KRL menjembatani kesetaraan akses bagi jutaan komuter Jabodetabek di tengah keruwetan kemacetan Jakarta yang tak pernah padam.


Kereta rel listrik (KRL) commuter line Jabodetabek menjadi tulang punggung transportasi massal di Jabodetabek. Per hari bisa membawa 1 juta penumpang atau 300 ribu pelaju per tahun. KRL, yang berjalan mengular setiap hari, didominasi buatan Jepang. Perbedaannya dengan KRL asal China mencerminkan dinamika geopolitik dan pengayaan teknologi.

Direktur Utama KAI Commuter Asdo Astriyanto sempat memprediksi akan terjadi krisis armada commuter pada 2025 lantaran banyaknya rangkain KRL yang tengah dalam masa perawatan dan peremajaan. Dari total 108 rangkaian kereta pada 2024, yang dapat beroperasi hanya 89 rangkaian. Sisanya, 17 masih harus ‘dirumahkan’.

Kendati sudah dilakukan upaya perbaikan, beberapa rangkaian masih belum bisa beroperasi maksimal. Walhasil, hingga Mei 2025, hanya ada total 98 rangkaian KRL aktif yang dapat beroperasi. Masih kurang dua rangkaian lagi untuk mencapai titik idealnya, yakni 101 rangkaian.

KAI Commuter telah menambah armada dengan resmi mengoperasikan KRL baru tipe CLI-125. KRL ini memiliki kapasitas 8 persen lebih besar dibandingkan armada sebelumnya.

Total sudah ada tiga rangkain baru yang sudah beroperasi pekan lalu. Rencananya, jumlah tersebut akan kembali ditambah hingga mencapai 27 armada baru lagi.

Kenalan dengan Kereta China



Produsen: CRRC Qingdao Sifang Co, Ltd
Kecepatan -+ 120km/jam
Kapasitas -+ 1.950 penumpang
Listrik: 1.500 V DC
Kamera CCTV dan Ramah Difabel
Panjang 20 meter / gerbong



KRL buatan China, yang dipesan Indonesia dari CRRC Qingdao Sifang, menjadi wajah baru transportasi massal Jabodetabek. Meskipun bukan kereta cepat seperti Whoosh, KRL ini membawa standar baru dalam efisiensi dan kenyamanan. Teknologinya lebih mutakhir, dengan bodi berbahan aluminium ringan, desain interior modern. Juga ada fitur-fitur seperti AC yang lebih efisien dan merata, sistem pengumuman otomatis, kamera pengawas, hingga akses ramah disabilitas.

KRL baru impor dari China dilengkapi lampu indikator kuning di atas pintu gerbong yang menyala dan berbunyi saat pintu akan dibuka atau ditutup. Lampu ini berfungsi sebagai peringatan agar penumpang lebih waspada saat naik-turun kereta.

Jika dibandingkan dengan armada lama, yang masih mendominasi lintasan rel di Jabodetabek, seperti KRL seri 205 dan 203 buatan Jepang, KRL buatan China menawarkan peningkatan signifikan dalam kapasitas dan sistem elektronik. Satu rangkaian terdiri atas 12 gerbong dan dapat menampung hingga sekitar 3.400 penumpang sekali perjalanan. Kapasitas ini sedikit lebih besar dibanding KRL eks Jepang, yang umumnya menampung 1.600-1.800 penumpang per rangkaian, tergantung formasi gerbong.

Selain kapasitas, perbedaan mencolok juga terlihat dari usia dan performa. Banyak KRL eks Jepang yang saat ini beroperasi adalah unit bekas pakai yang sudah berusia lebih dari 30 tahun sebelum dikirim ke Indonesia. Meskipun ketangguhannya terbukti, usia tua membuatnya sering butuh perawatan intensif. Sebaliknya, kereta buatan China ini benar-benar baru, dengan teknologi terkini yang lebih hemat energi dan lebih tahan terhadap keausan karena pemakaian berat sehari-hari.

Jumlah dan Harga Kereta China-Jepang

Pesanan KAI Commuter dari CRRC: 11 trainset /rangkaian kereta (1 rangkaian terdiri atas 12 kereta, total 132 unit) dari CRRC Qingdao Sifang. Telah tiba di Indonesia: 7 trainset (84 kereta). Sedang dalam operasional reguler: 3 trainset (36 kereta).

Rp 3,03 triliun adalah total anggaran yang disiapkan oleh PT KAI Commuter Line untuk 11 trainset impor dari China pada 2025. Jika dibagi rata, harga per trainset menjadi sekitar Rp 275 miliar.

Rp 225,6 Miliar / trainset
Rp 275 Miliar / trainset

Di antara tiga rangkaian KRL baru yang diimpor dari China, hingga Juni 2025, ada dua rangkaian beroperasi di Lintas Bogor dan satu rangkaian di Lintas Cikarang .

Setiap hari, jutaan penumpang menggantungkan mobilitasnya pada jaringan KRL Commuter Line Jabodetabek yang merentang dari ujung barat hingga timur, serta dari utara ke selatan. Beberapa lintas utama menjadi nadi dari pergerakan harian ini, termasuk rute Tangerang–Manggarai, Bogor–Manggarai, dan Cikarang–Manggarai. Masing-masing memiliki karakteristik waktu tempuh dan tingkat kepadatan yang berbeda, meski semua bermuara di satu titik penting: Stasiun Manggarai, pusat transit yang kini menjelma sebagai simpul konektivitas baru Jakarta.

Tangerang – Manggarai

65-75 Menit

Perjalanan KRL dari Stasiun Tangerang menuju Manggarai menempuh jarak sekitar 26 kilometer. Rute ini melintasi sejumlah stasiun antara, seperti Duri, Tanah Abang, hingga Sudirman. Dengan waktu tunggu dan persinggahan di setiap stasiun, rata-rata waktu tempuhnya berkisar 65-75 menit, tergantung kepadatan dan antrean kereta di lintas Tanah Abang-Manggarai.

Rangkasbitung – Manggarai

110-120 Menit

Perjalanan KRL commuter line dari Rangkasbitung ke Manggarai membutuhkan waktu rata-rata sekitar 2 jam 5 menit, melewati belasan stasiun dari wilayah barat Banten hingga jantung Ibu Kota. Kereta berangkat dari Stasiun Rangkasbitung dan melaju melalui jalur Serpong Line menuju Stasiun Tanah Abang, dengan waktu tempuh sekitar 1 jam 50 menit. Di Tanah Abang, penumpang harus transit dan berganti kereta tujuan Manggarai, biasanya menunggu antara 2 hingga 11 menit, tergantung jadwal. Dari sana, perjalanan dilanjutkan sekitar 10 hingga 15 menit menuju Stasiun Manggarai, pusat simpul pelintasan KRL Jabodetabek.

Bogor – Manggarai

80-90 Menit

Jalur selatan ini merupakan salah satu rute paling sibuk dalam sistem KRL Jabodetabek. Dari Stasiun Bogor ke Manggarai, penumpang menempuh sekitar 54 kilometer dengan waktu perjalanan rata-rata 80 hingga 90 menit. Pada jam-jam sibuk, waktu tempuh bisa melar lebih panjang karena frekuensi dan kepadatan lalu lintas kereta yang sangat tinggi di lintas ini.

Cikarang – Manggarai

70-80 Menit

Jalur timur yang menjadi koridor ekspansi terbaru ini melayani perjalanan dari Stasiun Cikarang menuju Manggarai dengan jarak sekitar 38 kilometer. KRL berhenti di beberapa stasiun utama, seperti Bekasi, Kranji, dan Jatinegara. Estimasi waktu tempuh normal berkisar antara 70 hingga 85 menit, dengan kemungkinan gangguan karena tumpang tindih dengan jalur KA jarak jauh dan KA barang.

Kecepatan KRL Jepang vs China

100-110 km/jam

KRL Jepang (seri 205, 6000, 7000, dll)

Meski usianya tak muda lagi, KRL asal Jepang dikenal andal dan tangguh. Kecepatan maksimumnya mencapai 100 km/jam. Namun, dalam praktik operasional di jalur Jabodetabek, kecepatan dibatasi rata-rata 60-70 km/jam karena kepadatan lintas dan jarak antarstasiun yang pendek.

KRL China (CRRC 2024):

Rangkaian baru ini dirancang untuk kecepatan maksimum 110 km/jam. Meski begitu, kecepatan operasionalnya tetap disesuaikan dengan kondisi lintas, berkisar antara 60-80 km/jam. Namun akselerasi dan deselerasinya lebih cepat, serta teknologi pengeremannya lebih responsif, memungkinkan efisiensi waktu saat berhenti dan jalan.


Penulis
Melisa Mailoa, Alya Nurbaiti, Fajar Yusuf Rasdianto, Ani Mardatila, Ahmad Thovan Sugandi
Editor
Dieqy Hasbi Widhana
Front End Developer
Dedi Arief Wibisono
***Komentar***
SHARE