INTERMESO

Ini Bukan Hoax

“Itu menjadi penyesalan seumur hidup karena jejak digital tak bisa dihapus.”

Deklarasi dan sosialisasi Masyarakat Anti Hoax di Yogyakarta, Minggu (22/1).

Foto: Andreas Fitri Atmoko/Antara Foto

Jumat, 10 Februari 2017

Jangan main-main dengan berita palsu. Gara-gara hoax, nyawa bisa jadi taruhannya. Gara-gara percaya pada berita palsu di Internet, Edgar Welch nyaris menembak mati orang. Siapa yang tahu.

Pada awal Desember 2016, Edgar, 28 tahun, datang ke Restoran Comet Ping Pong di Washington, DC, sembari menenteng senapan AR-15. Edgar sempat menodongkan dan menembakkan senapannya di dalam restoran sebelum polisi mengepung dan meringkusnya. Tak ada korban terluka.

Kepada polisi, petugas pemadam kebakaran dari Kota Salisbury, North Carolina, itu mengaku datang ke Comet untuk menyelidiki kebenaran “berita” bahwa restoran keluarga yang menyajikan menu utama pizza tersebut merupakan pusat jaringan pedofil. “Aku datang dengan niat baik, tapi tak berakhir baik,” kata Edgar kepada New York Times. Walaupun tak menemukan bukti ada pedofil di Comet, dia tetap menaruh curiga terhadap restoran itu. “Informasi intelnya tak 100 persen.”

Semula, kata Edgar, dia mendengar kabar soal jaringan pedofil di Restoran Comet dari seorang teman. Hasil penelusuran bapak dua anak itu di Internet makin menambah kecurigaannya. Di Internet, Edgar menemukan sejumlah “bukti” yang menyokong kebenaran kabar itu.

Berita-berita palsu itu menyebabkan polarisasi dalam keluarga, masyarakat, pertemanan dan mengancam keharmonisan berbangsa.”

Septiaji Eko Nugroho, Ketua Masyarakat Anti Hoax

Ketua Pewarta Foto Indonesia Lucky Pransiska (kiri) bersama Robinsar Opak dari DIvisi Advokasi menunjukkan barang bukti pencemaran nama baik profesi pewarta foto di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (11/1).
Foto: M Agung Rajasa/Antara Foto

Coba saja ketik “Pizzagate: How 4Chan Uncovered the Sick World of Washington’s Occult Elite” di Google. Ada banyak sekali tautan yang memuat kabar soal jaringan pedofil di Restoran Comet. Dua di antaranya adalah The New Nationalist dan The Vigilant Citizens. Menurut dua situs ini, restoran pizza Comet Ping Pong di Washington merupakan markas geng penculik dan pemerkosa anak yang dikepalai oleh Hillary Clinton bersama ketua tim kampanyenya, John Podesta. Dari dua situs itu, berita ini menyebar ke mana-mana lewat Facebook, Twitter, WhatsApp, dan sebagainya.

Tentu saja berita itu tak disokong bukti sama sekali. Gara-gara berita “sampah” ini, James Alefantis, pemilik Comet Ping Pong, pusing bukan kepalang. Berkali-kali James, yang tak sekali pun bertemu langsung dengan Hillary, menerima ancaman pembunuhan. James sudah menghubungi Facebook dan Twitter untuk menghapus semua berita itu. Tapi, bak rumput liar, satu mati tumbuh seribu. “Aku seperti menembak kawanan lebah dengan satu senapan,” kata Bryce Reh, anak buah James.

Sepertinya bukan cuma Edgar yang termakan berita palsu ini. Bahkan Letnan Jenderal (Purnawirawan) Michael Flynn, yang belakangan ditunjuk Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebagai Penasihat Keamanan Nasional, juga turut menyebarkan tautan kabar palsu itu. “MUST READ!” Flynn menulis dengan huruf besar di Twitter beberapa bulan lalu.

Foto hasil rekayasa digital dengan tambahan caption ini merupakan hoax. Foto ini beredar lewat media sosial.

Tak peduli seorang jenderal, pemadam kebakaran, atau ibu rumah tangga, siapa saja bisa tertipu berita palsu alias hoax. Yang jadi korban bisa seorang pemimpin negara, seperti Barack Obama atau Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, bisa pula orang biasa. Para penulis berita palsu ini memang makin jago memermak tulisan dan video, membuatnya seolah-olah berita otentik. Shinta Kosasih, 40 tahun, pernah termakan pula oleh berita-berita palsu.

Ibu rumah tangga ini sebenarnya tak seberapa suka membaca berita politik. Tapi pemilihan presiden pada 2014 membuat dia rajin mengikuti isu-isu politik. “Apalagi sekarang akan ada pemilihan Gubernur DKI Jakarta…. Saya makin rajin baca berita politik,” kata Shinta. Ponsel yang ke mana-mana selalu dia bawa menambah mudah Shinta membaca berita soal Agus Yudhoyono, Basuki Tjahaja Purnama, dan Anies Baswedan, tiga kandidat yang tengah sengit memperebutkan kursi di Balai Kota Jakarta.

Shinta pendukung Ahok, sapaan bagi Basuki. Dia terus memantau berita, juga berbagi gosip politik dengan teman-temannya soal Ahok lewat Facebook, Twitter, dan WhatsApp. Kita mafhum, begitu banyak berita palsu, fitnah, dan “sampah” bergentayangan di media sosial, lebih-lebih jaringan pesan ala WhatsApp. Dari gosip soal kandungan lemak babi di beberapa jenis makanan, kabar kematian artis atau pejabat, sampai berita palsu pidato Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Satu kali ada foto yang dibagi seorang temannya lewat WhatsApp soal demonstrasi di depan Gedung Putih di Washington, DC, Amerika Serikat. Yang “luar biasa” dari foto, ada seorang demonstran mengusung poster foto Rizieq Syihab, imam Front Pembela Islam. Menurut keterangan pada foto, mereka meluapkan amarah kepada Rizieq lantaran dianggap menghina agama Kristen.


Foto Ahok dan Rizieq Syihab berjabat tangan (kiri) adalah hasil editan. Foto tersebut dibuat dari dua foto berbeda (kanan) yang digabungkan dengan rekayasa digital.

“Dalam hati saya, wah hebat juga ya ada warga Amerika yang demo soal Rizieq. Lantaran rata-rata saya dan teman-teman pendukung Ahok, kami senang membaca berita itu,” Shinta menuturkan pengalamannya. Tak banyak pikir lagi, jari-jari Shinta segera memencet layar ponsel dan membagikan foto itu ke teman-temannya yang lain. “Teman-teman saya juga kaget.”

Tapi lama-lama Shinta merasa ada yang aneh soal foto itu. “Emang ada kepentingan apa warga Amerika sampai demonstrasi urusan itu,” kata Shinta. Dia minta anaknya mengecek kebenaran foto itu. Setelah menelusuri asal-muasal foto tersebut, anaknya menjelaskan bahwa foto itu palsu, demikian pula berita soal protes tersebut.

Shinta, yang masih kurang percaya, mencari berita soal demonstrasi anti-Rizieq di depan Gedung Putih. Ternyata memang ada berita soal itu. Lagi-lagi anaknya yang menjelaskan bahwa semua berita itu hanya hoax belaka. Ternyata foto asli dari demonstrasi itu adalah protes terhadap Donald Trump.

Tentu saja tak ada satu biji pun poster Rizieq Syihab di sana. “Ketipu banget deh saya,” kata Shinta. Dia benar-benar malu kepada teman-temannya. “Berarti saya sama saja sudah ikut menyebar berita bohong.” Shinta mengamati, ada beberapa situs Internet penyebar hoax sengaja dibuat menyerupai media berita sungguhan. “Kayak berita Rizieq tadi saya baca juga dari http://tribuntrend.blogspot.co.id/2017/01/kasus-penistaan-agama-yg-baru-baru-ini.html . Saya pikir dari Tribun, jadi pasti betulan.”

Setelah sempat tertipu, Shinta makin hati-hati menyebarkan “berita” kepada teman-temannya. G. Febrianto, 34 tahun, seorang wiraswasta, memilih hanya membaca dari situs berita yang sudah mapan dan tepercaya untuk menghindari hoax.

Aktivis Masyarakat Anti Fitnah Indonesia membentangkan poster yang berisi penolakan penyebaran berita bohong (hoax) di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (22/1).
Foto: Yudhi Mahatma/Antara Foto

Darah muda pernah membuat Septiaji Eko Nugroho ikut membuat dan menyebarkan berita palsu untuk menjatuhkan orang-orang yang dianggapnya sebagai lawan. “Saat itu, 15 tahun lalu, saya masih kuliah dan baru kenal Internet. Mungkin karena terlalu bersemangat membela agama dan lantaran darah muda, kadang saya menggunakan hoax juga untuk menyerang lawan,” kata Septiaji. Dia masih menyesalinya sampai sekarang. “Itu menjadi penyesalan seumur hidup karena jejak digital tak bisa dihapus.”

Sekarang Septiaji dan teman-temannya di Masyarakat Anti Hoax terus berperang melawan berita palsu. Septiaji, kini Ketua Masyarakat Anti Hoax, paham betul, hoax tak hanya dilarang dalam semua norma dan haram menurut agama, tapi juga sangat merusak dan berbahaya.

“Berita-berita palsu itu menyebabkan polarisasi dalam keluarga, masyarakat, pertemanan, dan mungkin sudah mengancam keharmonisan kita dalam berbangsa. Kami khawatir hoax akan menjadi akselerasi kerusuhan fisik,” kata Septiaji. Bagaimana hoax tak berbahaya jika isu politik dan SARA jadi tema utamanya? Berita-berita palsu soal kesehatan, kata Septiaji, juga sama berbahayanya. Gara-gara berita palsu itu, nyawalah taruhannya.


Reporter: Pasti Liberti Mapappa, Melisa Mailoa
Penulis: Pasti Liberti Mapappa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE