INTERMESO

Kisah Relawan Pengubur Jenazah COVID

Pernah menjadi relawan ketika ebola melanda Afrika. Cukup dibayar dengan paseduluran saklawase.

Ilustrasi : Luthfy Syahban

Minggu, 25 Juli 2021

Menyapu halaman adalah aktivitas yang biasa dilakukan Samiaji Dwijasoka sehabis bangun tidur. Namun, dengan menyapu, warga Yogyakarta ini rupanya punya tujuan lain di samping membuat halaman rumahnya kinclong. Kegiatan itu dilakukan sebagai ‘pemanasan’ untuk menjalankan tugas rutin selanjutnya.

Saban pagi, Samiaji berangkat dari rumahnya ke bunker SAR Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang berjarak sekitar sekitar 20 menit dengan naik sepeda motor. Di sana, Samiaji melakukan briefing persiapan dekontaminasi di rumah sakit dan pemukiman yang terdapat suspek Coronavirus Disease 19 (COVID-19).

Sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia, khususnya Yogya, tahun lalu, Samiaji sudah tergerak untuk menjadi relawan penanganan COVID-19. Jiwa kemanusiaan memang sudah mendarah daging dalam diri Samiaji. Ia pernah menjadi relawan cukup lama di Aceh saat gelombang tsunami meluluhlantakkan daerah itu pada 2004.

Samiaji Dwijasoka
Foto: Dok Pribadi


Karena untuk yang varian Delta itu virus masih bisa hidup di inangnya antara 21 sampai 30 jam. Seandainya jenazah itu kita mandikan, kita sucikan kan ketekuk-tekuk itu badannya. Mungkin perutnya ketekan. Nah itu kan ada hembusan dari dalam perut itu yang bisa menularkan.”

Dalam urusan pandemi, Samiaji bahkan pernah menjadi menjadi sukarelawan di Afrika ketika wabah ebola melanda negara tersebut pada 2013. Pengalaman di Afrika itu pula yang menambah dorongan kuat bagi Samiaji untuk menjadi relawan COVID-19.

“Saya jadi relawan sudah lama. Waktu pertama kali menjadi relawan saya ke Afrika wabah virus ebola dan tsunami Aceh. Tsunami Aceh paling lama sampai rekonsiliasi damai. Yang memotivasi saya cuma satu, kemanusiaan,” kata Samiaji saat berbincang dengan detikX melalui telepon, pekan lalu.

Selain melakukan dekontaminasi di rumah sakit dan pemukiman, Samiaji juga aktif mengedukasi warga di desa-desa di sekitar Yogya tentang bahaya COVID-19 dan protokol kesehatan supaya terlindungi dari penularan virus itu. Selain itu, ia juga mengedukasi agar warga tidak memberi stigma buruk kepada penyintas COVID-19.

Pasca Lebaran yang lalu, tugas Samiaji sebagai relawan bertambah berat. Meledaknya jumlah penderita COVID-19 membuat fasilitas kesehatan dan tenaga medis di Yogya kewalahan. Akibatnya, banyak warga Yogya yang meninggal saat isolasi di rumah. Samiaji dan rekan-rekannya pun mau tak mau turun tangan membantu pemakaman.

Samiaji dan rekan-rekannya membentuk “Tim Kubur Cepat” untuk membantu warga yang tak berani dan kebingungan cara memulasari dan memakamkan jenazah COVID-19. Pemulasaran dan pemakaman jenazah korban COVID-19 memang harus menggunakan protokol kesehatan yang ketat. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Yogya yang membawahi SAR Yogya pun lebih dulu memberikan pelatihan kepada “Tim Kubur Cepat” yang telah dibentuk. Samiaji yang punya pengalaman di Afrika juga ikut mengedukasi rekan-rekannya.

Menurut Samiaji, petugas pemulasaran dan pemakaman jenazah COVID-19 menghadapi risiko yang cukup besar terpapar oleh virus. Apalagi saat ini terdapat virus corona varian delta yang lebih berbahaya dan mengakibatkan jumlah kasus positif di berbagai tempat melonjak. Karena itu, ia dan anggota tim lainnya memakai alat pelindung diri (APD) level paling tinggi supaya tidak tertular, yaitu level 3.

Para relawan SAR Yogyakarta
Foto : Dok pribadi Samiaji Dwijasoka

“Karena untuk yang varian Delta itu virus masih bisa hidup di inangnya antara 21 sampai 30 jam. Seandainya jenazah itu kita mandikan, kita sucikan kan ketekuk-tekuk itu badannya. Mungkin perutnya ketekan. Nah, itu kan ada embusan dari dalam perut itu yang bisa menularkan,” ucap Samiaji.

Samiaji bisa mengurus dua sampai lima jenazah setiap hari di saat COVID-19 kian ganas ini. Ia pernah mengurus pemakaman antara lain di daerah Berbah, Wonosari, hingga Kulon Progo. Belakangan, saking makin banyaknya korban yang berjatuhan, urusan pemakaman diserahkan kepada satgas-satgas yang ada di tiap desa.

Tak sekadar menyucikan jenazah dan dan menguburkannya, relawan seperti Samiaji juga kadang diminta menjadi pendoa oleh keluarga jenazah. Semua itu dilakukan Samiaji tanpa memungut atau mendapatkan bayaran sepeser pun. Murni atas dasar kemanusiaan. Jam berapa pun diminta bantuan, ia siap membantu.

“Kami SAR DIY tidak digaji. Kita bilang gratis, cukup dibayar dengan paseduluran saklawase,” kata Samiaji. Justru, Samiaji bercerita, kadang-kadang ia mendapatkan protes dari keluarga korban COVID-19 soal cara memandikan jenazah yang tidak selazim kondisi normal. Misalnya, jenazah tidak dilepas pakaiannya saat dimandikan.

“Intinya kita jelaskan dulu, kita edukasi secara penerangannya. Kita SOP kita seperti ini, standar WHO. Dan sudah disepakati oleh fatwa MUI dan kesepakatan Persatuan gereja-gereja itu. Fatwa MUI nomor 18 tahun 2020 tentang pemulasaran jenazah COVID. Untuk yang muslim Insya Allah mereka meninggal syahid,” ujarnya.

Sedangkan Zulfikar Rais Barliansyah, seorang mahasiswa sebuah universitas di Solo, menjadi relawan karena diajak oleh seorang seniornya. Sampai sekarang ia masih aktif menjalankan tugasnya sebagai relawan pemulasaran jenazah di Klaten, Jawa Tengah. “Sebenarnya dari lingkungan juga, sih. Jadi setiap kita ke posko gitu orang-orangnya itu saja. Kalau misalnya aku nggak jadi relawan, terus siapa yang ngelanjutin ini. Toh mereka yang mau ngerekrut baru pun juga susah,” ujar mahasiswa 21 tahun tersebut kepada detikX pekan lalu.

RS Sardjito Yogyakarta membangun tenda darurat karena jumlah pasien yang membludak akhir bulan Juni lalu.
Foto : Pius Erlangga/detikcom

Sebagai relawan pemulasaran, Rais mengaku tidak dibekali pelatihan khusus. Ia sempat merasa takut mengurus jenazah COVID-19. Namun, berkat edukasi dari teman-teman sesama relawan, ia yakin bahwa apa yang dilakukannya aman. Keluarganya awalnya juga merasa khawatir, namun setelah diberi pengertian akhirnya membolehkan.

Selain mengurus jenazah yang meninggal saat isoman, Rais juga membantu memakamkan jenazah dari rumah sakit. Biasanya pihak rumah sakit atau keluarga akan menghubungi para relawan. Rais tak menyebutkan berapa jenazah yang ia urus setiap harinya. Namun, di Klaten sendiri hingga pekan lalu angka kematian masih di atas 50.

Menjadi relawan di masa COVID-19 bagi Rais adalah ladang ibadah. Ia berpesan kepada teman-temannya sesama relawan untuk tetap menjaga semangat. Ia juga mengimbau kepada warga untuk tetap taat kepada protokol kesehatan. "Untuk teman-teman yang masih nggak taat protocol kesehatan ya gimana. Ya taatlah! Jangan nambahin beban kerja kami,” pinta Rais.


Penulis: Clara Anna
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE