Ilustrasi: Edi Wahyono
Minggu, 19 November 2017Pada Maret 1967, pelukis Basoeki Abdullah mendengar kabar, ada seorang intel mencarinya. Intel ini bukan sembarang intel. Namanya Mayor Aloysius Sugiyanto, tangan kanan Ali Moertopo. Pada tahun-tahun itu, nama yang terakhir ini bisa membuat ciut nyali siapa saja warga Indonesia.
Dia orang kepercayaan Presiden Soeharto. Tudingan telunjuknya sangat ‘sakti’, bisa mengarahkan siapa saja, apalagi ‘hanya’ seniman seperti Basoeki, ke balik jeruji penjara. Wajar jika Basoeki, yang sudah bertahun-tahun tinggal di Bangkok sebagai pelukis Istana Kerajaan Thailand, merasa cemas. Dia sangat dekat dengan Bung Karno. Dan pada hari-hari itu, alih-alih membawa rezeki, kedekatan seperti itu malah bisa membuat celaka orang.
Badai politik di Jakarta setelah peristiwa 30 September 1965 memang membuat hidup banyak orang jungkir balik. “Jangan-jangan saya akan ditangkap,” Basoeki, seperti dikutip Agus Dermawan dalam bukunya, Basoeki Abdullah: Sang Hanoman Keloyongan, membatin. Beberapa mantan pelukis Istana Presiden, seperti Dullah, Lee Man Fong, dan Lim Wasim, nasibnya tak seberapa baik. Hidup mereka tak pernah tenang setelah peristiwa 1965.
Selama berhari-hari, Basoeki terus berusaha menghindari Mayor Sugiyanto. Tapi Mayor Sugiyanto tak dikirim Ali Moertopo ke Bangkok untuk menangkap Basoeki. Dia dikirim dari Jakarta justru untuk menjemput Basoeki. Rupanya Presiden Soeharto, yang baru menggantikan Bung Karno, ingin dilukis oleh Basoeki.
Didampingi oleh Mayor Sugiyanto, Basoeki terbang ke Jakarta bersama istrinya, Nataya Nareerat. Mereka diperlakukan layaknya tamu terhormat. Basoeki dan istrinya diinapkan di Hotel Indonesia. Pada 12 Maret 1967, dia dipertemukan dengan Presiden Soeharto di kediamannya, Jalan Cendana, Jakarta. Basoeki hanya butuh beberapa hari untuk menyelesaikan lukisan pesanan Presiden Soeharto. Tugas tuntas, Basoeki dan istrinya pulang kembali ke Thailand.
Baca Juga : Soeharto: Nyatanya Saya Tidak Korupsi
Kunjungan Soeharto dan istri di pameran tunggal Basoeki Abdullah
Foto: repro koleksi Museum Basoeki Abdullah
Dari Bangkok, Basoeki terus menyimak kabar-kabar di Tanah Air. Dia mendengar kabar bagaimana sahabatnya, Bung Karno, dikurung dan diasingkan di Wisma Yaso. Dia memutar otak, bagaimana caranya bisa menjenguk Bung Karno. Tak ada jalan lain kecuali melalui penguasa tertinggi, Presiden Soeharto. Basoeki mengirimkan permohonan untuk melukis kembali Presiden Soeharto. Kali ini dia juga menyampaikan keinginan mengabadikan Ibu Negara Tien Soeharto. Permohonan Basoeki dikabulkan Cendana. Sepanjang Februari 1968, Basoeki menuntaskan lukisan Presiden Soeharto dan Tien Soeharto.
Setelah pekerjaan kelar, Basoeki menyampaikan permohonan izin untuk mengunjungi Bung Karno. Tapi izin untuk yang satu ini tak diberikan. Hingga Bung Karno berpulang pada 21 Juni 1970, Basoeki tak pernah mendapatkan kesempatan bertemu lagi dengan sahabatnya itu.
“Ketika Bung Karno mangkat, saya terus berusaha menghubungi Ratna Sari Dewi. Tapi tak pernah berhasil,” kata Basoeki. Selain bersahabat dengan Bung Karno, Basoeki kenal baik dengan istri-istrinya, termasuk Ratna Sari Dewi. Beberapa kali dia melukis Ratna Sari Dewi di Wisma Yaso.
* * *
Saat pertama kali diminta melukis oleh Presiden Soeharto, Basoeki tak tahu banyak siapa Jenderal Soeharto. Sebagai sahabat Bung Karno, Basoeki kenal banyak jenderal, tapi tidak Jenderal Soeharto. Tapi Basoeki justru sudah lama kenal dengan istrinya, Siti Hartinah ‘Tien’ Soeharto.
Saat itu keduanya masih sama-sama bocah di Solo. Basoeki, yang waktu itu sudah mulai dekat dengan lingkungan Katolik, beberapa kali bertemu dengan Siti Hartinah di dekat gereja. Dia tak tahu apa yang dilakukan anak perempuan itu di gereja. Ayah Siti Hartinah, Kanjeng Raden Tumenggung Soemohardjomo, merupakan pamong di lingkungan Pura Mangkunegaran.
Melukis Soeharto pada 1970-an
Foto: repro koleksi Museum Basoeki Abdullah
“Kepala Pak Harto dia pegang-pegang, terus Pak Bas bilang, ’Iki kudune nganggo peci.’”
Bernadetta, mantan sekretaris Basoeki AbdullahPuluhan tahun kemudian, Basoeki kembali bertemu dengan Siti Hartinah. Kali ini anak perempuan itu sudah menjadi Ibu Negara, Tien Soeharto. Barangkali, lantaran kesibukan Presiden Soeharto dan sebagai sesama wong Solo-lah yang membuat Basoeki lebih dekat dengan Tien Soeharto.
“Bu Tien baik sekali kepada bapak saya. Beliau kadang mengundang Bapak minum teh sore di rumahnya…. Bu Tien juga selalu datang dan mendukung setiap kali Bapak berpameran,” kata Cecilia Sidhawati, putri bungsu Basoeki, kepada detikX beberapa hari lalu. Tak seperti Bung Karno, yang memang sangat dekat dengan para seniman, Presiden Soeharto, yang seorang prajurit, memang tak terlalu akrab dengan kesenian.
Biasanya, jika diundang ke Cendana atau bertemu dengan Presiden Soeharto, Basoeki mengajak sekretarisnya, Bernadetta, kini 86 tahun. Hubungan Basoeki dengan Presiden Soeharto memang tak sedekat hubungan Basoeki dengan Bung Karno. Tapi barangkali tak ada orang lain yang berani meniru apa yang dilakukan Basoeki. “Kepala Pak Harto dia pegang-pegang, terus Pak Bas bilang, ’Iki kudune nganggo peci.’”
Menurut Bernadetta, khusus untuk Presiden Soeharto dan Tien Soeharto, Basoeki tak pernah pasang harga, bahkan bersedia melukis tanpa dibayar. Basoeki juga sering sungkan menerima bayaran jika putra-putri Presiden dan para menteri yang meminta. “Aku bilang, ’Pak Bas, kalau para menteri bayar, diterima, dong,’” Bernadetta menuturkan kepada detikX.
Tanggal 26 Desember 1987 adalah hari yang istimewa bagi Presiden Soeharto dan istrinya. Hari itu merupakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-40. Anak-anaknya, terutama Siti Hardijanti Rukmana (Tutut) dan Siti Hediati Prabowo (Titiek), ingin memberikan hadiah istimewa kepada orang tua mereka. Mereka memesan lukisan kepada Basoeki. Semula dia berniat melukis kawanan angsa. Namun Basoeki berubah pikiran.
Melukis Ibu Tien di rumah Jalan Cendana, Jakarta, 1968.
Foto: repro koleksi Museum Basoeki Abdullah
Kawanan merpati, menurut Basoeki, lebih cocok untuk menggambarkan Keluarga Cendana. “Karena merpati menggambarkan kebebasan dan kelincahan,” kata Basoeki. Tutut dan Titiek menyetujui usul Basoeki. Maka jadilah lukisan merpati itu menghiasi kediaman Presiden Soeharto di Jalan Cendana. Hingga suatu kali, Presiden Soeharto menyuruh anak-anak dan cucunya membubuhkan tanda tangan di setiap merpati pada lukisan Basoeki.
Rupanya, coretan-coretan pada karyanya itu tak bisa diterima Basoeki. Dia marah besar. Berkali-kali dia berusaha menghubungi Tien Soeharto untuk menyampaikan keberatan, tapi tak pernah berhasil. Telinga Presiden Soeharto memang awas. Kabar kemarahan Basoeki itu sampai juga ke telinganya. Hampir empat tahun kemudian, saat membuka pameran tunggal Basoeki di Taman Mini Indonesia Indah, Presiden Soeharto berbisik di telinga Basoeki.
“Pak Basoeki, saya punya utang, ya,” kata Presiden Soeharto. Basoeki tak menyangka Presiden berkata seperti itu. “Ah, utang apa, Pak Harto?” Presiden Soeharto, seperti biasa, hanya tersenyum. Basoeki hanya bisa menduga-duga apa yang dimaksud Presiden Soeharto. Baru dua tahun kemudian Presiden Soeharto ada kesempatan ‘melunasi’ utangnya.
Tapi sungguh sayang, ‘utang’ itu lunas setelah Basoeki meninggal. Sang maestro tewas dibunuh maling di rumahnya pada 5 November 1993. Sesuai dengan wasiatnya, Basoeki minta dia dikuburkan di kompleks pemakaman keluarga kakeknya, Dr Wahidin Sudirohusodo, di Mlati, Sleman, Yogyakarta. Presiden Soeharto dan Keluarga Cendana menyediakan satu pesawat untuk menerbangkan jenazah Basoeki ke Yogyakarta. “Pak Harto mau bayar utang kepada Pak Basoeki,” ujar seorang kerabat Cendana dikutip Agus Dermawan dalam bukunya.
Reporter/Redaktur: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim