INTERMESO

Ketika Berwisata Hanya Untuk Tidur

Dari tekanan pekerjaan hingga adiksi layar, makin banyak orang mencari liburan yang tak berisik, hanya ingin tidur dan tenang.

Ilustrasi : Seorang wanita sedang tertidur pulas (Getty Images/iStockphoto)

Minggu, 29 Juni 2025

Setiap orang dewasa seharusnya tidur selama 7 hingga 8 jam setiap malam. Itu angka ideal yang disepakati para ahli kesehatan demi menjaga fungsi otak, imunitas tubuh, dan kestabilan emosi. Namun, kenyataannya, semakin banyak anak muda yang harus merelakan jam-jam tidur mereka untuk menyelesaikan pekerjaan, mengerjakan tugas, atau sekadar terjebak di layar ponsel hingga dini hari.

Sebuah survei menyebutkan bahwa 46 persen Gen Z mengalami kesulitan tidur setiap malam, jauh lebih tinggi dibandingkan milenial yang hanya 25 persen. “Jarak mereka hanya beberapa tahun, tapi sungguh luar biasa melihat betapa cepatnya perbedaan pola tidur hanya dalam beberapa tahun,” kata Chris Mosunic, psikolog klinis yang juga Kepala Petugas Klinis di Calm, seperti dikutip USA Today.

Dalam survei yang sama, 93 persen Gen Z mengaku sering begadang karena asyik bermain media sosial, terutama TikTok. Mereka menunda tidur demi menonton video viral, menjelajahi meme, hingga doomscrolling berita dunia yang memancing kecemasan. Hasilnya, otak mereka tetap aktif di saat tubuh seharusnya beristirahat. Tak heran jika banyak dari mereka terjebak dalam siklus tidur yang kacau dan stres mental yang terus menumpuk.

"Kadang saya benar-benar capek, tapi nggak bisa tidur karena kepala masih muter terus," kata Aulia Puspita, 24 tahun, seorang pekerja agensi kreatif di Jakarta. Ia termasuk bagian dari Generasi Z yang setiap malam harus berjibaku dengan notifikasi email, WhatsApp klien, dan tekanan dari tenggat waktu. “Paling sering jam tidur saya baru mulai jam 2 atau 3 pagi. Tapi pagi-pagi harus udah rapat pukul 09.00.”

Kelelahan kronis yang melanda Gen Z secara global telah memunculkan tren baru: sleep tourism atau wisata tidur. Fenomena ini bukan sekadar ‘staycation’, tapi perjalanan yang dirancang khusus untuk memberi pengalaman tidur berkualitas, di tempat yang tenang, nyaman, dan bebas distraksi digital.

Ilustrasi seorang perempuan sedang mengalami susah tidur pada malam hari
Foto:  Getty Images/AsiaVision

Sleep tourism lahir dari kelelahan kolektif. Dari gaya hidup urban yang serba cepat, dari budaya hustle yang memuja produktivitas, dan dari keterikatan konstan pada teknologi yang mengaburkan batas antara siang dan malam. Bagi banyak orang, terutama Gen Z, tidur tak lagi bisa dipenuhi hanya dengan mematikan lampu kamar. Mereka harus benar-benar ‘pergi’ untuk bisa benar-benar istirahat.

Aulia tahu ia butuh istirahat. Menjelang libur panjang akhir pekan bulan lalu, ia memutuskan untuk kabur sejenak dari Jakarta. Bukan untuk ke pantai, bukan untuk naik gunung, tapi untuk tidur. Menyesuaikan dengan budget yang ia punya, Aulia menyewa sebuah unit Airbnb di kawasan Dago Pakar, Bandung, sebuah vila mungil yang dikelilingi hutan pinus, tanpa televisi, tanpa WiFi, dan hanya ada suara jangkrik di malam hari. “Saya pilih tempat yang bener-bener sepi. Saya bahkan matikan notifikasi ponsel. Nggak ada itinerary. Saya datang buat tidur saja,” katanya.

Selama tiga hari dua malam, Aulia menghabiskan waktunya dengan tidur siang, mendengarkan suara burung dari jendela, dan merendam badan di bath tub dengan air hangat yang disediakan tuan rumah. “Baru kali itu saya ngerasa tidur nyenyak lebih dari 8 jam, tanpa mimpi aneh, tanpa kebangun-bangun. Bangun tidur rasanya segar banget, kayak otak di-reset,” ujarnya.

Fenomena pariwisata tidur ini mulai berkembang pesat sejak pandemi. Ketika batas kerja dan rumah melebur, dan orang-orang kehilangan ritme tidur mereka, destinasi wisata yang menawarkan ketenangan tidur justru mendapat tempat di hati banyak orang. Di Indonesia, tren ini belum terlalu masif, tapi perlahan mulai tumbuh. Beberapa akomodasi di Bali, Bandung, dan Ubud kini mulai memasarkan tempat mereka sebagai ‘retreat’ untuk istirahat, bukan cuma liburan. Vila-vila dengan konsep slow living, resort yang menawarkan terapi tidur, hingga kamar dengan aroma terapi dan sleep music mulai menjadi daya tarik.

Di Ubud, Bodhi Leaf Wellness Retreat menghadirkan program tidur lewat terapi suara, yoga, dan meditasi. MesaStila Resort and Spa di Magelang menawarkan paket relaksasi dan tidur nyenyak di tengah kebun kopi dan pegunungan. Sementara Fivelements Retreat, juga di Bali, menyuguhkan terapi holistik dan suasana alam yang mendukung tidur berkualitas.

Sementara hotel dan resort di seluruh dunia kini berlomba menghadirkan pengalaman tidur terbaik, lengkap dengan kasur premium, bantal ergonomis, pengaturan suhu dan pencahayaan khusus, hingga smart bed berbasis AI. Beberapa juga menawarkan terapi suara alam, aromaterapi, konsultasi pakar tidur, dan layanan sleep concierge untuk membantu tamu mengatur pola tidur selama menginap.

Lebih dari sekadar tempat beristirahat, sleep tourism sering dipadukan dengan aktivitas relaksasi seperti yoga, meditasi, terapi pernapasan, dan sleep coaching. Fasilitas tambahan seperti spa, aromaterapi, dan pemandangan alam yang menenangkan menjadi daya tarik utama bagi mereka yang mencari ketenangan dan pemulihan.

Di New York, Park Hyatt membuka Bryte Restorative Sleep Suite seluas 900 kaki persegi, lengkap dengan fasilitas yang dirancang khusus untuk meningkatkan kualitas tidur. Rosewood Hotels & Resorts pun meluncurkan koleksi retret ‘Alchemy of Sleep’ yang berfokus pada pemulihan istirahat. Di London, Zedwell menjadi hotel pertama yang sepenuhnya didedikasikan untuk tidur. Dibuka pada awal 2020, seluruh kamarnya dilengkapi peredam suara inovatif. Sementara itu, produsen tempat tidur asal Swedia, Hästens, mendirikan Hästens Sleep Spa Hotel pertama di dunia di Coimbra, Portugal, sebuah hotel butik dengan hanya 15 kamar, yang seluruhnya dirancang untuk menunjang tidur ideal.

Ilustrasi traveling ke alam terbuka
Foto: Shutterstock 

Annie Theeng, seorang desainer web, menjalani liburan tidur pertamanya bersama suami di awal 2022 setelah mengalami kelelahan berat sebagai ibu baru di tengah pandemi. “Itu adalah waktu istirahat yang sangat kami butuhkan, ada begitu banyak malam tanpa tidur, dan Anda berada dalam kondisi pikiran yang kacau dan terus-menerus gelisah,” ujarnya seperti dikutip CNA. Ia juga mengalami depresi pasca persalinan yang hampir mempengaruhi pernikahan mereka. Saat suaminya bertanya apa yang ia inginkan, satu-satunya jawaban Annie adalah tidur.

Mereka akhirnya memesan program tidur di Thailand selama seminggu, yang mencakup konsultasi dengan ahli naturopati, yoga, pijat, Reiki, dan panduan nutrisi. “Semuanya untuk membantu Anda menemukan ketenangan dan strategi penanganan yang lebih baik, sehingga tidur Anda tidak terganggu, dan Anda kembali fokus,” katanya.

Efek positif dari program ini tak hanya dirasakan selama liburan, tetapi juga berlanjut setelahnya. Kini, mereka menjalani rutinitas yoga bersama dan menjadwalkan malam kencan usai kelas. “Untuk pertama kalinya, saya kembali dari liburan tanpa merasa lebih lelah. Ini adalah liburan yang bertujuan, meditatif, dan semacam penyegaran,” ujarnya.

Tahun ini, Annie dan suaminya berencana mengambil liburan tidur lagi, namun di kota besar. “Kita dapat sedikit memperlambat langkah, tidak takut ketinggalan, dan Anda akan mendapatkan lebih banyak manfaat dari liburan Anda dengan cara itu,” tutupnya.


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE