret individu, melainkan representasi berjuta wajah rakyat Indonesia. Ada yang berharap pada dunia pendidikan yang lebih baik, ada yang menginginkan harga pangan stabil, ada pula yang mendambakan udara bersih, lapangan kerja, hingga penghasilan yang layak. Semua cita-cita itu divisualkan melalui lapisan gambar kedua, koran, uang, hasil panen, pabrik, hingga simbol-simbol kehidupan sehari-hari yang menyatu dalam wajah mereka.
Namun keindahan harapan itu justru kontras dengan kenyataan hari ini. Janji-janji yang dulu digembor-gemborkan saat pemilu ternyata palsu. Para wakil rakyat, yang seharusnya menjadi penyambung lidah masyarakat, perlahan kehilangan empati. Mereka lupa pada rakyat kecil yang dulu mereka datangi dengan senyum manis dan kata-kata manis. Kini rakyat dibiarkan berjalan sendiri, tertatih, menanggung berat hidup yang semakin mencekik.
Karya ini adalah refleksi bahwa harapan rakyat masih hidup meski sering kali dipatahkan realitas. Janji politik memang tak selalu terealisasi. Tetapi rakyat tetap menggenggam keyakinan bahwa suatu saat, di bumi pertiwi ini, masih ada ruang bagi perubahan.
Double exposure pada wajah-wajah ini adalah metafora bahwa rakyat dan harapannya adalah satu tubuh. Mereka tak bisa dipisahkan. Selama napas masih berembus, harapan itu akan tetap tumbuh. Walau tak jarang kandas di tengah jalan, ia akan selalu menjadi energi yang membuat rakyat bertahan.
Karya ini bukan sekadar eksperimen visual, tapi juga sebuah kritik sosial. Sebuah pengingat bagi mereka yang duduk di kursi kekuasaan: jangan sekali-kali melupakan rakyat. Sebab, sejatinya, suara rakyat adalah napas bangsa.
Pada akhirnya, karya ini bukan hanya soal estetika visual atau permainan teknik fotografi. Ia adalah cermin yang menyorot wajah bangsa, memperlihatkan betapa rakyat selalu punya harapan, sementara janji-janji politik begitu mudah dilupakan.
Harapan rakyat yang terbingkai di wajah-wajah ini mungkin terdengar sederhana: harga terjangkau, pendidikan layak, udara bersih, pekerjaan manusiawi.
Ironisnya, meski terus dikecewakan, rakyat masih percaya. Mereka masih datang ke TPS, masih menunggu perubahan, masih menyimpan sisa keyakinan bahwa mungkin kali ini akan berbeda. Mungkin kali ini wakil rakyat sungguh menjadi wakil, bukan sekadar penguasa yang duduk di kursi empuk sambil lupa daratan.
Mungkin inilah ironi terbesar bangsa, yakni rakyat tetap setia berharap pada pemimpin yang selalu pandai berjanji. Sebuah kisah lama yang terus berulang, seperti foto yang dicetak berkali-kali dengan bingkai berbeda, tapi tetap memuat wajah yang sama. Wajah rakyat. Wajah kita semua.