Crimestory

Maut di Pucuk
Celurit Wirjo

Sekitar 36 tahun silam, warga Banyuwangi, Jawa Timur, dibuat ketakutan. Pasalnya, terjadi pembantaian dengan korban 32 orang dalam sehari. Pelakunya tunggal: Wirjo.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Kamis, 24 Agustus 2023

Warga Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur, yang biasanya hidup tenang, tiba-tiba diselimuti suasana mencekam. Mereka ketakutan. Tidak tak ada satu pun yang berani ke luar rumah. Aktivitas perekonomian dan sekolah nyaris terhenti. Perubahan suasana itu terjadi gara-gara teror pembantaian yang dilakukan Suwirjo alias Wirjo, 42 tahun, terhadap 32 orang pada Rabu, 15 April 1987.

Petani kurus itu membantai 32 orang, yang merupakan tetangganya sendiri, dalam tempo 24 jam. Dia membunuh dengan dua senjata tajam: celurit dan parang pemotong rumput (jombret)Bak kerasukan setan, Wirjo menebas siapa pun yang ditemuinya di jalan, rumah, dan area persawahan. Tak pandang apakah dia orang dewasa, anak-anak, laki-laki, atau perempuan, semua coba dibunuh oleh Wirjo.

Dari 32 orang itu, 18 di antaranya tewas di tempat kejadian. Dua orang korban meninggal di Rumah Sakit Umum (RSU) Blambangan, Banyuwangi. Sisanya, yaitu 12 orang, mengalami luka bacokan dan sayatan senjata tajam. Korban luka sempat mendapat pertolongan di rumah sakit. Hingga kini, kejadian yang sungguh mengerikan itu masih menyisakan rasa trauma di diri keluarga korban.

Tragedi 36 tahun silam di Banyuwangi itu diwartakan sejumlah koran lokal dan nasional. Bahkan kabar itu menguar hingga ke luar negeri. Selama 2-3 hari, Banjarsari mirip desa mati. Pintu-pintu rumah terkunci rapat dan kosong ditinggalkan para penghuninya.

Setiap 10 keluarga berkumpul menjadi satu di rumah tetangga atau kerabat yang lebih jauh. Perempuan dan anak-anak meriung di dalam rumah. Sementara itu, kaum laki-laki berjaga penuh waspada di luar rumah dengan berbekal bambu runcing, pentungan, dan golok.

Aparat keamanan memang melarang warga keluar dari rumah atau berada di jalanan. Sebab, Wirjo, yang belum tertangkap, sewaktu-waktu bisa muncul dan mengamuk. Apalagi saat itu beredar rumor bahwa Wirjo menguasai ilmu kanuragan (kesaktian). Tubuhnya kebal senjata tajam, mampu menghilang, dan berada di dua tempat yang berbeda dalam waktu bersamaan.

Ilustrasi Suwirjo alias Wirjo
Ilustrator: Edi Wahyono/detikcom

Ratusan aparat diterjunkan untuk mengamankan situasi, termasuk mencari Wirjo dalam persembunyian. Pos-pos komando untuk memburu Wirjo didirikan di berbagai tempat oleh para personel gabungan dari Polres Banyuwangi, Kodim 0825/Banyuwangi, serta batalion infanteri Kostrad dan TNI AL.

Dikutip koran Kompas edisi 16 April 1987 dan majalah Tempo edisi 25 April 1987, tragedi pembantaian itu bermula ketika Wirjo tengah mengasah celurit dan parang yang biasa digunakan untuk memotong rumput di belakang rumahnya pada Rabu, 15 April 1987, pagi. Ketika mengasah kedua perkakas itu, Wirjo hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada.

Saat mengasah celurit dan parang itu, mata Wirjo tak henti-hentinya mengawasi anak angkatnya, Sri Reny, 4 tahun, yang tengah bermain dengan riang bersama teman sebayanya, Arbaiyah, di depan rumah. Entah apa masalahnya, sekonyong-konyong Wirjo lari mengejar Reny sambil mengacungkan senjatanya. Dia langsung menebaskan celurit itu ke arah Reny, tapi korban dapat berkelit dan lari menghindar.

Melihat sasarannya lolos, Wirjo malah menyasar Arbaiyah, yang dekat dengannya. Bocah malang itu pun langsung tersungkur dengan luka yang mengenaskan. Reny menjerit langsung lari menuju ibunya, Indirah, 32 tahun, yang berada di sawah. Ibu dan anak yang ketakutan itu langsung berlari menuju jalan kampung untuk meminta pertolongan.

Wajah Wirjo datar, tak ada ekspresi apa pun. Dia membiarkan istri dan anak angkatnya itu lari begitu saja. Sejurus kemudian, Wirjo malah mendatangi rumah Maskur, 80 tahun, yang berada di sebelah rumahnya. Dia masuk melalui pintu dapur di belakang rumah. Dia mendapati istri Maskur, Mursiyah, 43 tahun, tengah menanak nasi.

Tanpa menyapa, Wirjo langsung masuk dan menebas perempuan itu tanpa ampun. Satu kali jeritan mengakhiri hidup Mursiyah. Lehernya terluka hebat akibat sabetan celurit. Mendengar kegaduhan di dapur, Maskur mendatanginya. Tapi, karena tubuhnya sudah renta, Maskur tak bisa membela diri ketika Wirjo menyerangnya. Tubuh Maskur pun langsung ambruk tak bernyawa lagi di tempat kejadian.

Seperti orang tak takut berdosa, Wirjo terus menenteng celurit dan parang di tangannya sambil berjalan kaki. Siapa pun yang ditemuinya langsung menjadi sasaran amukannya, termasuk Gimin. Tapi Gimin bisa menghindari serangan dan lari meminta tolong kepada tetangga lainnya. Mereka lalu mengejar Wirjo, yang berjalan menuju persawahan tak jauh dari aliran Sungai Galung.

Begitu sampai di pematang sawah, bukan Wirjo yang ditemukan. Warga menemukan jasad Mak Isah, 40 tahun, sudah tergolek bersimbah darah. Korban dibunuh Wirjo ketika tengah menyabit rumput. Warga melihat dari kejauhan, Wirjo, terus berjalan di pematang sawah sambil mengacung-acungkan parang dan celurit yang berlumuran darah.

Di sana Wirjo berpapasan dengan Istianah, 15 tahun, pelajar SMP Kosgoro. Wirjo langsung memburu gadis tersebut. Istianah lalu menjerit dan lari balik arah untuk menghindari amukan Wirjo. Wirjo berhasil mengejar dan langsung membabat leher gadis remaja itu. Seketika tubuh Istianah roboh bersimbah darah.

Warga dan pengurus RT setempat langsung mengejar Wirjo yang lari entah ke mana. Alih-alih menemukan Wirjo, warga justru mendapati tubuh Mbok Suwendah, 73 tahun, dan Mbah Taman, 75 tahun, sudah tergeletak tanpa nyawa. Kedua korban mengalami luka menganga di lehernya dan nyaris putus. Akhirnya penduduk sibuk mengurus tubuh-tubuh korban yang bergelimpangan di tanah.

Sementara itu, Wirjo terus membabi buta mencari sasaran lainnya. Dia bertemu dengan Djami, anggota Keamanan Rakyat (Kamra), di depan rumahnya. “Wir, ono paran (ada apa)?” tanya Djami kepada Wirjo. Bukannya mendapat jawaban, Djami pun tak luput diserang Wirjo. Djami, yang dikenal pintar silat, menangkis serangan Wirjo. Tapi sayang, dua jari tangan Djami putus ketika menangkis celurit Wirjo.

Korban kekejaman Wirjo mencapai 32 orang, 18 di antaranya tewas.
Ilustrator: Edi Wahyono/detikcom

Djami mengambil langkah seribu, meminta bantuan. Saat itu, beberapa polisi yang sudah menerima laporan mulai berdatangan. Mereka menemukan korban lainnya bergelimpangan sudah menjadi mayat. Di antaranya korban yang ditemukan tewas adalah Mak Buang (50), Sumo (65), Rohayah dan Sueb (50), Samirah (40), Supijah (45), Saniah (40), Asri (60), Asmui (55), dan Asmai (28). Seluruh korban dibantai Wirjo di persawahan.

Sebanyak 14 korban lainnya yang mengalami luka-luka langsung dievakuasi ke rumah sakit. Aparat keamanan dibantu warga terus mencari keberadaan Wirjo hingga malam hari. Mereka menggunakan obor sebagai alat penerangan menyusuri area persawahan dan hutan di perkampungan. Keesokan harinya, Kamis, 16 April 1987, tim gabungan dan warga akhirnya menemukan Wirjo di Desa Concrong, Kecamatan Giri, atau tak jauh dari objek wisata Osing.

Tapi Wirjo ditemukan sudah menjadi mayat. Wirjo kendat alias bunuh diri dengan cara gantung diri. Leher Wirjo terlilit kain setagen (ikat pinggang wanita) di batang pohon setinggi 2,5-3 meter di bibir sungai kecil. Penduduk desa pun lega. Tapi ketakutan masih saja menghantui. Selama beberapa hari desa sangat lengang dan sepi.

Sampai akhirnya aparatur setempat menyebarkan selebaran agar warga tak takut lagi. Di dalam selebaran itu juga diberitahukan bahwa Wirjo sudah mati bunuh diri. Setelah dilakukan visum et repertum, jasad Wirjo dikembalikan kepada keluarganya. Dia dikuburkan di pemakaman keluarga tak jauh dari makam ayahnya. Saat jasad Wirjo dikuburkan, ribuan warga ikut menyaksikannya.

Polisi saat itu menyebutkan latar belakang pembunuhan yang dilakukan Wirjo terkait kondisi kesehatan jiwanya yang labil. Polisi menegaskan pembunuhan itu tidak ada kaitan dengan politik karena saat itu sedang dilaksanakan agenda nasional Pemilihan Umum 1987.

Indirah sangat terpukul atas perbuatan suaminya yang telah membantai 32 orang tetangganya itu. “Bagaimanapun, dia suami saya. Dia memang tekadang kejam. Dia juga mau membunuh saya, tapi saya masih sayang,” ungkap Indirah, yang dinikahi Wirjo pada 1 Juli 1976.

Wirjo, selain berencana membunuh istrinya, juga ingin membunuh ibu kandungnya, Dasmih, serta saudara-saudaranya yang lain. Indirah menjelaskan, suaminya itu selalu mengeluh soal pembagian harta warisan orang tuanya yang dianggap tak adil. Ketidakadilan itu karena ulahnya sendiri yang suka mabuk-mabukan dan berjudi.

“Kalau dia diingatkan, dia marah, mengancam, mengeluarkan celurit,” ucapnya. Bahkan, sehari sebelum pembantaian tersebut, Wirjo memukuli Indirah hingga babak belur. Indira lalu kabur ke rumah orang tuanya yang tinggal di kampung berbeda.  


Reporter: Abdurrobby Rahmadi
Redaktur: M. Rizal Maslan
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE