INTERMESO

Habibie, Gatotkaca, dan Krincingwesi

Kecermelangan otak BJ Habibie mengantarkannya jadi ahli aeronautika terkemuka. Hampir seluruh hidupnya dicurahkan untuk pesawat terbang.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Jumat, 13 September 2019

Pesawat berwarna putih dan biru dengan tulisan N250 pada bagian ekor bersiap-siap di ujung landas pacu Pangkalan Udara Husein Sastranegara, Bandung. Kepala Pilot Uji Erwin Danuwinata didampingi Sumarwoto, yang berada di kokpit pesawat, dengan sabar menunggu instruksi dari menara kontrol. Semua mata yang berada di kawasan tersebut tertuju pada pesawat yang di bawah jendela kokpitnya terdapat gambar tokoh pewayangan bertulisan Gatotkaca itu.

Ketegangan menyelimuti momen yang terjadi 10 hari sebelum ulang tahun emas kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1995 itu. Terutama bagi sang empunya hajat, Direktur Utama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) Bacharuddin Jusuf Habibie, yang memantau dari bagian atap menara kendali. Presiden Soeharto, yang berdiri di samping Habibie, pun ikut gelisah. Sesekali Presiden Soeharto dan istrinya mengarahkan teropong ke ujung landasan.

Pelan-pelan roda pesawat dengan dua propeler itu mulai bergerak. Semakin lama semakin kencang. Ketika hidung pesawat mulai terangkat dan rodanya tak lagi menyentuh daratan, tepuk tangan sontak membahana. Soeharto, yang tersenyum lebar, langsung menjabat tangan Habibie dan memeluknya. Dekapan ini seolah meluluhkan ketegangan Habibie, sang perancang pesawat bermesin turboprop itu.

Pesawat dengan nomor registrasi PK-XNG itu sukses mengangkasa selama 56 menit sebelum kembali ke hanggar. N250 mulai diproduksi pada Agustus 1992.  Namun sebenarnya namanya sudah mulai digaungkan pada Indonesia Air Show, yang digelar untuk pertama kalinya pada medio 1986. Sukses menuntaskan proyek CN235 bersama Construcciones Aeronauticas SA (CASA), Spanyol, membuat Habibie dan timnya percaya diri bahwa mereka juga mampu merancang pesawat sendiri.

Pesawat N250 Krincingwesi, yang merupakan 'saudara kembar' N250 Gatotkaca
Foto: Wisma Putra/detikcom


Mereka terkagum-kagum sebuah negara berkembang bisa mendesain dan membangun N250 yang canggih."

Dalam satu rapat direksi IPTN pada Mei 1989, Habibie memerintahkan Direktur Teknologi IPTN Harsono Pusponegoro membentuk tim kajian kelayakan pesawat pengganti CASA 212 dan penerus CN235, yakni N250. Dukungan Presiden Soeharto membuat insinyur-insinyur IPTN makin bersemangat. Jusman Syafii Djamal didaulat jadi Chief Engineer Proyek N250. Sedangkan Agung Nugroho, adik kelas Jusman di Institut Teknologi Bandung, ditunjuk sebagai Chief Aerodynamicist.

Tahap awal, ada puluhan insinyur IPTN yang dikerahkan untuk merancang. Habibie juga mengirimkan ratusan anak buahnya untuk bersekolah dan magang di perusahaan-perusahaan pesawat terbang di luar negeri. "Ini pesawat pertama yang dirancang putra-putri Indonesia," ujar pengamat penerbangan Dudi Sudibyo kepada detikX. Sekitar 4.000 insinyur dilibatkan dalam proses rancang bangun tersebut.

Mereka merancang pesawat yang teknologinya disebut paling mutakhir kala itu, antara lain menggunakan fly by wire system, lalu electrical power system with variable speed constant frequency (VSCF) generator, yang saat itu baru diterapkan pada Boeing 737-500. "Lebih baik dibandingkan kompetitornya," kata Dudi. Ketika berlangsung pagelaran Paris Air Show pada 1989, Habibie dengan percaya diri mengumumkan kepada khalayak internasional perihal rencana megaproyek itu.

Target IPTN memproduksi pesawat baling-baling dengan daya angkut sekitar 50 penumpang dan bisa diperbesar hingga 70 penumpang. Pesawat ini juga dirancang sanggup terbang hingga kecepatan 610 km per jam dan menempuh jarak 1.400-an kilometer. Selain itu, pesawat irit ongkos dan punya tingkat kenyamanan mendekati pesawat jet komersial.

Habibie juga menjalin kerja sama khusus dengan Boeing pada November 1993. IPTN berhasil memenangi tender pengadaan 200 unit trailing edge flap Boeing 737 senilai US$ 30 juta. Tailing edge flap adalah salah satu bagian bergerak sayap. Dalam kontrak itu juga disepakati komitmen Boeing membantu meningkatkan kemampuan IPTN agar berkualifikasi sebagai pemasok suku cadang Boeing.

Boing juga berjanji membantu proses kerja perancangan dan pembuatan pesawat N250 agar sesuai dengan standar kelaikan udara Amerika Serikat. Istimewanya, penandatanganan kontrak kerja sama yang dilakukan di Seattle tersebut dihadiri Presiden Soeharto. Waktunya memang pas dengan agenda pertemuan para pemimpin Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di kota yang sama.  

Jelang selesainya purwarupa N250 yang pertama pada pertengahan 1994, Habibie mengeluarkan pernyataan, proyek N250 bukan hanya dilakukan di Bandung, tapi juga di Alabama, Amerika Serikat, serta Stuttgart, Jerman. Dua tahun sebelumnya, Habibie mendirikan anak perusahaan IPTN di Seattle, yang diberi nama IPTN North America (IPTNNA). Ia memberi tugas kepada IPTNNA menjual N250 di Amerika bagian utara. Tugas lainnya mempercepat sertifikasi dari Federal Aviation Administration (FAA) sebagai izin pesawat bisa beroperasi di Amerika Serikat.  

Pembuatan bagian-bagian pesawat pesanan industri pesawat luar negeri di PT Dirgantara Indonesia
Foto: Grandyos Zafna/detikcom

Untuk kepentingan pendirian pabrik perakitan pesawat N250 di Alabama, Habibie bahkan sudah menandatangani declaration of intent bersama Gubernur Alabama. Gubernur berjanji menyiapkan lahan seluas 15 hektare di Kota Mobile dengan harga sewa tahunan sebesar US$ 1 per meter. Sedangkan untuk Jerman, Aircraft Services Lemwerder ditunjuk sebagai agen tunggal N250 untuk wilayah penjualan Eropa. Imbalannya, IPTN memiliki 25,11 persen saham di perusahaan itu.

Dudi menyebut IPTN memang membidik pasar Amerika Serikat. Negara dengan bentangan wilayah hampir sama panjangnya dengan Indonesia. Setiap kota punya fasilitas pelabuhan udara, dan perusahaan penerbangan komersial banyak jumlahnya. Namun industri pesawat terbang Amerika Serikat justru tak menyuplai untuk kebutuhan penerbangan lokal ini. "Habibie mencoba memanfaatkan peluang pasar itu," ujar Dudi.

Sulfikar Amir dalam bukunya, The Technological State in Indonesia: The Co-constitution of High Technology and Authoritarian Politics, menyebut bujet untuk N250 menembus US$ 1,2 miliar. Angka itu didapatkan dari keterangan salah satu insinyur di tim N250 bernama Joko Sartono. Namun bujet raksasa itu tak jadi soal. Soeharto memberi dukungan sepenuh hati. Demi N250, Soeharto mengalihkan dana reboisasi sebesar Rp 400 miliar untuk mendanai proyek pesawat nasional itu pada 1994.

BJ Habibie menunjukkan maket pesawat N2130
Foto: dok. detikcom

“Tidak usah diributkan. Dana itu tidak akan hilang dan IPTN siap untuk mengembalikan,” kata Habibie, menjawab keberatan sejumlah organisasi lingkungan kala itu. Dalam sejumlah kesempatan, Habibie mengatakan proyek N250 akan balik modal setelah terjual 259 pesawat. Ia berharap, paling tidak IPTN bisa menjual sekitar 700 pesawat N250. IPTN waktu itu berencana membangun tiga pesawat N250 purwarupa lainnya. Soeharto bahkan sudah memberi nama Krincingwesi, Koconegoro, dan Putut Guritno pada ketiganya.

Setahun setelah Gatotkaca terbang perdana, Habibie, yang disokong seratus persen oleh Presiden Soeharto, meluncurkan proyek pesawat yang lebih ambisius lagi, yakni pesawat jet N2130 berkapasitas 130 penumpang. Sebagai pemimpin proyek, ditunjuk Ilham Habibie. Untuk menyokong pembiayaan proyek yang ditaksir memakan ongkos US$ 2 miliar itu, dibentuklah PT Dua Satu Tiga Puluh (DSTP).

Saat N2130 sudah memasuki tahap desain, Krincingwesi, yang berkapasitas 70 penumpang, berhasil terbang perdana pada akhir 1996. Sementara itu, Gatotkaca diproyeksikan dipamerkan di Paris Air Show dua tahun setelah terbang perdana. Pilot Chris Sukardjono dan kopilot Sumarwoto membawa pesawat tersebut melintasi jarak 13.500 kilometer selama 30 jam pada 10 Juni 1997.

Dalam perjalanannya, N250 mampir di beberapa negara untuk promosi, seperti Thailand, India, Oman, Arab Saudi, Mesir, dan Italia. Dudi Sudibyo, yang menghadiri salah satu pameran paling prestisius itu, menyebut sambutan komunitas penerbangan internasional terhadap N250 sangat luar biasa. "Mereka terkagum-kagum sebuah negara berkembang bisa mendesain dan membangun N250 yang canggih," ujarnya. "Tapi tak sedikit juga yang khawatir pada kemampuan kita."

Gatotkaca dan Krincingwesi, menurut Agung Nugroho, sudah hampir mengumpulkan 1.000 jam terbang. Bisa dibilang, hanya tinggal selangkah lagi hingga mendapatkan sertifikasi layak terbang nasional dan internasional dari FAA dan sertifikasi layak terbang dari Joint Airworthiness Authority agar bisa mulai berproduksi. “Ibaratnya, N250 itu anak kelas VI SD yang tinggal menunggu ujian akhir,” kata Agung kepada detikX di kantor Regio Aviasi Industri (RAI) beberapa waktu lalu.  

Proses pembuatan  pesawat di PT Dirgantara Indonesia, yang dulu bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN)
Foto: Grandyos Zafna/detikcom


Di Amerika, industri pesawat yang sudah anjlok, untuk mempertahankan, itu di-bailout. Saya yang sehat dan di depan pintu mau dapat FAA ditikam dan dimatikan. Model mana itu."

Malangnya, pada saat bersamaan, krisis ekonomi menerpa Asia. Soeharto pun meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengatasi problem keuangan. IMF mensyaratkan pemerintah menghentikan subsidi bagi sejumlah industri strategis, termasuk IPTN. Permintaan ini menghantam IPTN sangat telak. Pemerintah dipaksa 'menyapih' perusahaan pelat merah yang belum bisa menghidupi diri sendiri itu. Saat itu pula, proyek N250 dan N2130 tamat. "Sayang sekali karena kita sudah sampai tahap akhir dan terjegal. Itu juga karena aeropolitics. Kompetitor dari negara maju tidak mau melihat ada pendatang baru," kata Dudi.

Habibie sangat terpukul oleh putusan itu. Saat diwawancarai Najwa Shihab dalam program 'Mata Najwa' beberapa tahun lalu, Habibie menyebut, di negara maju seperti Amerika Serikat, industri penerbangan mendapat proteksi. "Di Amerika, industri pesawat yang sudah anjlok, untuk mempertahankan, itu di-bailout. Saya yang sehat dan di depan pintu mau dapat FAA ditikam dan dimatikan. Model mana itu," ujarnya saat itu.

Ketika mendapat amanah menjadi presiden, Habibie tak mau menghidupkan lagi perusahaan yang dibangunnya dari nol itu. Akibat krisis yang melanda, Habibie memang diwarisi pekerjaan berat. Mulai inflasi dan suku bunga yang tinggi sampai anjloknya nilai mata uang rupiah. "Saya membereskan ini dulu," ujarnya. "Saya mengalah untuk menang. Yang menang itu rakyat."

* * *

Habibie merupakan mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari pemerintahan Presiden Sukarno untuk mendalami ilmu soal  kedirgantaraan di luar negeri. Ia belajar desain dan konstruksi pesawat terbang di Rheinisch Westfalische Technische Hochschule, Aachen, Jerman. Setelah selesai pada 1960, Habibie mendaftar untuk program doktor sekaligus memulai karier sebagai asisten dosen untuk ilmu konstruksi di almamaternya. Ia lulus sebagai doktor pada 1965 dan kemudian bekerja di pabrik pesawat terbang Messerschemitt Boelkow Blohm (MBB) di Hamburg.  

Otaknya yang cemerlang membuat kariernya menanjak dengan cepat. Tak sampai setahun, ia menjabat Kepala Departemen Riset dan Pengembangan Analisis Struktur di perusahaan itu. Pria yang lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, itu dipromosikan jadi Wakil Direktur Teknik pada 1974. Tahun itu juga ia diminta pergi ke Filipina menghadap Presiden Ferdinand Marcos di Istana Malacanang. Marcos menawarinya mengembangkan industri dirgantara di Manila. Habibie menolak permintaan itu.

Kabar itu sampai ke telinga Presiden Soeharto. Soeharto pun memanggilnya pulang melalui perantaraan Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo. Kali ini Habibie setuju. Ibnu mengangkatnya sebagai penasihat teknik. Setahun setelah kedatangan Habibie, Pertamina membentuk divisi Advanced Technology dan Teknologi Penerbangan pada 1975. Divisi itu menyiapkan infrastruktur bagi industri penerbangan di Indonesia. Ayah dua anak itu lalu diserahi tugas menyiapkan industri penerbangan.

Miniatur pesawat R80, yang merupakan lanjutan dari N250 
Foto: Pradita Utama/detikcom

Habibie lalu menggabungkan Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur) yang sudah eksis dan lembaga bentukan Pertamina pada April 1976. Gabungan ini lalu diberi nama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN). Bersama belasan insinyur lain, di antaranya Surasno Paramajuda, lulusan sekolah aeronautika di Kiev, lalu Rahardi Ramelan, insinyur automotif lulusan Cekoslovakia, Habibie mulai bekerja. Mereka juga dibantu 480 karyawan dari TNI Angkatan Udara.

Program pertamanya memproduksi helikopter NBO-105, yang dibuat dengan lisensi MBB Jerman, dan pesawat C212 di bawah lisensi CASA Spanyol. Dalam sebuah wawancara dengan Tempo pada Desember 1991, Habibie menyebut Nurtanio, yang bersalin nama jadi Industri Pesawat Terbang Nusantara pada 1986, memiliki 15 ribu karyawan yang 12 ribu di antaranya berstandar internasional. Ia menargetkan, pada 2010 IPTN akan memiliki 60 ribu karyawan. Separuhnya membuat komponen dan 30 ribu lainnya membuat pesawat.

Cita-cita Habibie tersebut memang belum terwujud dan upaya produksi N250 juga kandas. Tapi dirinya tak menghabiskan waktu dan tenaganya untuk mengeluh. Pria yang menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi selama 20 tahun itu tak berhenti berkarya. Dalam usia tak muda lagi, bersama putranya, Ilham Akbar Habibie, ia mendirikan PT Regio Aviasi Industri. Habibie juga memanggil pulang sejumlah bekas stafnya di IPTN yang sudah bekerja di luar negeri. Mereka pun merancang pengembangan pesawat R80, yang disebut lanjutan dari N250.

Sejak 2017, pesawat yang didesain dengan berbagai kecanggihan, mulai pemakaian sinyal elektronik untuk sistem kendali, peredam suara bising, hingga pengatur tekanan udara, itu masuk daftar Proyek Strategis Nasional. Dalam sebuah wawancara, Habibie mengaku industri strategis yang dikembangkannya dari 1976 itu merupakan ide bangsa Indonesia yang dicetuskan Bung Karno. Dirinya hanya diindoktrinasi untuk mewujudkannya. "Waktu pesawat itu terbang, saya plong," ujarnya. "Karena indoktrinasi yang saya yakini harus dilaksanakan itu telah saya berikan kepada bangsa ini."   


Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Desainer: Luthfy Syahban

[Widget:Baca Juga]
SHARE