INTERMESO

Kisah Laksamana Maeda di Pengujung Senja

Ia masih sering ke Jakarta bertemu Sukarno. Sukarno menjenguk ke Jepang ketika Maeda sakit di usia 70 tahun.

Foto Laksamana Muda Tadashi Maeda di Museum Proklamasi (Ikhwanul Habibi detikcom)

Minggu, 17 Agustus 2025

Di tengah riuhnya peristiwa menuju kemerdekaan Indonesia, ada satu nama yang tak pernah absen dari catatan sejarah, Laksamana Muda Tadashi Maeda. Seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang justru menorehkan peran penting dalam membantu bangsa ini merdeka, meski itu berarti menghancurkan karier militernya sendiri.

Maeda lahir pada 3 Maret 1898 di Kagoshima, Jepang. Sebagai perwira Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda pada masa Perang Pasifik, langkah-langkahnya kerap menyentuh wilayah yang melampaui sekadar tugas militer. Dia adalah orang pertama yang mengonfirmasi penyerahan tanpa syarat Jepang kepada Soekarno dan Hatta, sebuah titik balik besar yang membuka jalan bagi kemerdekaan.

Karier Maeda dimulai jauh dari tanah tropis. Selama 1,5 tahun, ia menjadi staf khusus seksi urusan Eropa, sebelum akhirnya ditugaskan ke Markas Angkatan Laut Ōminato pada 1932-1934. Kemudian, ia sempat bertugas sebagai atase Angkatan Laut di Belanda. Oktober 1940, Maeda datang ke Batavia dalam misi intelijen bersama Kobayashi. Dua tahun kemudian, pada Agustus 1942, ia diangkat sebagai kepala Kaigun Bukanfu, kantor penghubung Angkatan Laut dengan Tentara ke-16 Jepang di Jawa.

Di sinilah ia mulai menunjukkan keberpihakan yang jarang dimiliki perwira Jepang pada masa itu. Banyak kebijakan yang diambilnya justru melindungi kepentingan Indonesia, termasuk melanggar perintah komando Angkatan Perang Sekutu untuk mempertahankan status quo. Ia berani menentang kebijakan Angkatan Darat Jepang yang lebih memilih menunggu kedatangan Sekutu, dengan tetap memberi ruang gerak bagi tokoh-tokoh Indonesia.

Pertengahan Agustus 1945, situasi Jakarta memanas. Peristiwa penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok oleh kelompok pemuda telah mengguncang, dan saat itu teks proklamasi bahkan belum siap. Ketika kebingungan mencari tempat aman untuk menyusunnya, Maeda menawarkan rumah dinasnya di Jalan Imam Bonjol Nomor 1. Rumah itu dianggap netral karena berada di bawah yurisdiksi Angkatan Laut Jepang, terpisah dari wewenang Angkatan Darat.

Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jakarta
Foto: Melisa Mailoa/detikcom

Malam 16 Agustus 1945, rumah tersebut menjadi saksi sejarah. Di ruang makannya, Soekarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo duduk menggodok kata demi kata. Sukarni, Sudiro, Sajuti Melik, dan BM Diah turut hadir. Sayuti Melik kemudian mengetik naskah di ruang kecil dekat dapur, dengan BM Diah di sisinya. Setelah selesai, Soekarno dan Hatta menandatangani di atas piano di dekat tangga, atas nama rakyat Indonesia.Bagi Maeda, itu bukan sekadar memberi tempat. Ia juga berulang kali melakukan intervensi agar Kempeitai, polisi militer Jepang, tidak mengganggu para tokoh nasionalis.

Dukungan Maeda tidak berhenti pada malam proklamasi. Ia mendirikan Asrama Indonesia Merdeka atau Dokuritsu Juku, sebuah sekolah kaderisasi politik untuk pemuda Indonesia. Menurutnya, negeri ini membutuhkan pemimpin muda yang cakap setelah merdeka. Pengelolaan asrama itu ia percayakan kepada Achmad Soebardjo. Dikutip dari buku Sayonara, Saudara Tua! oleh Direktorat Sejarah, Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek, bahkan, ia mengalokasikan dana dari kas Angkatan Laut untuk perjalanan muhibah Soekarno dan Hatta ke berbagai wilayah.

Namun, keberpihakan itu berbuah pahit. Usai kekalahan Jepang, Maeda ditangkap Sekutu pada September 1945 bersama stafnya, Shigetada Nishijima. Mereka dipenjara di Glodok dan Salemba. Diinterogasi dan ditekan agar mengakui bahwa Republik Indonesia adalah buatan Jepang, mereka bertahan tanpa menyerah.

Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Jepang harus angkat kaki dari tanah air. Peristiwa ini menjadi awal runtuhnya karier militer dan politik Maeda. Tahun 1947, Maeda dibawa ke Mahkamah Militer di Jepang. Putranya, Nishimura Maeda, mengisahkan bahwa sang ayah sebenarnya sudah lama menjadi target untuk dipersalahkan atas kekalahan Jepang.

"Beliau diperkarakan bukan karena membantu Indonesia, tapi dari dulu ditarget sebagai petinggi militer dan harus dipersalahkan," tutur Nishimura kepada detikcom, saat berbincang di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jl Imam Bondjol, Jakpus, Minggu (16/8/2015).

Saat itu Nishimura berada di Jakarta dalam agenda Napak Tilas Proklamasi yang diadakan museum di bawah Ditjen Kebudayaan, Kemdikbud, itu. Nishimura mengaku telah dihubungi Komunitas Majapahit sejak beberapa tahun lalu. Kala itu, Nishimura datang ke Indonesia pada 16 Agustus 2015 untuk mengikuti kegiatan Napak Tilas Proklamasi. Ia merasa tersentuh dengan sambutan hangat yang diterimanya, meski ia hanyalah putra dari Maeda. Nishimura mengaku tidak mengetahui banyak tentang peristiwa Proklamasi.

"Pada saat pembacaan Proklamasi saya masih berumur 2 tahun. Ayah saya juga tidak pernah bercerita tentang Indonesia," jelas Nishimura. "Tujuan saya datang ke sini, sebagai anak Maeda ingin melihat rumah orang tua saya, saya terharu dengan sambutan, padahal saya hanya anak dari Maeda.”

Maeda dipenjara hingga 1947, kemudian dipulangkan ke Jepang. Di sana, ia diseret ke Mahkamah Militer Jepang. Meskipun dinyatakan tidak bersalah, Maeda memilih mengundurkan diri dari dunia militer dan politik, lalu hidup sebagai rakyat biasa. Putranya, Nishimura Maeda, membantah bahwa ayahnya diseret ke pengadilan militer karena membantu kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, Maeda telah lama menjadi target untuk dijadikan kambing hitam kegagalan Jepang.

"Setelah kembali ke Tokyo, ayah saya menghadapi pengadilan Mahkamah Militer," katanya.

Diorama perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan RI
Foto: Melisa Mailoa/detikcom

Meski menjadi incaran dan mengalami proses pengadilan, Maeda tetap mendapat penghargaan tinggi dari Indonesia. Pada tahun 1974, pemerintah RI menganugerahkan Bintang Nararya kepadanya, sebuah penghargaan setara gelar pahlawan nasional. Namun, karena Maeda adalah warga Jepang, ia hanya dapat diakui sebagai warga kehormatan Indonesia yang berjasa mempersiapkan rumahnya sebagai tempat perumusan Proklamasi.

Maeda meninggal pada 1977. Rumahnya kemudian diresmikan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi pada 24 November 1992. Hubungannya dengan Presiden Soekarno pun diketahui sangat dekat. Bahkan ketika Maeda sakit pada usia 70 tahun, Soekarno datang menjenguknya di Tokyo. Setelah menjadi rakyat biasa, Maeda beberapa kali berkunjung ke Jakarta dan bertemu Soekarno.

"Setelah menjadi rakyat biasa, orang tua saya beberapa kali datang ke Jakarta dan bertemu Sukarno," jelas Nishimura dalam bahasa Jepang yang kemudian diterjemahkan. "Ketika umur 70 tahun, bapak saya sakit dan Soekarno datang menjenguk ke Tokyo." Maeda meninggal di Jepang pada 13 Desember 1977.

Rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol diresmikan menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok) pada 24 November 1992. Kini, museum itu memamerkan denah rumah sebagaimana kondisinya pada malam bersejarah itu.

Di ruang tamu, pengunjung disambut diorama Maeda menerima Soekarno, Hatta, dan Soebardjo. Di ruang makan, ada patung tiga tokoh sedang menulis naskah proklamasi, lengkap dengan duplikat tulisan tangan Soekarno di dinding. Ruang kecil di sampingnya menampilkan Sayuti Melik mengetik, disaksikan BM Diah. Piano tempat penandatanganan naskah pun masih ada.

Lantai dua memamerkan koleksi pribadi 13 tokoh proklamasi: arloji, tas, pulpen milik Suwiryo, kaset pidato BM Diah dan Sayuti Melik, hingga replika naskah proklamasi tulisan tangan Soekarno, yang aslinya disimpan di Arsip Nasional. Di halaman belakang, bunker peninggalan masa perang masih berdiri, dapat dimasuki dengan hati-hati. Memperingati HUT ke-80 RI, Munasprok meluncurkan perangko khusus ‘Prangko Para Pendiri Bangsa’ berisi wajah 79 tokoh BPUPKI dan PPKI serta gambar Gedung Sidang PPKI. Perangko ini bisa dibeli dan dibawa pulang pengunjung.

Kini, rumah yang dulu menjadi tempat lahirnya teks kemerdekaan itu berdiri sebagai pengingat. Dari balik dindingnya, tersimpan kisah seorang perwira asing yang memilih berpihak pada kebebasan bangsa lain, dan meninggalkan jejak abadi dalam sejarah Indonesia.


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE