INTERMESO

Second Account Terancam Hilang, Gen Z Gelisah

“Wacana pemerintah soal satu orang satu akun medsos memantik pro dan kontra. Gen Z khawatir kehilangan ruang ekspresi”

Beberapa aplikasi media sosial di smartphone | Foto : iStock

Sabtu, 20 September 2025

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tengah menggulirkan wacana aturan satu orang hanya boleh memiliki satu akun media sosial. Gagasan ini pertama kali disuarakan oleh Sekretaris Fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryadi. Ia menilai, di tengah derasnya arus informasi di dunia maya, langkah itu perlu untuk menekan keberadaan akun anonim maupun palsu yang kerap digunakan untuk menyebarkan hoaks, melakukan penipuan, hingga menjadi senjata buzzer.

"Jadi kita kan paham bahwa social media itu benar-benar sangat terbuka dan susah, isu apa pun bisa dilakukan di sana. Kadang kita juga harus cermat juga dalam menanggapi isu social media itu," ujar Bambang dalam sebuah pernyataan. Ia menambahkan bahwa ke depan perlu ada sistem terintegrasi agar setiap warga negara hanya boleh memiliki satu akun di setiap platform, sebagaimana di Swiss satu nomor telepon terhubung dengan berbagai layanan publik.

Usulan itu langsung memicu pro dan kontra. Sebagian masyarakat melihatnya sebagai langkah mundur yang bisa mengancam kebebasan berekspresi di ruang digital. Kritik pun bermunculan, menyebut rencana ini sebagai upaya reaktif pemerintah untuk meredam suara publik yang kritis. Banyak yang berpendapat bahwa alih-alih mengorbankan privasi jutaan pengguna, lebih baik pemerintah meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum untuk menindak langsung pelaku kejahatan digital.

Di layar ponselnya, Aurel Wijaya, berhenti sejenak menatap sebuah berita yang berseliweran di timeline. Isinya tentang wacana pemerintah dan DPR membatasi masyarakat hanya boleh punya satu akun media sosial. Alisnya mengernyit, jemarinya refleks mengetuk kolom komentar.

“Serius nih? Masa iya orang cuma boleh punya satu akun?” tutur perempuan berusia 21 tahun ini.

Sebagai mahasiswi yang aktif di dunia digital, Aurel tahu benar arti penting memiliki banyak akun. Lima akun Instagram dan satu akun TikTok menjadi bagian dari kesehariannya. Akun utama ia gunakan untuk keluarga dan dosen, akun lain untuk sahabat dekat, akun komunitas K-pop, hingga satu akun alter yang menjadi tempat curhat paling pribadi. “Kalau dipaksa jadi satu, aku merasa bakal kehilangan ruang aman aku sendiri,” ujar mahasiswi Desain Komunikasi Visual di sebuah kampus swasta itu.

Remaja bermain smartphone
Foto : iStock

Baginya, keberadaan multi akun adalah cara bertahan di dunia digital yang penuh tuntutan. “Orang tua aku follow akun utama, dosen juga, bahkan sepupu kecil. Jadi aku butuh ruang lain buat jadi diri sendiri, buat curhat, buat komunitas. Itu penting banget, bukan sekadar gaya-gayaan.”

Kabar tentang wacana satu orang hanya boleh punya satu akun media sosial membuat Aurel resah. Ia merasa, kebijakan semacam itu akan memutus ruang aman yang sudah dibangunnya bertahun-tahun. “Aku malah takut kalau nanti ekspresi aku jadi terbatas. Rasanya kayak dipaksa pakai satu wajah di semua tempat, padahal di dunia nyata saja kita bisa punya banyak sisi,” katanya.

Berbeda dengan Aurel, pengalaman hidup Darto Prasetyo, membawanya pada pandangan sebaliknya. Warga asal Depok yang sehari-hari bekerja sebagai sopir taksi online itu sudah lama merasa geram dengan keberadaan akun palsu di media sosial. Dua tahun lalu, laki-laki berusia 46 tahun ini pernah menjadi korban penipuan daring. Seseorang menggunakan foto profil yang tampak meyakinkan untuk menawarkan investasi kecil-kecilan di grup Facebook. Darto tergiur, mentransfer sejumlah uang, namun belakangan akun itu hilang tanpa jejak.

“Sejak itu saya trauma. Bukan cuma uangnya hilang, tapi juga rasa percaya sama dunia maya,” tuturnya. Bagi Darto, wacana satu orang satu akun terasa seperti jawaban dari keresahan yang ia alami. “Kalau ada aturan begitu, orang jadi lebih hati-hati. Yang mau nipu atau nyebar fitnah jadi mikir dua kali. Kita yang awam juga lebih aman, nggak gampang kena jebakan.”

Ia mengaku tidak terlalu paham soal isu kebebasan berekspresi yang diperdebatkan generasi muda. Baginya, keselamatan dan keteraturan jauh lebih penting. “Saya ini orang biasa. Nggak butuh banyak akun. Yang penting bisa main Facebook buat lihat kabar keluarga, sama WhatsApp buat kerja. Sudah cukup. Jadi kalau ada aturan baru, saya malah mendukung,” tegasnya.

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sempat mengkaji wacana tersebut. Sekjen Komdigi, Ismail, menegaskan bahwa filosofi utama dari wacana ini adalah menciptakan ruang digital yang sehat. "Jadi saya melihat filosofinya aja gitu bahwa karena saya melihat bahwa ini kan ikhtiar kita upaya kita untuk membuat ruang digital kita itu sehat, aman, produktif," ujarnya dalam acara Ngopi Komdigi, Jakarta, 19 September 2025. Menurutnya, masalah muncul karena banyak orang bisa bersembunyi di balik akun anonim, yang pada akhirnya memunculkan peluang untuk menyebarkan konten negatif atau bahkan melakukan tindak penipuan.

Remaja bermain Medsos bareng
Foto : iStock

Wakil Menteri Komdigi, Nezar Patria, kemudian meluruskan arah wacana tersebut. Menurutnya, yang sedang dikaji bukanlah pelarangan kepemilikan banyak akun, melainkan penerapan sistem satu identitas digital atau single ID. "Boleh punya akun berapa pun, tetapi harus ada 'traceability' atau harus bisa dilacak ke single ID ataupun digital ID yang dimiliki," kata Nezar. Dengan sistem ini, jika ada konten yang melanggar hukum, pembuatnya tetap bisa dimintai pertanggungjawaban.

Di sisi lain, konteks penggunaan media sosial di Indonesia memang tidak bisa diabaikan. Laporan Digital 2025 Global Overview Report yang disusun We Are Social dan Meltwater menyebut, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 143 juta jiwa, setara dengan 50,2 persen populasi. Dari jumlah itu, YouTube menempati posisi teratas dengan 143 juta pengguna, disusul Facebook 122 juta, Instagram 103 juta, TikTok 108 juta, dan X dengan 25,2 juta pengguna. Angka-angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan basis pengguna media sosial terbesar di dunia.

Bagi generasi muda, khususnya Gen Z, media sosial bukan sekadar ruang hiburan, tetapi juga arena untuk membangun identitas dan jaringan sosial. Direktur Kemitraan Global Meta untuk Asia Tenggara, Revie Sylviana, bahkan mencontohkan bagaimana anak-anak muda bisa memiliki lima hingga enam akun di Instagram untuk fungsi yang berbeda-beda. Ada akun khusus keluarga, akun untuk teman sekolah, akun lain untuk teman kursus, bahkan akun alter untuk mengekspresikan sisi diri yang lebih personal. Fenomena multi akun ini menunjukkan bahwa kebijakan satu orang satu akun akan sulit diterapkan dalam praktik.

Survei dari YouGov turut memperkuat gambaran itu. Disebutkan bahwa 81 persen masyarakat Indonesia aktif menggunakan media sosial, dan generasi Z merupakan konsumen terbesar. Sebanyak 48 persen dari mereka menggunakan berbagai platform media 1–5 jam setiap hari. Angka tersebut menegaskan betapa akrabnya kelompok usia ini dengan ruang digital yang cair, fleksibel, dan penuh ekspresi.

Maka, tidak heran jika wacana pembatasan akun menuai resistensi. Bagi Gen Z, memiliki banyak akun bukan hanya soal pilihan, tetapi bagian dari cara mereka mengelola identitas, privasi, sekaligus membedakan lingkaran sosial. Di satu sisi, pemerintah menginginkan keteraturan dan tanggung jawab dalam bermedia sosial. Namun, perilaku generasi muda justru bergerak ke arah sebaliknya. Semakin banyak ruang, semakin banyak identitas, semakin banyak cara untuk mengekspresikan diri.


Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE