INTERMESO
Sukses Operasi Woyla merupakan hasil kerja sama yang intens antarlembaga pemerintah. Sempat memunculkan tudingan rekayasa.
Ilustrasi: Fuad Hasim
Selasa, 4 Oktober 2016“Ben, nanti jam sembilan malam adalah batas terakhir yang diberikan pembajak,” kata Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Jenderal Yoga Soegama. “Apa pasukan sudah bisa bergerak?”
Kepala Pusat Intelijen Strategis Letnan Jenderal Benny Moerdani, yang memimpin operasi militer, menjawab, “Waduh.... Jangan dulu, Pak. Kalau bisa, lewat tengah malam. Anak-anak masih perlu latihan lagi untuk mempercepat tempo.”
Adegan itu berlangsung di ruang kendali Operasi Woyla di lingkungan Bandara Don Mueang, Bangkok, 31 Maret 1981. Bambang Wiwoho mendeskripsikannya secara detail lewat buku Operasi Woyla, yang mulai beredar di toko-toko buku pada 19 September lalu. Buku ini merupakan revisi atas buku serupa yang diterbitkan PT Menara Gading Nusantara, Jakarta, 1981. Kali ini penerbitnya adalah Kompas Penerbit Buku.
Operasi Woyla adalah nama sandi operasi pembebasan pesawat DC-9 Garuda dengan nama bodi Woyla yang dibajak pada 28 Maret 1981. Pesawat dengan rute Jakarta-Palembang-Medan itu dibajak dalam penerbangan dari Palembang ke Medan. Para pembajak terdiri atas Zulfikar atau Teuku Johan Meraza dengan nomor tiket 754992, Abdullah Mulyono (754993), Mahrizal (754995), Abu Sofyan alias Sofyan Effendi (754996), dan Wendy alias Effendi (754997).
Lima lelaki yang menamakan diri Komando Jihad itu lantas meminta kapten pilot Herman Rante dan kopilot Hedhy Juwantoro mengarahkan penerbangan ke Kolombo, Sri Langka. Karena bahan bakar tak cukup, pesawat mendarat di Penang, Malaysia. Setelah mengisi bahan bakar dan mendapat tambahan makanan, pesawat melanjutkan perjalanan ke Bangkok, Thailand.
Dua dari lima pembajak pesawat Garuda: Mahrizal (kiri) dan Zulfikar
Foto: repro buku Operasi Woyla
Para pembajak meminta pemerintah Indonesia membebaskan puluhan tahanan politik teman mereka, mengirim uang US$ 1,5 juta, mengeluarkan para perwira Israel dari tubuh ABRI, serta mencopot Wakil Presiden Adam Malik karena dituduhnya sebagai koruptor. Untuk dua permintaan terakhir, Yoga, yang ditugaskan Presiden Soeharto memimpin operasi penyelamatan, tegas menolaknya. Tapi, untuk dua permintaan pertama, dia cuma menebar janji-janji surga kepada para pembajak.
Pembajak meminta agar para perwira Israel di tubuh ABRI dikeluarkan dan Wakil Presiden Adam Malik dicopot karena dituduhnya sebagai koruptor."
Sekitar pukul 02.30, pasukan Para Komando dari Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha, sekarang bernama Komando Pasukan Khusus) yang dipimpin Sintong Panjaitan mulai bergerak dalam senyapnya malam. Mereka berjalan berbaris dua-dua dari arah belakang pesawat. Setelah pintu-pintu darurat di badan dan bagian hidung pesawat didobrak, sekitar tiga menit kemudian pesawat bisa dikuasai.
Tiga dari lima pembajak tewas di tempat, semua penumpang dan kru selamat, kecuali Herman Rante, yang mengalami luka tembak. Turut kena luka tembak Calon Perwira Ahmad Kirang, yang menyerbu dari bagian ekor pesawat. Keduanya gugur beberapa hari kemudian setelah menjalani perawatan di rumah sakit di Bangkok.
* * *
Terkait operasi ini, sejumlah tokoh yang terlibat langsung pernah mengulasnya dalam memoar ataupun biografi mereka, seperti Jenderal Yoga Soegama (Memori Jenderal Yoga, 1983), L.B. Moerdani (Tragedi Seorang Loyalis), dan Sintong Panjaitan (Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando). Tapi Bambang Wiwoho, yang menulis buku Operasi Woyla, berhasil mengemas rekonstruksi peristiwa legendaris itu secara populer sehingga enak dibaca. Dia “menjahit” berbagai tulisan di media massa Indonesia dan terbitan Bangkok serta memperkayanya dengan mewawancarai sejumlah tokoh yang terlibat langsung dalam operasi tersebut, seperti Yoga, Dubes Rl di Muang Thai Letjen Hasnan Habib, dan Manajer Garuda di Bangkok Suparno.
Wiwoho juga dengan tekun menelaah rekaman pembicaraan, mengamati film dokumentasi, serta menyimak berbagai dokumen di pusat komando. Di buku edisi mutakhir yang masuk ke toko-toko buku mulai 19 September 2016, dia melengkapinya dengan kesaksian kopilot Hedhy Juwantoro, beberapa penumpang yang disandera, dan beberapa anggota pasukan khusus yang terlibat dalam operasi pembebasan.
Foto: repro buku Operasi Woyla
Foto: repro buku Operasi Woyla
Bukan dia (Benny Moerdani) yang bikin. Kalau dia yang bikin, saya pecat dia hari ini juga."
Jenderal M. Jusuf, Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRITak aneh bila dalam buku ini Wiwoho dapat mendeskripsikan ketegangan yang terjadi di pusat kendali operasi yang dipimpin Yoga Soegama di Bangkok. Bagaimana Yoga membujuk dan meyakinkan para petinggi militer dan pemerintahan Thailand agar mengizinkan pasukan Komando Indonesia melakukan operasi militer. Juga bagaimana Yoga membujuk pemerintah Sri Lanka agar tidak menerima Garuda Woyla mendarat di ibu kota negeri itu.
Yoga juga digambarkan melakukan berbagai trik untuk mengulur waktu para pembajak yang meminta agar puluhan tahanan politik rekan mereka dibebaskan dan diterbangkan ke Kolombo. Tujuannya adalah agar pasukan Komando Indonesia bisa masuk, melumpuhkan para pembajak, sekaligus menyelamatkan sandera dan kru pesawat.
Membaca buku ini, kita dapat menangkap kesan betapa sukses Operasi Woyla merupakan hasil kerja sama yang intens antarlembaga pemerintah. Mulai lembaga intelijen, lembaga pemulihan keamanan dan ketertiban, lembaga pertahanan dan keamanan, maskapai penerbangan, hingga pasukan Komando.
Keberhasilan Operasi Woyla melambungkan reputasi Kopassandha (kini Kopassus) dan tercatat sebagai salah satu satuan elite top dunia. Juga melambungkan karier Sintong Panjaitan sebagai pemimpin lapangan dan Benny Moerdani, yang kemudian menjadi Panglima ABRI.
Meski begitu, tetap ada tafsir miring terhadap kesuksesan Operasi Woyla. Orang-orang tertentu menuding peristiwa pembajakan dan operasi pembebasannya merupakan rekayasa intelijen belaka. Kopilot Hedhy Juwantoro mengaku kerap mendengar gunjingan seolah peristiwa pembajakan Woyla sekadar rekayasa belaka. Tapi dia tentu tak punya kemampuan untuk menganalisis dan menyimpulkannya.
“Saya malah merasa, seusai peristiwa itu, untuk beberapa waktu lamanya seperti ada yang mengawasi gerak-gerik saya, kok,” ujarnya kepada detikX, Sabtu, 1 Oktober 2016.
Wiwoho pribadi menepis kemungkinan adanya rekayasa. Ia menilai terlalu mahal harganya jika kalangan intelijen sampai membuat rekayasa semacam itu. Selain risiko jatuhnya korban cukup banyak, kata dia, reputasi Garuda Indonesia sebagai maskapai flag carrier akan jatuh jika operasi penyelamatan sampai meleset. “Penumpangnya kan ada beberapa warga negara asing, warga kita sendiri juga banyak, masak mau dikorbankan. Terlalu berisiko, enggak masuk akal. Garuda juga bisa bangkrut karena masyarakat enggak percaya lagi,” kata Wiwoho, yang pernah menjadi wartawan Suara Karya dan meliput di lingkungan Istana pada 1972-1979. Terakhir dia menjabat Pemimpin Umum Majalah Panjimas pada 1996-2001.
Isu soal rekayasa juga sempat mencuat dalam rapat kerja dengan Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf menepis isu tersebut. Sambil menoleh kepada Benny Moerdani, yang duduk di sampingnya, Jusuf berkata, “Bukan dia yang bikin (rekayasa). Kalau dia yang bikin, saya pecat dia hari ini juga.”
Benny Moerdani diam tanpa bereaksi. Menurut Jusuf dalam buku Panglima Para Prajurit, yang ditulis Atmadji Sumarkidjo, Benny memang pelaksana, tapi bukan tipe seorang yang senang merancang sebuah rekayasa.
Dalam edisi revisi ini, Wiwoho dan penerbit Kompas sepakat menghilangkan embel-embel tulisan "kisah nyata". Juga mengganti gambar sampul dari semula lukisan wajah Yoga Soegama menjadi ilustrasi adegan penyerbuan pasukan Komando ke pesawat DC-9 Garuda Woyla.
Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.