INTERMESO

Soeharto: Saya Tidak Mau Ada Korban Lagi

Karena tak ingin berjatuhan korban rakyat dan mahasiswa, Soeharto memilih lengser pada 21 Mei 1998. Sejak itu dirinya ditinggalkan sejumlah loyalisnya hingga meninggal pada 2008.

Ilustrasi: Mindra Purnomo 

Jumat, 19 Mei 2023

Walau dalam kondisi sakit, Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto selalu tersenyum. Dia duduk di kursi roda mengenakan pakaian yang dilapisi baju hangat dan lehernya dibalut kain syal. Senyumnya mengembang ketika tamu datang menghampirinya di ruang tamu. Sebagian besar tamu yang datang ingin memberi ucapan selamat Idul Fitri 1422 Hijriah.

Mereka yang datang adalah kerabat dekat dan tetangga Soeharto di kediamannya yang terletak di Jalan Cendana No 6-8, Menteng, Jakarta Pusat. Tak ada satu pun menteri pada era pemerintahan Soeharto yang terlihat. Begitu juga dengan pejabat perwakilan pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri. Tak ada yang hadir satu pun.

Semua yang datang disambut Soeharto di ruang tamu. Siti Hardijanti Rukmana atau yang akrab disapa Mbak Tutut, putrinya, selalu setia mendampingi. Mbak Tutut-lah yang mengarahkan tamu masuk ke ruang keluarga yang terdapat hidangan kue dan makanan.

“Ayo, mau berlebaran atau wawancara? Aku emoh (tidak mau) diwawancara," ucap Soeharto dengan tersenyum seraya menjabat tangan detikcom, yang sempat ikut acara tersebut pada hari pertama Lebaran Idul Fitri pada 16 Desember 2001.

Saat itu detikcom mendapat tugas meliput suasana Lebaran di Jakarta, termasuk mengintip acara suasana Lebaran di kediaman Keluarga Cendana. Memang open house hari itu digelar sangat sederhana dan disambut ramah dan kehangatan si empunya rumah, yang merupakan penguasa Orde Baru selama 32 tahun.

Walau banyak senyum, sesekali kepala pria sepuh yang dijuluki The Smiling General itu tertunduk lesu. Entah kelelahan akibat penyakit yang diderita atau masalah lainnya. Saat itu, putra kelimanya yang paling disayangi, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, tidak terlihat. Tommy berada di penjara karena kasus korupsi ruislag (tukar guling) lahan PT Goro Batara Sakti dan Bulog serta kasus pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita.

Sebenarnya kesehatan Soeharto mulai melorot setelah dirinya menyatakan lengser pada 21 Mei 1998. Soeharto mundur setelah masifnya demonstrasi mahasiswa, aktivis prodemokrasi, dan rakyat, yang menuntut reformasi sistem pemerintahan yang dianggap korupsi, kolusi, dan nepotisme selama 32 Orde Baru berkuasa. Mereka juga menuntut pembubaran dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Soeharto tak bisa berkelit lagi untuk mempertahankan kekuasaannya ketika empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, tewas tertembak aparat keamanan pada 12 Mei 1998. Korban penembakan itu adalah Elang Mulia Lesmana (20), Heri Hertanto (21), Hafidin Royan (22), dan Hendriawan Sie (23). Keesokan hari, terjadi kerusuhan massal di sejumlah wilayah di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi.

Salah satu sudut rumah Presiden ke-2 RI Soeharto di Jl Cendana, Menteng, Jakarta Pusat
Foto: Agung Pambudhy/detikcom 

Kerusuhan massa pun merebak dan berujung sentimen terhadap kelompok warga keturunan Tionghoa. Selain di Jakarta, kerusuhan melanda wilayah Surakarta (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Medan (Sumatera Utara), Padang (Sumatera Barat), Palembang (Sumatera Selatan), hingga Makassar (Sulawesi Selatan).

Dikutip dari buku Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando karya Hendro Subroto (2009), Sutiyoso selaku Gubernur DKI Jakarta mengumumkan kerusuhan di wilayah Jakarta, Tangerang, dan Bekasi merusak 4.939 bangunan. Kerugian ditaksir mencapai Rp 2,5 triliun, belum termasuk isi bangunan.

Sebanyak 1.119 mobil pribadi, 66 unit kendaraan umum, 821 motor, dan 1.026 rumah hangus dibakar massa. Mabes ABRI saat itu mengumumkan korban jiwa mencapai 500 orang. Situasi ekonomi nasional memburuk. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melorot jauh, US$ 1 mencapai Rp 17 ribu dan inflasi melonjak naik hingga 70 persen.

Sepulang kunjungan kenegaraan dari Mesir, Soeharto mengumpulkan petinggi ABRI dan menteri di rumahnya di Cendana pada 16 Mei 1998 pukul 08.00 WIB. Di antara petinggi yang hadir adalah Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Subagyo HS, dan Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid. Mereka diinstruksikan membentuk semacam Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

Rencana itu ditentang karena akan berpengaruh kurang baik bagi investor asing. Akhirnya dibentuk badan bernama Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional (KOPKKN). Tapi badan tersebut tak berjalan sesuai keinginan Soeharto. Kenyataan lainnya, Ketua DPR/MPR Harmoko, yang dikenal sebagai pendukung berat Soeharto, malah menuruti tekanan mahasiswa dengan menyatakan Soeharto harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden.

Keesokan harinya, Selasa, 19 Mei 1998, Soeharto mengundang sejumlah tokoh Islam sebanyak sembilan orang. Mereka adalah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Nurcholis Madjid (Direktur Yayasan Paramadina), KH Alie Yafie (Ketua Majelis Ulama Indonesia), Malik Fajar dan Sumarsono (tokoh PP Muhammadiyah), KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Achmad Bagdja dan KH Ma'ruf Amin (tokoh NU), dan Emha Ainun Nadjib (budayawan). Soeharto juga mengundang pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.

Soeharto mengikuti pemilu yang digelar pasca-Reformasi 1998
Foto: Istimewa/Getty Images

Para tokoh agama ini pun menyampaikan rakyat Indonesia tetap menginginkan Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden. Tapi Soeharto berkukuh bisa mengatasi keadaan. Ia menyatakan akan mengubah Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi dan akan membentuk Komite Reformasi.

Tapi esok harinya, Rabu, 20 Mei 1998, malam, Soeharto menerima surat hasil keputusan  14 Menteri Kabinet Pembangunan VII, yang intinya menyatakan sikap tak bersedia menjabat menteri dalam Kabinet Reformasi atau reshuffle kabinet. Soeharto merasa terpukul dan ditinggalkan oleh orang-orang kepercayaannya.

Soeharto semakin merasa sudah tak mendapatkan dukungan yang baik dari ABRI dan DPR/MPR. Apalagi, dalam suasana kritis, orang-orang dekat Soeharto sudah menyingkir. Begitu juga dengan Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, tak berupaya keras tampil ke depan membela mertuanya.

Malam itu juga, Soeharto berdiskusi dengan para pejabat pembantunya, termasuk Wiranto. Ia menyatakan bersedia mundur. Soeharto mengumumkan mundur dari jabatan presiden, digantikan BJ Habibie sebagai Presiden ketiga RI, di Istana Merdeka, Kamis, 21 Mei 1998 tepat pukul 09.00 WIB. Sejak itulah dimulainya era Reformasi di Indonesia.

Raungan sirene pengawal Soeharto yang pulang dari Istana Presiden menghentikan kegiatan belasan orang yang berkumpul di ruang keluarga Soeharto di Jalan Cendana No 8. Mereka serentak berdiri menyambut kedatangan Soeharto, yang mengenakan pakaian safari lengan pendek warna biru gelap. Wajah Soeharto muram dan pucat saat berjalan diiringi Mbak Tutut dan Saadilah Mursyid.

“Allahuakbar. Lepas sudah beban yang terpikul di pundak saya selama berpuluh tahun,” kata Soeharto lirih begitu sampai di ruang tamunya, seperti dikutip dari buku Tempo Edisi Khusus Soeharto berjudul Setelah Dia Pergi (2008).

Seorang pemuda melempar kainnya ke mobil yang terbakar di Jalan Otista, Jakarta Timur, dalam kerusuhan massa, Mei 1998. 
Foto: ANTARA FOTO/Zarqoni Maksum 

Ruangan senyap, sesekali terdengar isak tangis dua putri Soeharto yang lain, yaitu Siti Hediati (Titiek) dan Siti Hutami Adiningsih (Mamiek). Satu per satu anak, menantu, cucu, dan kerabat lainnya menyalami, memeluk, dan mencium tangan Soeharto. Setelah itu menyusul teman keluarga, ajudan, pengawal, sopir, dan pembantu rumah tangga ikut menyalami Soeharto.

“Sulit melupakan peristiwa itu. Itulah saat pertama Bapak pulang sebagai warga negara biasa,” kenang Mbak Tutut.

Soeharto, yang terlihat rileks, saat itu mengatakan memutuskan mundur agar tidak ada lagi korban yang jatuh. Bila ia bersikeras mempertahankan posisinya, situasinya akan menjadi keruh dan korban berjatuhan. “Jelek-jelek, saya dulu naik karena didukung mahasiswa. Sekarang sudah jatuh korban mahasiswa. Saya nggak mau ada korban lagi,” ucap Soeharto.

Dari catatan detikcom, awalnya Soeharto mengalami serangan stroke setahun setelah mundur dari jabatannya pada 20 Juli 1999. Soeharto kembali harus menjalani rawat inap di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta karena mengalami pendarahan usus pada 14 Agustus 1999. Lalu mengalami kesulitan komunikasi verbal pada 14 Februari 2000.

Pada 24 Februari 2001, Soeharto sempat menjalani operasi usus buntu. Setelah itu, pada 13 Juni 2001, Soeharto menjalani operasi pemasangan alat pacu jantung. Selama 2002-2007, kondisi kesehatan Soeharto naik-turun dan beberapa kali dirawat di RSPP Jakarta. Hingga akhirnya pada 27 Januari 2008 pukul 13.00 WIB, Soeharto meninggal dunia setelah menjalani perawatan selama beberapa hari.


Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE