Foto: Salah satu pantai di Pangandaran (Aldi Nur Fadilah/detikJabar)
Sabtu, 28 September 2024Hingga saat ini, belum ada ilmu pengetahuan ataupun teknologi yang mampu memprediksi terjadinya gempa dengan akurat baik itu kapan, di mana dan berapa kekuatannya. Namun, rilis Badan Meteorologi, Kimiatologi, dan Geofisika (BMKG) belakangan ini mengenai gempa megathrust telah menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat Indonesia.
BMKG memperingatkan gempa berskala besar yang dapat memicu tsunami berpotensi terjadi di dua megathrust Indonesia yaitu Megathrust Selat Sunda bermagnitudo 8,7 dan Megathrust Mentawai-Siberut dengan magnitudo 8,9 Apalagi di dua zona tersebut sudah lama tidak mengalami gempa. Biasanya, gempa besar punya siklus sendiri dalam rentang waktu hingga ratusan tahun.
"Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata 'tinggal menunggu waktu' karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar," ucap Daryono, Kepala Pusat Gempa Bumi BMKG. Pembahasan mengenai gempa di dua zona megathrust ini sebetulnya bukan barang baru. Kajian ini sudah eksis sejak sebelum terjadi gempa dan tsunami Aceh tahun 2004.
Pika Aprilia, seorang ibu rumah tangga yang bermukim di Bekasi Timur, Jawa Barat, tengah bersiap menghadapi resiko gempa bumi megathrust segmen Selat Sunda. Semenjak isu soal gempa megathrust ramai di media massa, perempuan berusia 29 tahun ini sudah gencar mengikuti perkembangan berita meskipun wilayah Kabupaten Bekasi tidak berbatasan langsung dengan perairan Selat Sunda maupun laut di selatan Jawa, lokasi zona gempa megathrust.
“Karena skalanya itu tinggi jadi bisa menyebabkan kerusakan bangunan, sampai yang tinggal dekat pesisir pantai itu bisa kena tsunami. Kalau untuk pantai dari lokasi saya masih jauh, jadi Insya Allah masih aman. Tapi untuk resiko gempanya itu sendiri, jujur saya takut, karena saya tinggal di daerah padat penduduk dan bangunannya pun kan berdempetan. Jadi ada resiko bangunan runtuh,” tutur Pika. Pemerintah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, juga sempat mengeluarkan surat edaran berisi imbauan untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapan terhadap ancaman gempa megathrust.
Di tengah rasa khawatir yang melanda, Pika melakukan sejumlah persiapan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya gempa besar ini. Salah satunya dengan menyiapkan tas emergency atau tas siaga bencana yang berisi berbagai kebutuhan dasar untuk bertahan hidup dan dokumen-dokumen penting. Dengan mempersiapkan tas ini, Pika ingin mengurangi resiko yang mungkin timbul saat terjadi bencana, serta memastikan bahwa semua dokumen dan barang penting tetap aman. Keberadaan tas siaga bencana dirasa penting, apalagi sehari-hari ia hanya tinggal berdua dengan anaknya yang masih balita.
“Saya takutnya karena saya juga punya anak satu, usianya 4 tahun, dan keseharian saya juga sama suami LDR. Suami kerja di Subang, saya di Bekasi. Jadi sehari-hari saya pasti cuma berdua sama anak. Untuk bekal jadi saya persiapan yaitu edukasi ilmu berupa megathrust itu apa, kemudian apa aja yang harus disiapkan, kayak tas emergency, dan kemudian langkah-langkah apa yang akan saya lakukan ketika itu terjadi,” kata Pika.
Kota Jakarta juga diprediksi terdampak gempa megathrust
Foto: Pradita Utama/detikcom
Sebelum ramai isu gempa megathrust, Pika sendiri sudah menyiapkan tas siaga bencana untuk menghadapi segala kondisi darurat seperti kebakaran, banjir dan sebagainya. Sementara dalam rangka menghadapi gempa megathrust, ia menambahkan beberapa item penting di dalamnya.
“Yang pertama dokumen-dokumen penting kayak ijazah, kemudian surat nikah dan surat-surat berharga lainnya gitu. Kemudian pakaian ganti secukupnya, karena saya punya anak kecil, jadi untuk anak saya lebihkan. Kemudian obat-obatan yang paling penting karena kalo sampai ikut evakuasi itu kan semuanya serba terbatas, Kemudian ada minyak telon atau hand sanitizer juga,” terang Pika. Ia juga menyediakan makanan instan, foto keluarga dan helm anak dan orang dewasa untuk meminimalisir terjadinya cedera karena reruntuhan bangunan saat tengah berlindung di dalam rumah.
Selain Pika, perempuan yang bekerja di perbankan di daerah Bintaro, Jakarta Selatan, Laurentia Grace Wahyu Devina, juga aktif mengikuti perkembangan isu gempa megathrust ini. Sebagai salah satu upaya penanggulangan bencana, perempuan berusia 27 tahun ini menyiapkan tas siaga bencana di rumah. Meski sudah melakukan persiapan, Grace dan keluarganya di Ciputat tidak ingin terbawa arus kepanikan.
“So far kita masih beraktivitas biasa saja, masih tenang. Krena aku tinggalnya kebetulan bukan di daerah pegunungan atau pantai, lebih ke daerah yang gedung-gedung, padat penduduk. Jadi kalau buat aku sendiri atau keluarga itu lebih mitigasinya ke terkait bagaimana kita kalau misalnya di rumah, apa yang harus dilakukan,” kata Grace yang pernah merasakan dahsyatnya gempa bermagnitudo 5.
Grace justru menyayangkan kesiapan pemerintah dalam melakukan langkah mitigasi terkait antisipasi bencana besar yang mengancam keselamatan jiwa. Padahal di Indonesia banyak wilayah berisiko tinggi terlanda bencana alam. Edukasi terkait mitigasi bencana justru ia dapatkan dari gedung perkantoran tempatnya bekerja. Setiap enam bulan sekali, Grace dan penghuni gedung kantor mendapatkan pelatihan dan simulasi jika terjadi keadaan darurat seperti kebakaran maupun gempa.
“Kalau di Indonesia mitigasi bencana cuma ada di gedung-gedung, kayak di perusahaan-perusahaan, di rumah sakit. Kita ambil contoh kayak di Jepang, mereka masih kecil masyarakatnya udah dikasih banyak penyuluhan tentang bencana-bencana, nggak cuma megathrust, tapi semua bencana, tergantung letak geografinya masing-masing tempat,” imbuh Grace.
Pakar Geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Dr Ir Amien Widodo MSi menjelaskan terjadinya gempa megathrust bisa memengaruhi beberapa wilayah di Indonesia. Di antaranya Pantai Barat Sumatera, Pantai Selatan Jawa, Pantai Selatan Bali dan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, Maluku Utara, Pantai Utara dan Timur Sulawesi dan Pantai Utara Papua.
Warga yang tinggal di pesisir Pantai Pangandaran, Jawa Barat, juga masuk dalam radar gempa megathrust. Saat detikX menemui warga pesisir, mereka merespon santai isu tersebut. Pasalnya, mereka sudah beberapa kali melakukan simulasi mitigasi bencana gempa bumi di wilayah Pangandaran. Sehingga, isu tersebut ditanggapi sebagai potensi, bukan prediksi.
Masyarakat yang tinggal di pesisir selatan seperti Pangandaran juga waspada menghadapi gempa besar
Foto Ilustrasi: Aldi Nur Fadilah/detikJabar
"Kami warga Pangandaran sudah terbiasa untuk kondisi seperti ini. Apalagi pernah mengalaminya pada tsunami 2006 yang lalu," kata Amin salah satu warga Pangandaran saat berbincang dengan detikX. Ia mengatakan isu gempa megatrust sudah terdengar kepada telinganya karena sempat muncul pada 2018 yang lalu. "Sempat dengar lama sebetulnya tahun 2018. Sekarang terdengar lagi," kata dia.
Menurutnya, untuk mitigasi bencana manakala terjadi gempa ataupun tsunami sudah mengetahui betul titik-titik jalur evakuasi hingga tempat evakuasi sementara. "Karena memang sering juga ikut simulasi. Jadi sedikit besarnya sudah tahu," katanya. Apalagi, kata dia, saat ini Early Warning System (EWS) di wilayah Pangamdaran berfungsi baik. "Kemarin beberapa waktu lalu ada simulasi dari BNPB. Kabarnya EWS disini sudah baik. Kami pun mengetahui bunyinya seperti apa ketika gempa bumi atau tsunami," katanya.
Pengalaman masa lalu (Tsunami 2006), membuat Amin banyak belajar untuk memitigasi. Ia pun mengira manakala terjadi tak akan jauh sama. "Amit-amit. Mudah-mudahan, nggak," ucapnya.
Namun tidak semu warga mempunyai kondisi ketenangan yang sama. Salah satu warga Pangandaran laiinya Ihsan Rifai mengaku sudah melakukan sejumlah persiapan. Bahkan salah anggota keluarganya sudah ada yang mengemas pakaian khusus manakala gempa terjadi untuk melarikan diri. "Sewaktu isu itu muncul dan ramai, istri meminta mengemas pakaian yang siap untuk dibawa," ucap Ihsan saat ditemui di kediamannya.
Selain itu, sejak saat ini sudah menyetok kebutuhan pokok yang disiapkan untuk kondisk tertentu. "Ya yang namanya kejadian itu kan gak tahu kapan," katanya. Meski demikian, tidak terlalu menanggapi dengan serius. "Kalo saya sih sebagai umat muslim bismillah aja minta doa keselamatan, kan hanya Allah maha penolong," kata dia.
Beda respon lainya dengan Fadil, warga Pangandaran yang jaraknya 3 Km dari Pantai Pangandaran. Ia mengaku sudah mengetahui isu tersebut. "Sudah tahu dari berita yang beredar di medsos," ucapnya. Ia mengatakan saat ini selalu mengisi BBM (bensin) sepeda motornya full. Hal ini, menurut dia, supaya semua kendaraan dalam kondisi bahan bakar yang prima. Selain itu, tak kalah penting melakukan service berkala.
"Kendaraan semua full tank. Kondisinya selalu dipastikan aman. Kan nggak tahu kejadian itu kapan, selalu siap saja," katanya. Sempat mengaku panik, Fadil pun mengaku sudah menyiapkan barang-barang yang harus dibawa manakala terjadi sesuatu. "Tas sudah disimpan belakang pintu khusus saya dan istri saya," ucapnya.
Meski bencana yang mungkin akan terjadi khususnya di Kabupaten Pangandaran tak bisa diprediksi, Kepala BPBD Kabupaten Pangandaran Untung Saeful Rokhman, mengimbau masyarakat Pangandaran untuk jangan khawatir dengan prediksi gempa megathrust. "Tetap, diharapkan masyarakat untuk waspada, aman , nyaman dan damai. Insyaallah Pangandaran juga aman," kata Untung.
Untung mengatakan, warga di pesisir Pangandaran banyak berkaca dari gempa dan tsunami yang menimpa Pangandaran di tahun 2006. "Tentu, kita belajar dengan adanya beberapa kejadian yang dahulu pernah terjadi di wilayah Kabupaten Pangandaran," ucapnya.
Pada tanggal 17 Juli 2016, terjadi gempa berkekuatan M7.7. Gempa berskala menengah ini seharusnya tidak menimbulkan tsunami dengan ketinggian lebih dari 5 meter. Namun ternyata gempa Pangandaran menimbulkan tsunami dengan ketinggian mencapai 21 meter. Karena tidak ada gempa kuat yang biasa menjadi pertanda bagi masyarakat akan potensi tsunami, bencana ini menimbulkan banyak korban jiwa, evakuasi pun tidak berjalan dengan efektif. Kejadian tsunami Pangandaran telah merenggut 668 korban jiwa, 65 orang hilang diasumsikan meninggal dunia dan 9.299 lainnya luka-luka.
Reporter: Melisa Mailoa, Aldi Nur Fadilah (Kontributor Pangandaran), Natasya Oktavia Raymond (Magang)
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho