Foto: Lapas Pemuda Kelas II A Tangerang tempo dulu (Dok. Indischekamparchieven-KITLV)
Jumat, 10 September 2021“Awas kalau kamu nakal, nanti kirim ke Tangerang,” begitulah orang tua zaman dahulu sering menakut-nakuti anaknya yang bandel. Tentu saja, nyali anak-anak akan mengkerut ketika disebut nama daerah yang dulu dijuluki Kota Benteng tersebut. Sejak lama, Tangerang, Banten, dikenal memiliki banyak Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia.
Di Kota Tangerang, saat ini berdiri lima lapas, yaitu Lapas Anak Pria, Lapas Anak Wanita, Lapas Pemuda Kelas IIA, Lapas Kelas I Kota Tangerang, dan Lapas Khusus Wanita. Semua lapas ini berlokasi tak begitu jauh dari pusat kota. Dari lima lapas, tiga di antaranya merupakan sisa peninggalan kolonial Belanda, seperti Lapas Anak Pria, Lapas Anak Wanita dan Lapas Pemuda. Ketiganya menjadi cagar budaya Kota Tangerang.
Merunut sejarahnya, pada abad ke 19-20 pemerintah kolonial Hindia Belanda gencar membangun teknologi dan infrastruktur di wilayah pinggiran Batavia, yaitu Tangerang. Pembangunan itu dilakukan karena untuk menyangga kebutuhan pemerintahan pusat di Batavia. Kebijakan pembangunan paling mencolok adalah membuat instalasi penjara yang dilakukan sejak awal abad ke-20.
“Semua fasilitas penjara yang didirikan di pinggiran Jakarta untuk menjadi ‘tempat buangan’ narapidana dan pelaku kriminal dari Batavia,” kata Mushab Abdu Asy Syahid dalam tulisannya berjudul Membangun Pinggiran, Menyangga Ibukota: Arsitektur dan Infrastruktur Kota Tangerang di Masa Kolonial Abad 18-20 di buku Masyarakat Menulis Sejarah, Indonesia dalam Pantulan Lokal dan Sosial (2021) terbitan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek).
Mushab menyebutkan, sistem penjara di Hindia Belanda awalnya dibangun tahun 1872-1905 sebagai hunian pekerja paksa yang menjalani hukuman. Pada periode ini terdapat dua jenis hukuman pidana, yaitu khusus untuk orang Indonesia dan Eropa. Hukum pidana bagi orang pribumi adalah pidana kerja, denda, dan hukuman mati sesuai Wetboek van Strafrecht Voor Nederland Indie atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 1872.
Lapas Pemuda Kelas IIA Tangerang sekarang
Foto : Dok Kemenkum HAM
Sedangkan hukuman pidana bagi orang Eropa adalah hukuman penjara atau kurungan sesuai KUHP tahun 1866. Bedanya, bila orang Eropa akan dihukum di dalam tembok yang tak terlihat dari luar, maka orang pribumi ditempatkan di tempat yang terlihat oleh umum. Lalu, sejak berlakunya Wetboek van Strafrecht Voor Nederland Indie tahun 1918, para terpidana kerja paksa lebih dari satu tahun dirantai atau tanpa rantai akan ditampung di luar daerah asalnya.
Namun, aturan itu direformasi oleh Kepala Urusan Kepenjaraan Hindia Belanda, Hijmans, pada tahun 1921. Ia membuat sistem pemisahan penempatan terpidana khusus dewasa, pria, wanita, serta anak pria dan anak wanita. Sejak itulah pemerintah Hindia Belanda gencar membangun instalasi penjara baru, termasuk membangun Penjara Remaja atau Jeugdgevangenis di Tanah Tinggi, Tangerang, tahun 1924.
Para pemuda ini juga diajarkan standar etiket bagaimana makan dan minum yang teratur,"
Penjara ini selesai dibangun tahun 1927. Penjara ini punya luas sekitar 10.312 meter persegi di atas tanah seluas 26.610 meter persegi. Usai diresmikan, penjara ini sempat dikunjungi komunitas koloni Eropa yang dipimpin Ir. H.F.W Becking pada 14 Januari 1928. Becking menjelaskan sejarah singkat asal usul sistem penjara di berbagai negara, bagaimana mereka memperlakukan narapidana remaja dan anak terlantar, serta metode pendisiplinan.
Ia merisaukan bagaimana nasib narapidana pribumi yang selalu mengalami masa tahanan terlalu lama dan membuat sengsara, bahkan banyak yang hampir mati. Dalam rapat Grup Nederlandsch Indie itu, Becking menyebutkan, daerah Tangerang menjadi garis terdepan dalam penerapan ide modern di bidang pengawasan terhadap narapidana kriminal.
“Wilayah pinggiran, dengan kata lain, berlaku umum sebagai sebuah ruang laboratorium besar yang ideal untuk mengadakan eksperimen dan uji coba pengunaan teknologi terbaru demi mengatur koloni secara etis,” ungkap Mushab.
Kegiatan di dalam Lapas Pemuda Tangerang tempo dulu
Foto Dok Tropenmuseum
Mushab melanjutkan, Becking mencontohkan konsep pengawasan modern yang paling mudah terlihat, yaitu pada model rancang bangun penjara berbentuk kipas. Setiap kipasnya terdiri atas kamar-kamar tahanan yang berjajar dengan selasar yang ikut memanjang. Seluruh kamar narapidana memusatkan arahnya kepada satu menara intai (tower) di lapangan tengah.
Model ini merupakan satu contoh mekanisme pengawasan dan kontrol mirip desain penjara panoptikon yang dirancang Jeremy Bentham di Inggris tahun 1787. Desain ini cukup efektif memberikan kesan pada seluruh narapidana bahwa mereka seolah-olah senantiasa diawasi, baik ada maupun tak adanya sipir yang berkeliling.
Institusi penjara juga menjadi lembaga edukasi yang melatih para narapidana mempelajari berbagai kemampuan dan keterampilan mereka untuk menata kualitas hidup. Misalnya tulis menulis, ilmu keteknikan dan transportasi, membuat anyaman topi bambu, menjahit, olahraga hingga beladiri. "Para pemuda ini juga diajarkan standar etiket bagaimana makan dan minum yang teratur," imbuh Mushab.
Dari beberapa sumber literatur yang ada, Penjara Pemuda sempat digunakan untuk tahanan para pejuang yang melawan pemerintah kolonial. Bahkan, anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Otto Iskandar Dinata sempat disembunyikan pasukan Laskar Hitam pimpinan Haji Achmad Chaerun dan Mochamad Mujtaba di penjara itu, sebelum dikabarkan dibunuh di Mauk, Tangerang.
Pada era 1965-an, penjara ini juga menjadi tempat penampungan sementara para tahanan politik yang terlibat gerakan 30 September atau G30S. Hampir ribuan tahanan politik hidup beberapa hari, minggu, bulan, dan tahun di penjara itu sebelum dibuang ke Pulau Buru.
Dari laman Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) yang dikutip detikX, penjara itu menjadi salah satu cagar budaya di Kota Tangerang. Penjara yang terletak Kelurahan Buaran Indah, Kecamatan Tangerang itu kini menjadi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Pemuda Kelas IIA Tangerang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.03.UM.01.06 tanggal 16 Desember 1983. Lapas ini dikhususkan bagi narapidana yang berusia 18-27 tahun.
Markas Akademi TKR 1947, cikal bakal Lapas Anak Wanita Tangerang
Foto : Dok KITLV
Selain Lapas Pemuda, dua lapas lainnya menjadi aset cagar budaya Kota Tangerang, yaitu Lapas Anak Pria dan Lapas Anak Wanita. Kedua lapas ini memang tak begitu berjauhan jaraknya, yaitu di Jalan Raya Daan Mogot. Lapas Anak Pria masuk wilayah Kelurahan Sukaasih, Kecamatan Tangerang, tak jauh dari Masjid Al Azhom dan Taman Makam Pahlawan Taruna. Sedangkan Lapas Anak Wanita masuk wilayah Kelurahan Tanah Tinggi. Lapas ini awalnya di bangun tahun 1925 untuk menampung 220 anak.
Sejak tahun 1934, pengelolaannya dipegang oleh Yayasan Pro Juventute untuk mengasingkan anak keturunan Belanda yang berbuat nakal. Di era penjajahan Jepang, tempat itu dijadikan Pusat Pendidikan Pemuda atau Seinendojo tahun 1942. Setelah kemerdekaan RI tahun 1945, menjadi Markas Resimen IV Tangerang. Tahun 1950-an, tempat ini menjadi Rumah Pendidikan Negara Jawatan Kepenjaraan. Baru tahun 1964, menjadi Lapas Anak Pria.
Sementara Lapas Anak Wanita malah sempat menjadi markas Akademi Militer Tangerang sejak November 1945. Di tempat ini digunakan untuk melatih kader bagi Tentara Keamanan Rakyat (TKR sebelum menjadi TNI). sebelumnya sempat menjadi Akademi Militer RI pertama. Saat itu, akademi militer itu dipimpin oleh Mayor TNI Daan Mogot.
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho