INTERMESO
Nama Satelit Palapa dipilih sendiri oleh Soeharto. Sejak saat itu, tanggal 9 Juli diperingati sebagai Hari Satelit Palapa.
Ilustrasi : Edi Wahyono
Sore hari yang cerah, ribuan orang mendatangi Tanjung Canaveral, Florida, Amerika Serikat, Kamis, 8 Juli 1976. Tua, muda, dan anak-anak semua berkumpul. Di antara kerumunan, terlihat beberapa warga negara Indonesia. Tepat pukul 19.30 waktu setempat, mereka bersorak ketika roket milik National Aeronautics and Space Administration (NASA) bernama Thor Delta 2941 diluncurkan dari landasan Kennedy Space Center, yang berada di seberang Sungai Indian River.
Roket buatan McDonnell Douglas itu tengah membawa satelit pertama milik Indonesia, Palapa A1, ke angkasa. Di Tanah Air, Presiden Soeharto menyaksikan peluncuran satelit itu dari Stasiun Pengendali Utama Satelit (SPU) Cibinong di Jalan Narogong, Kembang Kuning, Klapanunggal, Bogor, Jumat, 9 Juli 1976, sejak pukul 06.13 WIB. Ia antusias menyaksikan momen peluncuran satelit itu bersama Menteri Perhubungan Emil Salim, Menteri Sekretaris Negara Soedharmono, dan pejabat lain.
Sesekali asap cerutu Soeharto mengepul ke udara sambil matanya konsentrasi melihat layar monitor. Tak lama setelah roket mengeluarkan Satelit Palapa A1 buatan Hughes Aircraft Company dari AS dan berada pada orbit geostasioner di posisi 83 derajat bujur timur atau pada ketinggian 30.500 kilometer pada pukul 14.00 WIB, terdengar kontak pertama dengan stasiun bumi di SPU Cibinong.
Peluncuran satelit Palapa A-1 pada 9 Juli 1976
Foto: Dok Telkomsat
Sontak sorak lega dan tepuk tangan bergemuruh di ruangan itu. “Pak Harto mengusap muka dengan kedua telapak tangan sambil mengucapkan doa syukur, lalu dengan senyuman menerima ucapan selamat dari yang hadir,” cerita Emil Salim kepada detikX, Rabu, 7 Juli 2021.
“Karena itulah sistem satelit domestik itu kita beri nama Palapa sebagai lambang terjelmanya sumpah Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara.”
Soeharto secara resmi memfungsikan Satelit Palapa A1 dengan meresmikan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) di gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, pada 16 Agustus 1976. Ia menandai penggunaan satelit itu dengan mencabut ‘keris’ sebagai pengganti tombol di depan anggota DPR dan undangan. Sejak itu, Indonesia bisa menikmati Satelit Palapa A1, yang menelan biaya USD 1,5 miliar (Rp 599 miliar), untuk telepon, faksimile, telegram, dan transmisi. Sisanya 8 persen untuk saluran televisi.
Kala itu, Indonesia menjadi negara keempat di dunia yang telah memiliki satelit sendiri, selain Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia. Satelit Palapa A1 mampu meng-cover sepertiga belahan bumi, yaitu meliputi negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). “Itulah tugas (yang diberikan) Pak Harto kepada Menhub agar Presiden bisa berkomunikasi dengan Gubernur dari Aceh sampai Papua untuk membina kesatuan bangsa,” kenang Emil Salim, yang menjadi Menhub di era Kabinet Pembangunan II periode 1973-1978.
Pada era 1970-an, Indonesia belum memiliki satelit telekomunikasi domestik, kecuali milik Amerika Serikat dan Kanada untuk pendidikan di daerah terpencil. Lalu Soeharto meminta Departemen Perhubungan dan Direktorat Jenderal Komunikasi, Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel, sekarang PT Telkom), dan Institut Teknologi Bandung (ITB) mencari solusinya.
“Bagaimana teknik satelit lokal untuk pendidikan ala Kanada ditransformasi jadi pola satelit domestik untuk telekomunikasi antarpulau di Nusantara, mengikuti Sumpah Palapa penyatu Bumi Nusantara, sehingga lahirlah Satelit Palapa,” jelas Emil lagi.
Dalam buku ‘Soeharto Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya’ tulisan G Dwipayana dan Ramadhan KH (1989), Soeharto bilang merasa membutuhkan sistem komunikasi satelit domestik untuk memperlancar komunikasi dengan semua wilayah Indonesia yang berpulau-pulau. Ia ingat sejarah Gajah Mada, Patih Amengkubumi Kerajaan Majapahit, yang telah mengeluarkan Amukti Palapa (Sumpah Palapa), yang bertekad menyatukan semua kerajaan di seluruh Nusantara pada 1336 Masehi. “Karena itulah sistem satelit domestik itu kita beri nama Palapa sebagai lambang terjelmanya sumpah Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara,” kata Soeharto.
Pembuatan salah satu generasi satelit Palapa.
Foto : Dok Telkomsat
Gagasan membuat Satelit Palapa A1 bermula pada era kepemimpinan Willy Moenandir Mangoendiprodjo selaku Direktur Operasi Perumtel bersama Mayjen Suhardjono sekali Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi, yang menghadiri rapat International Telecommunication Union dan Pameran Telekomunikasi Telecom di Jenewa pada 1971. Saat itu, Willy tertarik dengan stand milik Hughes Aircraft Company, yang tengah memamerkan satelit komunikasi untuk keperluan domestik.
Ketertarikan itu kemudian ditindaklanjuti dengan beberapa kali kunjungan tim Aero Ford ke Indonesia. Kesuksesan peluncuran satelit komunikasi domestik Kanada, ANIKA-A, pada November 1972 membuat hasrat Indonesia, khususnya Perumtel, untuk memiliki satelit serupa, memuncak. “Keinginan ini kemudian dapat direalisasi pada 5 Juli 1974, yang mana pada saat itu Perumtel dan Hughes Aircraft Company menandatangani kesepakatan terkait pendefinisian sistem satelit komunikasi domestik Indonesia, dengan scope of work terdiri atas sistem engineering, satellite design, earth station design, dan asistensi administratif,” kata Vice President Other License Operator Service Telkomsat Hendra Gunawan kepada detikX, Kamis, 8 Juli 2021.
Setelah itu dilanjutkan kesepakatan Perumtel bersama tiga perusahaan AS untuk proyek pembuatan Satelit Palapa, yaitu Hughes Aircraft Company, Philco Ford Oversear Service, dan Federal Electric International. Proyek itu juga meliputi pembangunan stasiun pengendali satelit utama di Cibinong, 18 stasiun bumi besar, dan 21 stasiun bumi kecil. Perumtel lalu menunjuk Arnold PH Djiwatampu sebagai kepala proyek dibantu oleh setidaknya dua deputi.
Selain itu, dilakukan penunjukan Kepala Perwakilan Perumtel Bunawan Saleh di El Segundo, California, 12 orang kepala divisi proyek, 40 kepala subdivisi proyek, staf telekomunikasi, dan beberapa insinyur sipil. Di tempat itulah, pihak Hughes mengerjakan perakitan satelit pesanan Indonesia, yang tingginya mencapai 11 kaki, berdiameter 6 kaki, dan berbobot 574 kilogram.
Satelit Palapa generasi A dibuat sebagai awal mula pemerataan teknologi telekomunikasi di wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan juga mencakup seluruh ASEAN. “Di mana untuk pertama kalinya mampu melayani siaran video dari luar negeri serempak ke seluruh Indonesia, hubungan otomatis sambungan dari atau ke seluruh Indonesia dengan luar negeri, dan juga mampu melakukan hubungan data dari atau ke seluruh Indonesia,” jelas Hendra lagi.
Presiden Soeharto
Foto: AFP
Regenerasi Satelit Palapa A1 dilakukan pada masa kepemimpinan Saleh Gunawan, yang saat itu menjabat Kepala Stasiun Pengendali Utama Sistem Komunikasi Satelit Domestik (KA SPU SKSD) Palapa. Pada 11 Maret 1977 diluncurkan saudara kembar Palapa A1, yaitu Palapa A2, dengan roket yang sama. Selanjutnya Indonesia meluncurkan Satelit Palapa B1 tipe HS-376 pada 16 Juni 1983, dengan kendaraan peluncur STS-7 (sejenis pesawat ulang-alik), dilanjutkan dengan kegagalan peluncuran satelit kembarnya, yakni Satelit Palapa B2, yang diluncurkan dengan peluncur STS-11.
Regenerasi Satelit Palapa tidak berhenti sampai di situ saja. Satelit Palapa B2P diluncurkan dengan roket Delta 6925 pada 21 Maret 1987. Lalu peluncuran Satelit Palapa generasi selanjutnya hingga Palapa D, yang memiliki wilayah cakupan seluruh Asia, Asia Tenggara, dan Indonesia. Satelit Palapa D buatan Thales Alenia Space, Prancis, diluncurkan menggunakan roket Long March 3B (Chang Zheng) di Xichang Satellite Center (XSLC), Kota Xichang, Sichuan, China, pada 31 Agustus 2009 dan de-orbit pada Juli 2020. “Nama Satelit Palapa dipilih sendiri oleh Presiden Soeharto, yang diambil dari Sumpah Palapa. Sejak saat itu, tanggal 9 Juli diperingati sebagai hari yang bersejarah, Hari Satelit Palapa,” pungkas Hendra.
Reporter: Syailendra Hafiz Wiratama
Redaktur: M Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban