INTERMESO

Meneladani Sang Jenderal Hoegeng

Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso bukan hanya pemimpin, tapi juga simbol moral dan integritas. Atas dedikasinya, detikcom menginisiasi penghargaan tahunan untuk anggota Polri yang dinilai mewakili nilai-nilai Hoegeng.

Foto: Jenderal (Purn) Hoegeng Iman Santoso (Andhika Prasetya/detikcom)

Sabtu, 19 Juli 2025

Di tengah sejarah panjang Kepolisian RI, nama Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso berdiri sebagai sosok langka. Ia bukan hanya pemimpin, tapi juga simbol moral dan integritas. Tak gila harta, tak silau jabatan, dan nyaris mustahil untuk disuap. Bahkan saat kekuasaan ada di tangannya, Hoegeng justru memilih hidup sederhana. Dalam setiap langkahnya, ia menegaskan polisi sejati tak sekadar penegak hukum, tapi juga teladan.

Kejujuran Hoegeng begitu legendaris hingga Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah melontarkan satire yang jadi pengingat keras sekaligus penghormatan. "Polisi yang baik itu cuma tiga. Pak Hoegeng almarhum bekas Kapolri, patung polisi, dan polisi tidur," ujar Gus Dur. Sebuah pernyataan yang jenaka, tapi sekaligus serius bahwa di mata rakyat, Hoegeng berdiri sendirian sebagai simbol ketulusan dan keberanian menolak suap.

Lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921, Hoegeng tumbuh dalam lingkungan yang kental nilai-nilai etika. Sejak kecil ia terpapar disiplin pendidikan: HIS di usia 6 tahun, lanjut ke MULO (1934), lalu AMS Westers Klassiek (1937). Tahun 1940, ia masuk Rechts Hoge School Batavia, belajar hukum di masa yang masih dikuasai kolonial.

Masa pendudukan Jepang membawanya mengikuti pelatihan militer Nippon (1942) dan lembaga kepolisian Jepang, Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943). Selepas kemerdekaan, kariernya melesat mulai dari Kepala DPKN Surabaya (1952), Reserse Sumut (1956), hingga posisi strategis di Mabes Polri dan pemerintahan. Ia sempat menjabat Kepala Jawatan Imigrasi, Menteri Iuran Negara, dan Sekretaris Kabinet Inti sebelum akhirnya dilantik sebagai Kapolri pada 5 Mei 1968.

Jenderal (Purn) Hoegeng Iman Santoso
Foto: Dok Museum Hoegeng Iman Santoso 

Jabatan bergengsi itu bukanlah hadiah politik, tapi buah dari reputasi panjang Hoegeng sebagai pribadi yang tak tergoyahkan. Di bawah kepemimpinannya, institusi Polri mengalami perubahan nyata. Polri terus menunjukkan komitmen konkret dalam mendukung agenda pembangunan nasional.

Keteladanan Hoegeng dan Kontribusi Program Asta Cita

Kini, spirit kejujuran dan keberanian Jenderal Hoegeng itu tak dibiarkan jadi sekadar nostalgia. Di bawah kepemimpinan Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, Polri terus membuka ruang refleksi dan kritik untuk terus berbenah. Salah satu bentuk keterbukaan itu adalah sambutan hangat Kapolri terhadap Hoegeng Awards sebagai sarana apresiasi dan introspeksi.

"Kemudian ke depan semakin banyak Hoegeng Hoegeng yang bentuk integritas anggota-anggota kami. Dan ini tentunya kami mewakili institusi Polri, mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan seluruh anggota telah bekerja keras luar biasa," kata Jenderal Sigit.

Jenderal Sigit bahkan mengapresiasi penuh inisiatif publik tersebut. Ia menyebut bahwa ajang seperti ini mampu menjadi cermin sekaligus motivasi bagi anggota kepolisian agar terus menjaga integritas dan tetap berpihak pada masyarakat. Sikap ini menunjukkan bahwa Kapolri tak antikritik, dan siap mendorong perubahan yang lebih baik dalam tubuh Polri.

"Saya nggak bisa berkata banyak, saya bangga dengan kalian, pertahankan. Yang di luar sana saya tahu kalian banyak kerja luar biasa, terus semangat, jaga integritas, itu apresiasi dan kebanggaan bagi institusi dan harus terus kita jaga" tambahnya.

Dukungan terhadap Hoegeng Awards menjadi bukti bahwa nilai-nilai luhur dalam institusi kepolisian tidak pernah padam justru sedang diwariskan kepada generasi baru Bhayangkara.Langkah tersebut sejatinya sejalan dengan visi Presiden RI Prabowo Subianto melalui ‘Asta Cita’, terutama dalam agenda reformasi birokrasi dan penegakan hukum yang bersih dan terpercaya. Dengan memperkuat akuntabilitas dan transparansi, Polri terus bergerak menuju institusi yang lebih modern, humanis, dan profesional.

Dalam berbagai kesempatan, Prabowo menekankan pentingnya keberpihakan kepolisian kepada rakyat. Jargon 'Polisi Rakyat' pun menjadi pesan moral yang selalu diutarakan mantan Menhan itu kepada seluruh anggota Korps Bhayangkara.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Chairman CT Corp Chairul Tanjung, dan para penerima Hoegeng Award 2025 usai acara penyerahan penghargaan pada Rabu 16 Juli 2025
Foto: Dok detikcom

Sebagai respons atas arah kebijakan itu, Jenderal Sigit melalui pendekatan soft power mengarahkan institusinya untuk berkontribusi pada program Asta Cita, salah satunya dengan membuka akses pelatihan di Pusdiklat dan SPN untuk program Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia.Tak berhenti di situ, dalam bidang ketahanan pangan, Polri menjalankan Program Pekarangan Pangan Bergizi dan Pemanfaatan Lahan Produktif, sembari tetap mengawasi distribusi bantuan pemerintah dan hasil panen agar tepat sasaran.

Mereka bahkan merekrut 593 Bintara Kompetensi Khusus dan memperkuat peran Bhabinkamtibmas serta Bintara Penggerak Ketahanan Pangan perwira lapangan yang menjadi ujung tombak perubahan di desa-desa.

Hasilnya, panen raya serentak di dua kuartal awal 2025 menghasilkan 2,08 hingga 2,5 juta ton hasil pertanian, disusul ekspor 20 ribu ton jagung ke pasar internasional secara bertahap.

Di tengah kompleksitas tugas kepolisian di era sekarang tersebut, semangat integritas menjadi pijakan yang tak boleh lepas dari keseharian polisi dalam menjalankan tugas. Dalam konteks inilah, warisan moral Jenderal Hoegeng semakin menemukan relevansinya hari ini.

Terinspirasi dari keteladanannya, detikcom sejak 2022 menginisiasi Hoegeng Awards sebuah penghargaan tahunan yang diberikan kepada anggota Polri yang dinilai mewakili nilai-nilai Hoegeng: jujur, sederhana, bersih, dan berpihak pada masyarakat. Program ini bukan semata menjadi bentuk apresiasi, melainkan juga ikhtiar untuk terus menumbuhkan lebih banyak polisi teladan.

Mekanisme Seleksi

Penghargaan ini bukan sekadar seremoni. Proses seleksinya melibatkan berbagai pihak di antaranya:

•⁠ ⁠Usulan publik dibuka secara online sejak Januari–Maret 2025.

•⁠ ⁠Seleksi awal oleh tim redaksi detikcom dan verifikasi lapangan.

•⁠ ⁠Penilaian akhir oleh Dewan Pakar, terdiri dari tokoh seperti mantan Plt Pimpinan KPK sekaligus pendiri Mas Achmad Santosa, anggota Kompolnas Gufron Mabruri, Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia Alissa Wahid, Wakil Ketua Komnas HAM Putu Elvina serta Ketua Komisi III DPR Habiburokhman.

Hingga 2025, sejumlah polisi dari berbagai daerah telah dianugerahi Hoegeng Awards. Mereka bukan nama yang biasa muncul di berita utama melainkan aparat di lapangan yang diam-diam bekerja melampaui panggilan tugas.

Profil Penerima Hoegeng Awards 2025

1. ⁠Aipda Rahmad Muhajirin (Polisi Problem Solver dari Bojonegoro)

Di balik seragamnya, Aipda Rahmad Muhajirin (Jirin), tak hanya hadir sebagai polisi, tapi juga sebagai penyambung hidup warga Ledok Kulon, Bojonegoro. Ia mendirikan komunitas tanggap bencana ‘Marcapada’, membangun sistem peringatan dini banjir dari alat-alat sederhana, hingga menyediakan ambulans gratis untuk masyarakat tanpa pamrih.

Jirin bekerja dengan hati. Di wilayah yang langganan banjir, ia tak hanya mengangkat air, tapi juga harapan. Tanpa sorotan kamera, tanpa pangkat tinggi, Jirin menjemput makna pengabdian dengan tangan sendiri.

Aipda Rahmad Muhajirin saat menerima tropi penghargaan Hoegeng Awards 2025
Foto: Dok detikcom

2. ⁠Iptu Andi Sriulva Baso (Polisi Inovatif dari Sulsel Penggagas Meja Tanpa Laci)

Apa jadinya jika meja kantor tak punya laci? Iptu Ulva punya jawabannya. Ia menciptakan konsep 'Meja Tanpa Laci di ruang pelayanan SIM Ditlantas Polda Sulsel untuk mencegah pungli. Tak ada ruang untuk suap, tak ada celah untuk amplop.

Inovasinya sederhana tapi radikal. Meja itu kini jadi simbol transparansi. Ulva pun jadi penggerak perubahan yang berani mendobrak budaya birokrasi yang kerap abu-abu. Di tengah skeptisisme publik terhadap layanan publik, Ulva datang membawa pendekatan jernih dan terang.

Iptu Andi Sriulva Baso saat menerima tropi penghargaan Hoegeng Awards 2025 
Foto: Dok detikcom

3. Kombes Seminar Sebayang (Polisi Teladan Konsisten Tularkan Integritas)

Ketika banyak pejabat tinggi memilih jalan kompromi, Kombes Seminar Sebayang tetap teguh di garis integritas. Kepala SPN Polda Sulteng ini tak sekadar mengajarkan disiplin, tapi mempraktikkan keteladanan.

Ia menolak hadiah, menolak pendekatan gelap, dan menegakkan aturan meski harus berseberangan dengan rekan sendiri. Seminar adalah tipe pemimpin yang tak bicara banyak, tapi bekerja dengan suara tindakannya. Baginya, nilai-nilai Jenderal Hoegeng bukan cerita nostalgia tapi kompas moral harian.

Kombes Seminar Sebayang saat menerima tropi penghargaan Hoegeng Awards 2025
Foto: Dok detikcom

4. Kombes Rita Wulandari (Penjaga Perempuan, Anak dan Kelompok Rentan yang Tak Kenal Lelah)

Di meja kerjanya di Bareskrim Polri, kasus kekerasan datang tanpa henti. Tapi Kombes Rita Wulandari tak pernah membiarkan satu pun lolos dari atensi. Ia menangani ribuan laporan kekerasan, menyelamatkan para TKI perempuan dari perbudakan, dan mendobrak sistem perlindungan yang selama ini pincang.

Rita bukan hanya penyidik. Ia adalah pelindung yang memeluk korban, menghadirkan rasa aman bagi yang selama ini dibungkam. Dalam setiap kasus yang ia tangani, ada rasa marah yang dijaga rapi, diubah menjadi energi untuk menegakkan keadilan.

Kombes Rita Wulandari saat menerima tropi penghargaan Hoegeng Awards 2025
Foto: Dok detikcom

5. ⁠Bripka Annas (Guru Sukarela di Tapal Batas Donggala)

Di pedalaman Banawa Selatan, Donggala, Sulteng, Bripka Annas datang sebagai polisi. Tapi sejak lama, warga mengenalnya sebagai guru. Ia mengajar anak-anak suku Da’a membaca dan menulis, bukan karena tugas tapi karena kepedulian yang lahir dari hati.

Selama 10 tahun bertugas jauh dari keluarga, Annas tak pernah meminta pindah. Tapi tahun ini, ia mengajukan permohonan untuk bisa lebih dekat dengan anak-istrinya di Poso. Permohonan itu pun dikabulkan langsung oleh Kapolri. Polisi ini mungkin tak dikenal banyak orang, tapi bagi masyarakat pelosok, Annas adalah jawaban dari kata 'hadir'.

Bripka Annas saat menerima tropi penghargaan Hoegeng Awards 2025
Foto: dok detikcom

Kelima polisi ini adalah wajah nyata semangat Hoegeng di masa kini. Mereka hadir bukan untuk citra, tapi untuk kerja nyata. Dalam dunia yang penuh kompromi, mereka memilih jalan yang mungkin lebih sepi, tapi lurus.“Kalau semua polisi seperti Pak Hoegeng, saya yakin Indonesia ini aman dan tentram,” kata Gus Dur.

Mereka menunjukkan bahwa semangat Hoegeng bukan mustahil untuk dihidupkan kembali—bukan dengan seragam, tapi dengan sikap. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, nama Hoegeng dan mereka yang mengikuti jejaknya tetap jadi alasan untuk berharap.

Dengan rangkaian kisah dan penghargaan ini, Hoegeng Awards bukan sekadar acara simbolis. Ini momentum untuk menyalakan kembali nilai-nilai integritas dan profesionalisme bahwa menjadi polisi sejati berarti menjadi pelayan rakyat yang tak bisa dibeli.


Penulis: Shofiyah Afni 
Editor: Akfa Nasrulhak, Alfi Kholisdinuka

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE