INTERMESO

Di Balik Fenomena Rohana dan Rojali

“Aku sih suka lihat-lihat sepatu, baju, kadang gadget. Tapi jujur aja, sekarang aku lebih nahan beli. Income nggak naik-naik, harga barang makin tinggi.”

Foto: Ilustrasi suasana di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta (Andhika Prasetya/detikcom)

Minggu, 03 Agustus 2025

Setiap akhir pekan, suara langkah kaki memenuhi lorong-lorong berpendingin udara di pusat perbelanjaan. Di antara etalase pakaian yang tertata rapi dan gemerlap lampu toko kosmetik, banyak wajah-wajah berseri yang datang berombongan. Ada yang membawa stroller bayi, ada pula yang bersandar santai sambil menggenggam segelas es kopi. Tapi anehnya, banyak dari mereka tak terlihat membawa kantong belanjaan. Sebagian besar hanya menatap barang-barang dengan penuh minat, lalu beranjak pergi. Bukan karena tidak suka, tapi karena memilih nanti dulu atau mendingan tidak beli. Di sinilah lahir istilah baru dari masyarakat urban, rohana dan rojali.

Rohana adalah singkatan dari ‘rombongan hanya nanya’, sedangkan rojali berarti ‘rombongan jarang beli’. Keduanya menggambarkan perilaku masyarakat yang rutin datang ke mal, tapi lebih banyak melihat-lihat ketimbang benar-benar membeli. Mereka bukan tak mampu, sebagian justru berasal dari kelas menengah ke atas. Tapi kondisi ekonomi dan perubahan pola konsumsi membuat mall tak lagi jadi tempat belanja utama, melainkan tempat rekreasi gratis, ruang pendingin kota, dan simbol eksistensi sosial yang masih bisa dijangkau meski dompet menipis.

Salah satu dari mereka adalah Eka Dwi Lestari, ibu dua anak yang tinggal di Depok. Ia dan keluarganya sudah memiliki ritual khas tiap Sabtu: berangkat ke mall dekat rumah, biasanya Margo City atau Depok Town Square, sekadar cuci mata dan beli jajanan ringan.

“Aku tuh senang lihat-lihat, terutama bagian home living. Tapi terus terang, buat beli barang besar, aku biasanya bandingin dulu di online. Beberapa kali nemu barang yang sama, bahkan diskon di mall pun masih kalah sama harga di e-commerce,” tutur Eka, perempuan berusia 35 tahun ini kepada detikX.

Warga mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, Kamis 31 Juli 2025
Foto : Andhika Prasetya/detikcom

Ia pernah tergoda membeli pakaian di salah satu tenant ternama karena ada tulisan diskon spesial. Tapi saat iseng mengecek harga online, ternyata selisihnya hampir seratus ribu lebih murah. “Jadi ya aku nggak jadi beli. Di rumah tinggal klik, tunggu dua hari, nyampe juga,” katanya. Meski tidak belanja, Eka tetap mengunjungi mal hampir di setiap akhir pekan. “Soalnya anak-anak pada seneng, ada tempat main dan adem juga.”

Pengalaman serupa dialami oleh Wahyu Ramadhan, pegawai swasta yang tinggal di kawasan Bekasi. Laki-laki berusia 29 tahun ini dan pacarnya sering mengunjungi Summarecon Mall Bekasi di malam minggu. Tujuannya sederhana, ngopi, ngobrol, nonton lalu pulang, sedangkan belanja sangat jarang.

“Aku sih suka lihat-lihat sepatu, baju, kadang gadget. Tapi jujur aja, sekarang aku lebih nahan beli. Income nggak naik-naik, harga barang makin tinggi. Beli baju baru sekarang mikir banget. Yang penting masih punya yang layak pakai,” katanya.

Wahyu mengakui, dulu ia cukup konsumtif. Tapi sejak pandemi dan ditambah beban cicilan, gaya hidupnya berubah total. Kini ia menjadi tipikal rojali, ada di mall, tapi hanya ‘window shopping’.

“Aku inget banget pas awal tahun, pengin beli sepatu kerja. Liat di mall bagus banget, udah diskon 20 %. Tapi pas aku cek di marketplace, ternyata lebih murah dan bisa cicilan tanpa bunga. Ya sudah, akhirnya beli online,” ujarnya.

Fenomena semacam ini bukan hanya cerita personal. Ia telah berubah menjadi cermin sosial yang merefleksikan kondisi ekonomi masyarakat kelas menengah. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonsus Widjaja, jumlah kunjungan ke mall memang naik. Tapi omzet ritel justru menurun drastis. “Kalau yang di kelas menengah atas, penyebabnya karena mereka lebih hati-hati dalam berbelanja. Sedangkan yang menengah bawah, karena daya beli mereka memang turun,” ujarnya.

Sebagian masyarakat memandang jalan-jalan ke mall sebagai pelipur lara. Udara dingin, pencahayaan cantik, etalase mewah, dan secangkir kopi kekinian bisa jadi bentuk self-reward murah yang tak menuntut transaksi besar. Mall menjadi semacam ruang publik baru, tempat orang tetap bisa merasa hidup meski hidupnya sedang tidak baik-baik saja.

Sementara Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani menyoroti langsung tren masyarakat yang lebih banyak jalan-jalan ketimbang beli sesuatu. “Rojali dan Rohana ini kan konsep lebih ke daya beli. Karena di ritel sendiri, para pelaku ritel kami merasakan adanya penurunan demand, itu terasa sekali,” kata Shinta.

Tapi menariknya, meski masyarakat makin irit, untuk hal-halekstra” seperti konser atau event olahraga, mereka masih rela keluar uang besar. Hal ini yang disebut oleh Analis Kebijakan Ekonomi APINDO Ajib Hamdani sebagai bagian dari lipstick index.

“Kita itu punya lipstick index. Itu artinya memang konsumsi mereka secara umum menurun, tapi kalau ada kebutuhan-kebutuhan ekstra, misalnya kalau kita nonton bola itu selalu penuh. Kalau ada konser-konser, kita tiket war aja biasanya kehabisan,” ujar Ajib.

Artinya, bukan semata daya beli yang lesu. Tapi selektivitas dan prioritas konsumen yang berubah. Mereka menunda belanja baju, tapi tetap beli tiket konser Blackpink. Tidak beli blender baru, tapi booking staycation di puncak saat long weekend. Ada kompromi sosial yang terjadi, tetap tampil gaya, tetap eksis, tapi uang dijaga agar tidak jebol.

Belakangan, para pelaku usaha mulai mendorong transformasi dari Rojali-Rohana menjadi Robeli, akronim dari ‘rombongan benar-benar beli’. Ketua Bidang Perdagangan APINDO, Anne Patricia Sutanto, menjelaskan pentingnya daya saing agar masyarakat punya kekuatan konsumsi riil.

Pengunjung sedang beristirahat di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. 
Foto: Andhika Prasetya/detikcom

“Plus kalau kita berdaya saing otomatis investasi yang ada bertumbuh, tidak berkurang dan investasi yang ada bisa memberikan buying power. Jadi istilah Rohana, Rojali, itu tidak menjadi Rohana Rojali, tapi bener-bener Robeli, bener-bener dibeli,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta.

Namun untuk mewujudkan Robeli, dibutuhkan lebih dari sekadar niat. Menurut Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budiharjo Iduansjah, diperlukan keberpihakan regulasi pada ritel offline agar bisa bersaing dengan toko online.

“Kalau yang online bisa masuk barang tanpa banyak izin, yang di mall harus ajukan Pertek, neraca komoditas, segala macam. Belum lagi soal PPN. Yang di mall bayar 11 persen, yang online juga harusnya gitu. Kalau nggak, nggak adil,” tegas Budiharjo.

Ia juga menyebut bahwa fenomena rojali bukan sekadar soal miskin daya beli. Banyak dari mereka justru berbelanja di luar negeri. “Belanjanya di Malaysia, di Hongkong, di Singapura. Jadi Rojali itu bukan cuma masalah daya beli saja,” tambahnya.

Hingga kini sinyal peningkatan daya beli nasional belum terasa. Yang nyata justru data dari Badan Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan konsumsi rumah tangga pada kuartal I-2025 hanya tumbuh 4,89 persen. Angka itu lebih rendah dibanding kuartal I-2024 yang sebesar 4,91 persen maupun kuartal IV-2024 yang sebesar 4,98 persen (year-on-year). Padahal saat pandemi, konsumsi bahkan bisa tumbuh di atas 5,4 persen. Kini, perlambatan terasa jelas dan rohana serta rojali adalah wajah nyata dari statistik itu di lapangan.


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE