INTERMESO

Wajah Satu Dekade Stasiun Nambo

Menjajal pengalaman naik KRL ke Stasiun Nambo, 10 tahun sejak beroperasinya Jalur Nambo.

Penumpang KRL di stasiun Cibinong menuju stasiun Nambo |  Foto: Indra Subagja/detikcom

Selasa, 8 Juli 2025

Sehari setelah saya pergi ke Nambo untuk pertama kalinya, besoknya, saat mau naik kereta commuter line (KRL) dari Tebet ke Pasar Minggu, saya membaca nama kereta yang datang: NAMBO. Ini toh yang namanya bias konfirmasi, fenomena ketika kita mulai melihat sesuatu di mana-mana, atau makin sering, setelah otak memikirkan hal itu. Oh, Nambo sudah tertangkap radar saya sekarang. Selama ini, saya merasa tak pernah lihat apalagi naik Kereta Nambo, padahal mungkin saja pernah, tanpa menyadarinya.

Ada tiga jenis kereta di Lin Bogor yaitu Kereta Bogor (Jakarta Kota-Bogor), Kereta Depok (Jakarta Kota-Depok), dan Kereta Nambo (Jakarta Kota-Nambo). Rute ini adalah rute lurus, dengan percabangan di Stasiun Citayam, di mana satu rel mengarah ke Kota Bogor, sedang cabang lainnya menuju Stasiun Nambo di Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor.

Jika orang hendak turun sebelum Citayam, tidak masalah naik Kereta Bogor, Depok, atau Nambo. Kasus nyasar adalah apabila seseorang niat hatinya ingin ke Bojong Gede, Cilebut, atau Bogor, yang seharusnya naik Kereta Bogor, tapi malah ikut Kereta Nambo. Oleh sebab dua kereta ini melintas di peron yang sama, penting untuk melihat nama stasiun tujuan akhir yang terpampang di muka gerbong pertama, atau mendengarkan pengumuman petugas melalui pengeras suara. Pengguna KRL yang tidak fokus, atau pengguna baru, bisa saja tidak memperhatikan hal ini. Tahu-tahu sudah di Nambo.

Teman saya Cintya pernah mengalami itu, salah naik kereta. “Aku naik dari Stasiun Duren Kalibata dan enggak ngeh sampai ujung sono. Padahal, kalau sadar, bisa transit atau ganti kereta di Citayam. Aku baru ngeh setelah turun, mana kereta baliknya datang satu jam lagi. Waktu itu maghrib, sepi, aku nunggu aja di peron, enggak berani jalan-jalan keluar karena takut ketinggalan kereta,” kisahnya.

Banyak orang mengalami hal serupa sampai-sampai, di internet, Stasiun Nambo dijuluki Rock Bottom, kota di zona abisal laut dalam serial kartun Spongebob Squarepants. Dalam episode itu, Spongebob salah naik bus dan berakhir di kedalaman Rock Bottom. Ia mau pulang ke rumahnya di Bikini Bottom, tapi jarang bus lewat. Sekalinya ada, berhenti sedetik, langsung tancap gas lagi. Makanya, warganet suka bercanda menyamakan Stasiun Nambo dengan Rock Bottom.

Sebetulnya, ada tips jika terbawa sampai ke Nambo, yaitu tetaplah duduk di kereta. Jika Cintya tidak turun ke peron, ia tidak perlu menunggu sejam karena kereta yang ia tumpangi akan segera berangkat kembali menuju Jakarta Kota. Kereta Nambo pulang-pergi di jalur tunggal. Hal ini, ditambah rutenya yang panjang hingga Jakarta Kota, dengan hanya tiga rangkaian KRL, menjadikan headway, atau waktu tunggu antar keretanya, 55 menit hingga satu jam. Dulu malah dua jam sekali. Rute KRL lain rata-rata headway-nya 10-30 menit.

Para penumpang di dalam KRL menuju stasiun Nambo 
Foto : Indra Subagja/detikcom

Waktu tunggu yang memendek jadi satu jam itu baru terjadi awal tahun ini, setelah penambahan jadwal di Jalur Nambo hingga total 32 perjalanan, dari sebelumnya 28 perjalanan dalam sehari. Keberangkatan pertama dari Nambo yaitu pukul 04:55, sedangkan yang terakhir pukul 21:55. Sementara dari Jakarta Kota tujuan Nambo, kereta pertama berangkat pukul 05:15 dan kereta terakhir 20:10.

Jadwal yang tidak sebanyak rute lain ini mengharuskan penumpang Nambo pintar-pintar atur waktu. Kata Rafa, mahasiswa Universitas Indonesia yang saya ajak bicara di kereta saat libur tahun baru Islam kemarin, ia wajib tahu jadwal keberangkatan dan harus sampai di Stasiun Nambo sebelum itu. Telat menggapai Kereta Nambo otomatis telat ngampus. Sore itu, Rafa pulang ke Nambo, setelah paginya mengunjungi rumah paman di Cakung, Jakarta Timur. Ia bersama keponakannya yang masih kelas 1 SD. Keponakannya berceloteh ingin foto dengan masinis begitu sampai nanti.

“Kalau hari kerja dan jam berangkat kerja gitu, rame enggak?” saya bertanya.

“Dari Nambo ke Jakarta? Penuh sih. Penuh orang berdiri,” jawab Rafa.

Itulah hari saya menjajal sendiri pergi ke Nambo untuk mengetahui bagaimana perjalanannya, seperti apa stasiunnya, dan siapa saja kira-kira yang naik dan turun di sana. Kalau mendengar jawaban Rafa, saya mulai meragukan predikat Rock Bottom. Rock Bottom itu bukan hanya sunyi, melainkan ada kesan misterius dan mencekam. Saya ragu kesan itu bisa hadir bersamaan dengan riuh orang commuting. Lagipula, stasiun ini sudah beroperasi sejak April 2015. Meski Nambo stasiun kecil yang jaraknya hanya sekitar sepuluh kilometer dari Gunung Kapur Klapanunggal, kawasan bukit kapur di Cileungsi, volume penggunanya lumayan juga. Tahun lalu bahkan meningkat 150 persen, dari 474.268 menjadi 1.192.551.

Pemandangan di perjalanan, khususnya selewat Citayam, memang berbeda dari yang biasa dilihat di jalur KRL di tengah kota. Kemarin cuaca cerah, di sisi kanan dari arah laju kereta, Gunung Salak dan Gede-Pangrango tampak di kejauhan. Lalu ada sawah, sungai, lembah, lumayan hijau dan menyegarkan mata, meski banyak juga dijumpai deretan rumah yang dibangun sekian meter dari jalur kereta. Bukan Rock Bottom, hanya alam dan desa yang semakin diwarnai pembangunan. Ah, candaan Rock Bottom ini, lucu tapi tidak akurat.

Saat melintasi Stasiun Pondok Rajeg, yang baru diresmikan Oktober 2024, stasiunnya kecil, modern, dan bersih. Jika tidak ada kereta lewat, orang-orang yang menunggu di peron memandang langsung ke area persawahan. Suasananya tampak tenang, tidak sibuk, cocok untuk melamun. Dua perempuan yang sempat saya ajak ngobrol sewaktu menunggu kereta di Manggarai, turun di sini. Yang satu, ibu pedagang gorden di Pasar Depok Jaya pulang kerja, satunya lagi, peserta majelis taklim dari Tangerang Selatan, mau ikut pengajian di pondok pesantren dekat situ.

KRL tujuan Nambo-Jakarta Kota melintas di Stasiun Pondok Rajeg
Foto : Yulius Satria Wijaya/Antara

Kereta melaju lagi. Kereta Nambo beberapa kali mengeluarkan klakson panjang. Saya menangkap ini karena tidak biasa mendengarnya saat naik KRL di rute lain. Rupanya ini karena masih banyak perlintasan sebidang atau perlintasan liar yang dijaga secara swadaya oleh masyarakat setempat, atau bahkan tidak terjaga sama sekali.

Pemandangan berubah lagi. Lebih banyak bukit kapur yang ditambang, lalu peti kemas warna-warni, truk-truk trailer, dan pabrik semen yang menjulang di kejauhan, yang kelihatannya udaranya berdebu di sana. Ketimbang Rock Bottom, meski betul surreal, yang ini lebih mirip salah satu distrik industrial di The Hunger Games, nuansanya agak post-apocalyptic. Ternyata, jika sudah melihat pabrik semen ini, artinya sudah hampir sampai.

Akhirnya kereta tiba di Stasiun Nambo. Terlihat lajur-lajur lain dengan kereta pengangkut semen. Sebelum difungsikan sebagai stasiun KRL, Nambo memang duluan aktif untuk kereta angkutan barang. Bangunan stasiun identik dengan stasiun sebelumnya, Stasiun Cibinong. Peronnya hanya satu dan lebih panjang dari peron di Stasiun Pondok Rajeg. Waktu itu sekitar pukul lima, cukup banyak yang turun, bahkan orang tampak mengantre dan memadati gerbang tap kartu.

Saya berkeliling. Stasiun Nambo punya fasilitas yang sama dengan stasiun KRL lainnya, ada loket, vending machine, toilet, mushola, dan pengisian batere. Parkirannya sangat luas, dengan pohon-pohon besar dan rindang. Begitu keluar dari area stasiun, suasananya perkampungan. Terdapat beberapa warung makan, lalu ada sebuah kafe dan swalayan. Ada juga bus stop yang dilewati satu-satunya angkutan umum yaitu Angkot 74 ke arah Citeureup.

Saya memutuskan untuk buka laptop di kafe, memesan es jeruk dan kentang goreng, lalu menanyakan kepada baristanya, siapa pelanggan kafe ini. Katanya, kebanyakan karyawan PT KAI Logistik dan pekerja kantor jasa konstruksi di sekitar situ. Kira-kira saya menghabiskan dua jam di kafe itu, lalu kembali ke stasiun, beli cilok di pintu masuk, memberi makan kucing stasiun dan menunggui kucing makan, lalu tap in lagi.

Di peron, saya duduk di sebelah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan balita laki-laki. Mereka mau kembali ke Jakarta usai seharian itu jalan-jalan dan menemui kerabat di Pasir Mukti. Sama seperti saya, mereka juga pertama kali ke Nambo. Saat saya kembali ke peron, kereta baru saja berangkat tiga menit yang lalu pada 19:17. Pengalaman ini jadi terasa komplit dengan menunggu kereta datang lagi pada 20:27. Untung tadi beli cilok Rp 10 ribu, cukup lama untuk menghabiskannya. Saya melipir ke ujung peron, duduk di lantai beton peron dengan kaki menggantung, makan cilok sambil mendengarkan suara jangkrik yang nyaring sekali.

Saat kereta datang dan saya naik, ada seekor belalang yang hendak turut. Belalang itu naik dari Nambo dan terbang keluar di Pondok Cina.


Penulis: Alya Nurbaiti
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE