INTERMESO

Terperangkap Kawin Kontrak di Puncak

Banyak perempuan di Cianjur, Jawa Barat, yang terperangkap kawin kontrak. Ada yang untung, tapi juga banyak yang buntung karena tertipu janji manis.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Minggu, 20 Juni 2021

Mobil angkutan kota Suzuki Carry itu berhenti di depan halaman sebuah villa di kawasan Bukit Cipendawa, Cianjur, Jawa Barat, Selasa, 15 Juni 2021, sore. Dari dalam angkot itu muncul tiga penumpang: dua perempuan muda berumur 20-an tahun serta seorang lelaki yang mengantarkan keduanya. Mereka langsung masuk ke dalam villa.

Dandanan kedua perempuan itu cukup mencolok. Baju atasan crop top  dipadu dengan celana jeans dan flat shoes kompak membalut tubuh Jasmine dan Mira, sebut saja nama keduanya begitu. Riasan make up-nya cukup tebal. Tak lupa perona bibir berwarna merah dan maskara bulu mata. Keduanya tersipu malu ketika diperkenalkan si pengantar kepada tim detik.com yang lebih dulu tiba di lokasi untuk mewawancara.

Jasmine dan Mira adalah dua dari puluhan perempuan Cianjur yang pernah terperangkap ke dalam praktik kawin kontrak di Puncak. Kepada detik.com, keduanya tak ragu membuka pengalaman kelamnya menjalin kawin kontrak. Perkawinan terlarang ini biasanya dilakukan dengan laki-laki asal Timur Tengah yang tengah berlibur ke Puncak yang berhawa dingin itu. Biasanya, puncak liburan itu terjadi di masa Hari Raya Idul Adha.

Mira (bukan nama sebenarnya), perempuan yang sempat melakukan kawin kontrak dengan lelaki asal Timur Tengah di Puncak 
Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom

Jasmine mengaku menjalani kawin kontrak selama satu bulan pada tahun 2020 yang lalu. Ia terbuai janji-janji materi yang akan didapatkannya dari kawin kontrak. “Pertama kan ditawari kerja di karaoke. Terus sampai kenal, kenal, kenal, berbaur sama teman-teman lainnya. Terus ada yang ngajakin ‘mending kawin kontrak’. Katanya diiming-imingi dapat rumah atau pun mobil. Kayak gitu,” ucap Jasmine mengawali kisahnya.

Walau dinikahi orang Timur Tengah, Jasmine mengaku tak tahu negara asal-usul suaminya. Ia dikenalkan dengan laki-laki yang tengah melancong ke Puncak itu oleh seorang temannya. Saat menjalani kawin kontrak, Jasmine yang sudah memiliki seorang anak menitipkan buah hatinya itu kepada orangtuanya di kampung halamannya, Cianjur.

Cuma diiming-imingi motor. Sudah dibeli. Tapi pas sudah pisah diambil lagi."

Setelah dipertemukan, Jasmine dan calon suami kontraknya membuat perjanjian secara lisan. Di antaranya, Jasmine akan diberikan sejumlah uang sebagai mahar, diberikan rumah, dan sepeda motor. “Katanya mau dikasih rumah. Emang sih, ya, dikasih rumah selama buat tinggal bersama, pernah. Cuma pas sudah pisah, saya pulang ke rumah orangtua, dia juga mungkin pulang ke (negara) asalnya,” jelas Jasmine.

Lalu dilangsungkanlah akad nikah di sebuah villa di kawasan Taman Bunga, Cipanas. Prosesi akad nikah dalam kawin kontrak tidak jauh berbeda dengan pernikahan pada umumnya. Ada kedua mempelai, saksi, dan penghulu. Namun, bedanya saksi kawin kontrak merupakan orang bayaran yang umumnya diperankan para calo kawin kontrak. Sedangkan penghulunya juga penghulu tidak resmi alias bayaran pula.

Tak ada resepsi pernikahan yang dihadiri handai taulan, saudara maupun tetangga mempelai sebagaimana pesta pernikahan. Tapi, dalam kawin kontrak, mempelai perempuan pun tetap dirias dan mengenakan kebaya serta kerudung pada saat akad nikah. “Pakai kebaya, pakai jubah. Cincin nikah ada, dikasih. Maharnya cincin dan uang Rp 600 ribu,” ujar Jasmine, perempuan berkulit sawo matang itu.

Kawin Kontrak di Kota Santri
Video : 20Detik

Satu bulan mengarungi biduk rumah tangga, Jasmine mengaku secara ekonomi kebutuhan hidupnya terpenuhi, termasuk untuk anak semata wayangnya yang dirawat orang tuanya di kampung halaman. Bahkan, Jasmine sempat dibelikan sepeda motor Honda Beat. Tapi, entah mengapa, setelah kontrak pernikahannya selesai, sepeda motor matic itu diambil lagi.

“Cuma diiming-imingi motor. Sudah dibeli. Tapi pas sudah pisah diambil lagi. Tapi diambilnya nggak sama si itu (suami kontrak). Dari orang suruhannya,” terang Jasmine dengan nada kecewa.

Ketika ditanya apa saja barang yang masih disimpan dari pernikahan dengan lelaki Timur Tengah itu? “Ini jaket. Terus apa, ya. Ada, sih, barang-barang di rumah. Cuma kan kalau dibawa… Kayak lemari gitu, kasur,” jawab Jasmine sambil memegang jaket jeans yang dikenakannya sore itu.

Jasmine mengaku selama satu bulan hidup bersama pasangan asal Timur Tengah yang dipanggilnya “Babah” itu menjumpai kesulitan dalam berkomunikasi. Penyebabnya adalah Babah yang tak bisa berbahasa Indonesia. Sebaliknya pula, ia awam dengan bahasa Arab. Jasmine kadang mengerti keinginan Babah dari bahasa gerak tubuh.

Jasmine tahu suaminya itu kesal kalau keinginannya tak dituruti. Suatu hari, Babah murka ketika Jasmine menolak diajak berhubungan badan karena tengah datang bulan. Babah langsung pergi begitu saja keluar rumah. Eh, tak lama kemudian Babah kembali lagi sambil membawa perempuan lain ke dalam kamarnya. Jasmine pun hanya pasrah.

“Si Babah minta terus. Saya kan otomatis nggak bisa. Pernah sampai dia marah-marah sampai pergi sambil nyerocos nggak tahu pakai Bahasa Arab. Sampai dia naik mobil nggak tahu ke mana. Pulang-pulang sudah bawa cewek lain,” kata Jasmine.

Kawasan Kota Bunga di Cipanas yang sering dijadikan tempat menginap turis-turis dari Timur Tengah
Foto : Rifkianto Nugroho/detikcom

Berbeda dengan pengalaman Mira, yang menikah dengan warga Timur Tengah ketika masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Mira terbujuk rayuan temannya untuk mau menikah dengan orang Arab. Selama satu pekan ia menimbang-nimbang untung-rugi nikah kontrak. Masalah ekonomi yang akhirnya membuat hatinya luluh dan mau mengikuti ajakan temannya itu.

“Ekonomi. Terus ada pengin kemauan kan juga banyak. Makanya kata saya, 'ya udah, mau berapa? Mau kapan? Jam berapa berangkatnya? ‘Hari ini, hari ini, iya,’” kata perempuan berkulit putih tersebut.

Tapi kawin kontrak beda-beda nasib. Ada yang nasibnya bagus, ada yang nasibnya jelek"

Mira tak tahu dengan siapa dirinya akan dinikahkan. Temannya hanya memberitahu kalau ia akan dinikahkan dengan orang Arab yang tengah pelesiran di Kota Bunga. Ia lalu dipertemukan dengan orang Arab berusia 54 tahun, yang akan menjadi suaminya selama satu minggu. Mira dijanjikan akan menerima uang mahar sebesar Rp 5 juta, uang nafkah sehari Rp 500 ribu, dan uang talak (cerai) Rp 8 juta.

Uang mahar dan uang nafkah sehari-hari Mira terima di muka, sedangkan uang talak dibayarkan setelah waktu kontrak selesai. Mira juga sempat ditawari mau dibelikan handphone, sepeda motor, mobil atau rumah. Namun, semua barang itu ditolaknya. “Dari situ saya berpikir, takut di belakangnya nanti ada tuntutan. Saya nggak mau keluarga sampai tahu. Makanya 'uang tunai saja gimana? Ya, sudah uang tunai saja,'” kenangnya.

Sama seperti Jasmine, prosesi akad nikah kontrak Mira dilakukan malam hari. Saksi, wali, dan penghulunya pun palsu. "'Bahwa saya mengantarkan anak saya’. Nggak disebutkan namanya, kan. ‘Saya mengantarkan anak saya untuk diatasnamakan kawin kontrak selama satu minggu,’” begitu kata Mira menyebutkan bunyi akad pernikahan malam itu.

Mira sempat merasa bahagia dijadikan istri orang Timur Tengah. Hingga saat ini, ia tak bisa melupakan kemesraan hubungannya dengan ‘Habib’, begitu dirinya memanggil suaminya yang juga ia lupa lagi dengan nama aslinya itu. Bagi Mira, nikah kontrak adalah pernikahan pertama kali dalam hidupnya. Mira selalu melayani suami kontraknya itu dengan baik. Bahkan ia kerap membuatkan masakan ketika satu minggu hidup satu atap di sebuah rumah di kawasan Grand Apple, Sindanglaya, Cipanas, Cianjur.

“Jadi kalau diibaratkan si cowoknya pengin ada yang nyiapin makanan gitu, diibaratkan kayak gitu, pendamping hidup sementara,” kata Mira yang berkomunikasi dengan suami kontraknya menggunakan aplikasi penerjemah bahasa asing di handphone-nya.

Mira, bukan nama sebenarnya, terkadang membuat masakan untuk suaminya selama kawin kontrak.
Foto Ilustrasi: Rifkianto Nugroho/detikcom

Mira menjelaskan, ia sering diajak jalan-jalan ke kawasan Puncak oleh Habib. Ia juga pernah dibelikan perhiasan emas berupa kalung seberat 4 gram. Mira memang tak pernah cerita kepada teman dan keluarganya kalau sudah menikah di bawah tangan dengan orang Timur Tengah. Mira pun dilarang keluar rumah sendirian selama menjadi istri kontrak.

“Kalau menelepon nggak apa-apa, cuma dilarang untuk keluar. Kalau mau keluar nyuruh ke sopir. Pengin beli apa-apa nggak boleh keluar sendirian. 'Harus sama saya' gitu,” kata Mira menirukan ucapan Habib.

Mira belum pernah berkabar lagi dengan suami kaleng-kaleng itu setelah kontraknya selesai. Tapi, jika ada tawaran menikah kontrak lagi, Mira bakal emoh menerimanya. Sebab, ia sering mendengar beberapa kasus penyiksaan kepada perempuan yang dinikahi warga Timur Tengah. Belum lagi, ia harus menghadapi fantasi seksual suami kontrak yang liar selama tinggal bersama. “Jadi nge-down,” lanjutnya.

Jasmine setuju saja dengan rencana larangan praktik nikah kontrak dari Pemerintah Kabupaten Cianjur. Sebab, dirinya mengalami tidak enaknya nikah kontrak. ”Ya, kalau saya mah gimana, ya. Kalau dilarang ada bagusnya juga, karena saya kan pernah ngerasain kawin kontrak kaya gimana. Tapi kawin kontrak beda-beda nasib. Ada yang nasibnya bagus, ada yang nasibnya jelek," pungkas Jasmine yang kini bekerja di sebuah tempat hiburan malam di kawasan Bogor.


Reporter: Syailendra Hafiz Wiratama, Ismet Selamet (Cianjur)
Redaktur: M Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE