Foto: Melisa Mailoa/detikcom
Minggu, 10 Agustus 2025Hujan semalam masih menyisakan aroma tanah basah ketika mobil kami melaju membelah tol Jakarta–Bogor, Selasa pagi, 5 Agustus 2025. Udara sejuk merambat masuk lewat celah jendela, membawa rasa antusias sekaligus sedikit gugup di dada. Di kursi depan, pasangan saya, Franky Leonardus, mengemudi santai, sementara di belakang, Yohana Caroline, teman lama dari masa kuliah sibuk menikmati kue-kue pasar yang kami beli untuk bekal sarapan.
Bukit Paniisan adalah tujuan kami hari itu. Sebuah bukit setinggi 846 mdpl yang terletak di kawasan Gunung Pancar, Sentul, Bogor. Bukan gunung tinggi yang menuntut stamina prima, tapi cukup untuk membuat jantung berpacu. Banyak orang di media sosial, terutama TikTok, menyebutnya trek ramah pemula. Kata ‘pemula’ itu yang membuat saya penasaran. Meski olahraga rutin saya hanya jogging keliling komplek. itupun bolong-bolong, saya membayangkan dengan percaya diri karena merasa jalurnya akan landai dan bersahabat.
Ada banyak cara menuju Bukit Paniisan. Dari Jakarta, paling praktis memang menggunakan kendaraan pribadi. Aksesnya mudah, cukup keluar tol di Sentul Selatan, lalu mengikuti papan penunjuk arah. Bagi yang mengandalkan transportasi umum, bisa naik KRL turun di Stasiun Bogor, lanjut angkot hijau nomor 03 ke Botani Square, lalu naik bus Trans Pakuan ke Mall Bellanova. Dari sana, bisa sambung ojek atau taksi online menuju titik awal trekking. Alternatif lain adalah bus Transjabodetabek rute P11 dari Blok M yang melewati Sentul.
Kami memilih opsi kendaraan pribadi. Berangkat dari Jakarta Barat, perjalanan memakan waktu sekitar 1,5 jam. Saya hanya membawa tas kecil berisi jas hujan, ponsel, dan dompet. Paniisan memiliki beberapa jalur resmi, via Leuwi Pangaduan, Gunung Pancar, dan Wangun. Semuanya punya petunjuk arah yang jelas sehingga pendaki pemula pun bisa berjalan tanpa guide. Kali ini saya memilih jalur Wangun, yang katanya paling pendek di antara rute lain menuju Bukit Paniisan. Kalau mau dapat arahan jalan, di Google Maps, tinggal set tujuan ke Parkiran Wangun atau Parkiran Sopiah
Jam menunjukkan pukul 09.00 ketika kami sampai di parkiran Sopiah, titik awal jalur Wangun. Suasana cukup sepi, mungkin karena hari biasa. Di sini tersedia area parkir luas, musala, WC, dan kamar mandi, lengkap untuk persiapan sebelum mendaki. Biaya parkirnya Rp25 ribu untuk mobil, Rp10 ribu untuk motor.
Jalur pendakian ke Bukit Paniisan
Foto: Melisa Mailoa/detikcom
Setelah pemanasan singkat, tepat pukul 10.00 kami mulai melangkah. Begitu keluar dari parkiran, langsung belok kanan ke arah Pos 1. Tiba di pos 1, mata saya langsung membelalak. Di depan, tanjakan berupa undakan tanah liat sudah menanti. Tanpa pikir panjang saya nyeletuk, “Loh, baru mulai kok udah langsung nanjak?” Ini sih namanya jebakan konten TikTok. Tapi mau bagimana, sudah sampai sini, ya lanjut saja, meski hati kecil ingin putar balik. Langkah demi langkah saya mulai menapaki undakan itu. Tanahnya agak licin sisa hujan semalam, membuat kaki harus lebih hati-hati menapak. Nafas mulai terasa berat padahal baru beberapa meter.
Setelah ngos-ngosan menaklukkan tanjakan pertama, jalurnya mulai sedikit bersahabat. Ada beberapa bagian yang landai sehingga kami bisa mengatur napas sambil bercanda ringan. Tak lama, papan kayu bertuliskan ‘Selamat Datang Menuju Bukit Paniisan’ menyambut kami. Ternyata di sinilah pintu resmi masuk Bukit Paniisan. Ada penjaga yang siap menyodorkan karcis. Kami pun merogoh dompet, membayar tiket masuk sebesar Rp15 ribu per orang.
Dari Pos 2, jalur kembali menanjak, tapi suasananya mulai menyenangkan. Di kiri kanan, deretan hutan pinus menjulang, membuat udara terasa lebih sejuk. Pohon-pohon pinus di sini banyak yang disadap getahnya, memberi aroma khas hutan yang menenangkan. Sesekali, kami melewati rumpun daun pandan dan tanaman sereh yang juga menguar aroma segar setiap kali angin lewat. Dimulai dengan jalan setapak tapi rindang, cahaya matahari yang terik siang itu hanya tersisa dalam bentuk kilau lembut yang menembus sela-sela dedaunan. Langkah terasa lebih ringan, mungkin karena pemandangan dan wangi hutan yang diam-diam memberi semangat.
Namun, jalan landai itu tak bertahan lama. Baru sebentar bernapas lega, kami sudah disambut tanjakan lagi. Saya sempat bertanya dalam hati, “Ngapain ya capek-capek begini? Enakan juga leyeh-leyeh di rumah.” Caroline, yang dulu sering trekking saat empat tahun kuliah di Uppsala, Swedia, juga mulai kehabisan napas.
Untungnya Franky, dengan latar belakang rutin nge-gym, selalu memberi kami pasokan semangat. Dia mengajari kami teknik mengatur napas dan langkah agar lebih hemat tenaga. Meski dia sendiri belum pernah trekking, antusiasmenya menular. Mungkin tanpa Franky, saya dan Caroline sudah balik kanan di awal perjalanan. Perjalanan seperti ini juga mengajarkan kami untuk sabar dan saling mengerti. Kalau satu teman butuh istirahat, yang lain ikut berhenti. Tak ada gunanya tiba di puncak lebih dulu sementara kawan tertinggal jauh di belakang, apalagi kalau kondisinya sedang tidak baik-baik saja.
Di tengah tanjakan, kami berpapasan dengan pasangan paruh baya yang tampak bugar. Mereka tersenyum dan menyemangati kami, “Ayo, sebentar lagi sampai!” Entah kenapa, semangat itu langsung membuat kaki terasa lebih ringan. Kami pun membuntuti mereka, tak mau kalah.
Salah satu hal paling menyenangkan di jalur ini adalah bertemu orang-orang baru yang ramah. Sepanjang perjalanan, saya berpapasan dengan kelompok trekking dari berbagai usia, dari lansia sampai anak muda. Ada saja yang menyapa, mengajak ngobrol, atau sekadar memberi semangat. Rasanya hangat sekali ketika mendengar, “Ayo kak semangat, lima menit lagi sampai.” Momen kecil seperti ini benar-benar membuat perjalanan terasa lebih ringan.
Perjalanan ke puncak Paniisan memiliki satu titik istirahat popular yaitu Bukit Sanema. Di sini jalur mendatar, tersedia warung kecil yang menjual gorengan, buah, teh manis, hingga mie instan. Ada juga spot foto yang menghadap perbukitan hijau Bogor. Melihat fasilitas ini, saya mulai paham kenapa Paniisan dianggap ramah pemula. Karena meski tanjakannya lumayan, ada banyak titik istirahat yang membuat perjalanan terasa ‘dipatahkan’ menjadi segmen-segmen singkat. Kalau tubuh sedang fit, saya yakin perjalanan mendaki bukit ini akan terasa mudah. Tapi kalau sehari-hari lebih sering rebahan, ya wajar saja kalau jalur ini terasa lebih menantang. Tantangan pasti ada, namanya juga ke alam bebas. Justru di situlah serunya, karena kita belajar menikmati proses, bukan hanya mengejar tujuan.
Puncak Paniisan: 846 mdpl yang Memesona
Dari Bukit Sanema ke puncak, jalurnya lebih santai. Pohon pinus menjulang di kiri-kanan, angin sejuk menyapu wajah. Tepat pukul 11.30, setelah sekitar satu setengah jam perjalanan dengan beberapa kali berhenti untuk foto, akhirnya kami sampai di puncak Bukit Paniisan. Udara sejuk bercampur aroma hutan pinus langsung menyapu habis rasa lelah. Dari sini, hamparan perbukitan hijau dan lembah di sekitar area Gunung Pancar terbentang jelas di depan mata, pemandangan yang membuat semua tanjakan terasa sepadan.
Puncak Paniisan punya papan kayu ikonik bertuliskan ‘846 mdpl’. Tentu saja kami tidak melewatkan kesempatan untuk berfoto di spot ini. Kata orang, kalau datang lebih pagi, perbukitan ini biasanya diselimuti kabut tipis yang membuat suasana jadi syahdu.
Di atas, deretan warung siap menyambut para pendaki. Salah satunya adalah Warung H. Jajang, pionir di puncak ini yang terkenal dengan es cincaunya. Kami pun memesan mie instan lengkap dengan telur, gorengan, kelapa muda, dan tentu saja segelas es cincau yang rasanya wajib dicoba setelah mendaki. Percayalah, menyantap mie instan hangat di puncak bukit setelah berjuang mendaki adalah kenikmatan yang sulit dijelaskan. Hangatnya kuah, angin gunung yang sejuk, dan rasa puas karena berhasil sampai membuat setiap suapan terasa istimewa.
Perjalanan Turun yang Tak Kalah Menantang
Saya kira menuruni bukit akan lebih mudah. Ternyata salah. Tanah liat basah sisa hujan membuat jalur licin. Turun dengan tegang justru membuat otot cepat lelah. Franky melompat-lompat lincah di depan seperti kancil, sementara saya dan Caroline turun hati-hati seperti kura-kura. Meski begitu, perjalanan turun hanya memakan waktu 1 jam.
Rasa puas menyelimuti ketika kaki menginjak kembali parkiran Sopiah. Bukannya kapok, saya justru ingin mencoba jalur lain di Paniisan, atau bahkan trekking ke bukit dan curug lain di sekitarnya seperti Pasir Pete, Curug Hordeng, atau Curug Kencana.
Bukit Paniisan adalah paket lengkap untuk pendaki pemula maupun pencari ketenangan. Jalurnya menantang tapi bersahabat, pemandangannya memanjakan mata, dan fasilitasnya cukup memadai. Datanglah saat musim kemarau untuk jalur yang lebih bersahabat, bawa air minum secukupnya, dan jangan lupa simpan sampahmu sendiri. Bagi yang berencana camping, di sini ada beberapa spot dengan pemandangan alam terbuka yang indah. Bisa bawa tenda sendiri, atau kalau mau praktis, sewa tenda langsung di lokasi.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho