INTERMESO

Menengok Kampung Jamu di Bantul

Di Kiringan, hampir seluruh perempuannya bekerja sebagai penjual jamu gendong. Laris manis di tengah maraknya pengobatan modern.

Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom

Kamis, 4 Maret 2021

Pagi itu, selepas salat Subuh, Murjiwati, 50 tahun, terlihat tengah sibuk berkutat dengan alat-alat memasak di dapur rumahnya di Dusun Kiringan, Bantul, Yogyakarta. Dari dapur, wanita paruh baya itu kemudian bergegas mengambil beberapa bahan yang diperlukan dalam meramu jamu.

Meski udara terasa sangat dingin dan langit masih gelap, Murjiwati tetap semangat mengolah kunyit, jahe, dan rempah-rempah lainnya menjadi jamu. Tangannya lincah menyaring sari empon-empon yang telah dihaluskan sebelumnya. Tak ada waktu untuk bermalas-malasan, karena tepat pukul 08.00 WIB ia sudah harus berangkat untuk berjualan.

Dalam membuat jamu, Murjiwati dibantuoleh suami dan anaknya. Rizky dengan sigap mencuci tumpukan botol yang hendakdigunakan untuk menyimpan jamu racikan sang ibu. Sementara itu, suami Murjiwati sibuk menggiling rempah menjadi jamu basah.

Dalam balutan baju berwarna biru dan celemek putih gading, Murjiwati menyalakan mesin sepeda motor dan memasukkan botol demi botol jamu ke dalam rak dari kayu dan anyaman bambu di bagian belakang motornya. Meski sudah tak muda lagi, kemampuan Murjiwati dalam mengendarai motor tak boleh diremehkan.

Murjiwati dengan bahan-bahan jamu yang sedang dijemur di sekitar rumahnya

Foto : Rifkianto Nugroho/detikcom

Proses pembuatan jamu di rumah Murjiwati

Foto : Rifkianto Nugroho/detikcom

Murjiwati mengendarai sepeda motor untuk menjual jamu gendong ke Kota Yogyakarta

Foto : Rifkianto Nugroho/detikcom

Ia terlihat lihai mengemudikan motor di jalanan yang terbilang cukup ramai, menempuh 6 kilometer untuk sampai di sebuah pengkolan tempat ia biasa berjualan. Sesampai di sana, Murjiwati langsung membongkar muatan motornya dan menata rapi ke-13 botol jamu di atas alas.

Saya jualan dari warisan nenek moyang. Lihat sama Nenek, lihat Ibu. Masih dikasih tahu cara meracik. Hari demi hari kan lihat, jadi pandai sendiri.”

“Mesti habis kalau jualan. Alhamdulillah laris,” ujar Murjiwati kepada detikX di sela-sela ia merapikan dagangan jamu miliknya, Kamis, 18 Februari 2021.

Benar saja, tak lama setelah itu, para pembeli mulai berdatangan. Usianya beragam, mulai yang masih sekolah, bekerja, sampai yang sudah memiliki anak. Ada yang membeli jamu kunir asem untuk mengatasi nyeri saat haid, temulawak, serta galian singset yang dipercaya bisa bikin tubuh langsing jika diminum secara rutin. Namun, dari semua jamu, uyup-uyup masih menjadi andalan Murjiwati karena selalu laris diborong pembeli.

Panas matahari semakin terik, Murjiwati sama sekali tak memperlihatkan raut wajah lelah. Ia terus asyik meladeni pembeli, sembari tangannya meracik, lalu menuangkan ramuan jamu ke dalam batok kelapa.

Rutinitas menjajakan jamu gendong itu sudah digeluti Murjiwati selama 35 tahun. Kepada detikX, Murjiwati bercerita awal mula ia berjualan jamu pada 1985. Awalnya, ia dikenalkan resep ramuan jamu oleh nenek dan ibu. Lalu ia mulai berkeliling menjajakan jamu, dengan sepeda dan jarit pada usia 15 tahun.

Walaupun belum bisa meracik jamu sendiri, Murjiwati menjadi mahir karena sering mengamati bagaimana ibunya meramu jamu resep leluhur yang sudah diwariskan turun-temurun. “Saya jualan dari warisan nenek moyang. Lihat sama Nenek, lihat Ibu. Masih dikasih tahu cara meracik. Hari demi hari kan lihat, jadi pandai sendiri,” terangnya.

Banyaknya pembeli jamu Murjiwati menandakan ramuan tradisional itu masih digemari masyarakat di tengah pengobatan modern. Dan, di Kiringan, hampir semua perempuan menjadi penjual jamu keliling seperti Murjiwati. Hal itulah yang membuat nama Dusun Kiringan terangkat dan dikenal banyak orang. Berawal dari bakul dan sepeda ontel, kini mayoritas warganya menggunakan sepeda motor untuk berjualan jamu ke berbagai area di Yogyakarta.

Naskah: JIhaan Khoirunnisaa
Ilustrasi: Tim Infografis

Dengan semakin berkembangnya usaha jamu di Kiringan, lambat laun para penjual jamu mulai melakukan aktivitas simpan-pinjam. Belum ada organisasi yang memayungi, hanya kumpulan pedagang jamu yang masing-masingnya menanamkan modal Rp 100 ribu.

Barulah pada 2007 terbentuk Koperasi Wanita Seruni Putih, yang saat itu disahkan oleh Gusti Kanjeng Ratu Hemas, permaisuri raja Keraton Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Beranggotakan 132 penjual jamu, koperasi ini dibentuk Dinas UMKM Bantul untuk mendukung industri jamu basah dan instan di Kiringan.

“Ketika di suatu wilayah ada banyak produk andalan setempat, tentu pemerintah daerah mendorong. Kami memfasilitasi, memperkuat kelembagaannya soal pembentukan koperasi. Dan ketika sudah ada koperasi, UMKM itu mengambil modalnya dari koperasi,” kata Kepala Dinas UMKM Bantul Agus Sulistiyana.

Meski namanya sudah lama terdengar sebagai dusun yang mayoritas warganya menjual jamu, Kiringan baru menjadi Desa Wisata Jamu Gendong pada 2016 setelah SK Bupati turun. Kepala Dinas Pariwisata Bantul Kwintarto Heru Prabowo mengatakan Dusun Kiringan layak disebut desa wisata. Sebab, selain bisa mencicipi kesegaran jamu, pengunjung disuguhi pengalaman langsung melihat keseluruhan proses pembuatannya.

“Awal mulanya melihat masyarakat di sana mayoritas jualan jamu. Lalu karena jamu ini merupakan produk dengan kualitas yang baik, Dinas Pariwisata melihat bagaimana agar memiliki daya tarik sebagai salah satu destinasi. Di sana ada juga experience-nya, jadi orang bisa lihat (bahannya) dan prosesnya, tidak hanya minum jamu,” tuturnya.

“Ini menjadi salah satu upaya bagaimana jamu bisa mendunia. Harapannya, dengan ada orang yang datang ke Bantul, nginep di hotel atau di homestay, makan di restoran dengan suguhan jamu menjadi salah satu menu utama atau menjadi pendamping ketika makan. Ini yang kami upayakan,” ujarnya.

Sebagai sebuah desa wisata, saat itu Kiringan belum punya ikon khas, sehingga Murjiwati dan para warga berupaya mengajukan proposal dana untuk pembangunan gapura sebagai pintu masuk dusun mereka. Sayangnya, berkali-kali proposal diajukan, berkali-kali pula mereka mendapat penolakan karena terhalang dana yang terlampau besar.

Aneka bahan jamu tradisional yang telah dihaluskan
Foto: Rifkianto Nugroho

Beruntung, saat itu ada Bank BRI yang bersedia mewujudkan mimpi mereka. Melalui program corporate social responsibility, BRI mengawal proses pembangunan gapura dari nol sampai jadi. Menurut Kepala BRI Unit Jetis Iwan Siswoyo, Dusun Kiringan menyimpan potensi besar, sehingga BRI juga memberikan bantuan CSR lainnya, yaitu mesin penggiling dan genset.

“Ada suatu potensi di daerah ini yang bisa saya kembangkan secara ekonomi. Selanjutnya, kami juga harus bisa memberikan kesejahteraan kepada masyarakat di sana,” ujar Iwan.

Mesin penggiling yang didanai BRI mendorong produktivitas jamu di Kiringan. Dengan begitu, para penjual jamu tidak perlu menggiling ke tempat jauh karena mereka bisa membuat jamu sendiri dengan lebih efektif dan efisien.

Di sisi lain, Manajer Bisnis Mikro Kantor Cabang BRI Bantul Joko Wahyudi Harto menilai industri jamu di Kiringan merupakan industri dengan prospek yang baik, dibuktikan dengan pertumbuhannya dari waktu ke waktu. Hal inilah yang menjadi alasan kuat BRI untuk membantu Dusun Kiringan dan mengangkat industri jamu gendong di sana.

“Dalam waktu dekat BRI memberikan CSR dari kantor pusat berupa peralatan parut dan lain-lain, sehingga nanti pengembangan bisnis dari jamu Kiringan bisa mengangkat UMKM sendiri,” pungkasnya.


Penulis:  Jihaan Khoirunnisaa
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

[Widget:Baca Juga]
SHARE