INTERMESO

Tolong Rohingya

“Mereka menyeretku ke dalam rumah. Mereka menyobek bajuku dan merenggut kerudungku.”

Anak-anak Rohingya di Maugndaw, Negara Bagian Rakhine, Myanmar, pada 27 Oktober 2016
Foto: Reuters

Selasa, 22 November 2016

Mereka tak diberi kesempatan untuk berkemas. Di bawah todongan senjata tentara, hanya selembar nyawa dan baju di badan yang mereka bawa saat bergegas meninggalkan Kampung Kyee Kan Pyin di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, akhir Oktober lalu.

“Sekarang aku tak punya rumah…. Mereka mengusirku dari rumahku sendiri kemarin siang. Sekarang aku bersama keluargaku dan sekitar 200 orang Rohingya tinggal di tengah sawah,” kata seorang warga Kyee Kan Pyin kepada Reuters beberapa pekan lalu. Tentara Myanmar tak memberinya pilihan selain buru-buru angkat kaki dari rumahnya. “Mereka bilang, jika kami semua tak meninggalkan kampung itu, kami akan ditembak.”

Rakhine, rumah bagi lebih dari sejuta keturunan Rohingya, kembali membara setelah sekelompok bersenjata menyerbu tiga pos polisi perbatasan Myanmar dengan Bangladesh pada 9 Oktober lalu. Sembilan polisi tewas. Belum terang apa buktinya, militer Myanmar kontan menunjuk hidung kelompok militan Rohingya sebagai pelaku penyerangan.

Buntut dari penyerangan itu, tentara Myanmar diterjunkan ke Maungdaw, menyapu kampung demi kampung Rohingya, dengan dalih memburu pelaku. Wartawan dan pekerja sosial tak diperkenankan masuk ke Maungdaw, yang kini menjadi “zona operasi militer”. Lewat citra satelit, lembaga pemantau hak asasi manusia, Human Rights Watch, mengamati bagaimana dusun-dusun Rohingya yang dilewati tentara hangus dibakar.

Anak-anak mengumpulkan puing dari pasar yang dibakar di perkampungan Rohingya di Maugndaw, Negara Bagian Rakhine, Myanmar, pada 27 Oktober 2016.
Foto: Reuters

Tak masuk akal para prajurit memperkosa perempuan di tengah desa besar dengan 800 rumah."

Juru bicara Presiden Myanmar, Zaw Htay

“Citra satelit ini tak hanya menjadi bukti penghancuran kampung-kampung, tapi juga menunjukkan pembakaran itu lebih besar ketimbang yang kita sangka,” kata Brad Adams, Direktur Asia di Human Rights Watch. Dari tiga desa di Maungdaw yang terpantau satelit, yakni Ngar Sar Kyu, Kyet Yoe Pyin, dan Kyee Kan Pyin, mereka menghitung ada 430 rumah yang ludes menjadi abu.

Pembakaran tiga kampung itu menebarkan ketakutan di antara warga kampung Rohingya lainnya. Muslim Rohingya di kampung lain harap-harap cemas lantaran hanya soal waktu saja para prajurit itu bakal singgah di kampungnya. “Petugas pemerintah sudah datang memberi peringatan soal kedatangan tentara yang membakar rumah-rumah penduduk,” kata Maung Soe, kepada Al-Jazeera.

Pilihan bagi keturunan Rohingya barangkali hanya tiga: memaksa diri bertahan di rumahnya, lari ke pengungsian, atau menyeberang ke negara tetangga, Bangladesh. Letnan Kolonel Anwarul Azim, komandan salah satu pos perbatasan Bangladesh, mengatakan mereka telah mengusir dua rombongan besar pelarian Rohingya pada 15 November lalu.

“Mereka berusaha menyeberang dengan menggunakan dua perahu besar,” kata Letnan Kolonel Anwarul kepada Reuters. Pasukan penjaga perbatasan Bangladesh sudah menambah jumlah personel untuk mengantisipasi banjir pengungsi Rohingya dari Myanmar.

Sejak penyerangan pos perbatasan pada 9 Oktober lalu, menurut versi militer Myanmar, sudah ada 102 orang Rohingya yang tewas ditembak tentara. Dari pihak tentara dan polisi, ada puluhan personel yang jadi korban. Sulit untuk memastikan kebenaran pernyataan militer Myanmar bahwa warga Rohingya yang mati ditembak itu merupakan kelompok “teroris” lantaran akses ke Maungdaw masih tertutup rapat untuk wartawan.

Keturunan Rohingya di pengungsian di luar Kota Sittwe, Negara Bagian Rakhine, Myanmar, pada 15 November 2016.
Foto: Reuters


Derita Rohingya–sebagian besar beragama Islam–lengkap sudah. Terlunta-lunta diusir dari rumahnya dan sebagian perempuan mengaku diperkosa oleh tentara Myanmar. Delapan perempuan Rohingya dari kampung U She Kya mengaku diperkosa setelah tentara datang menggeledah rumah mereka.

“Mereka menyeretku ke dalam rumah. Mereka menyobek bajuku dan merenggut kerudungku,” seorang perempuan, 40 tahun, menuturkan perbuatan biadab tentara Myanmar kepada Reuters. “Dua prajurit memegang tanganku. Satu orang menjambak rambutku dari belakang…. Kemudian mereka memperkosaku.”

Seorang perempuan lain, 30 tahun, juga mengalami perlakuan serupa. “Mereka bilang, 'Kami akan membunuhmu. Kami tak akan membiarkan kalian tinggal di negara ini,'” perempuan itu menirukan ancaman prajurit Myanmar. Bukan hanya memperkosa para perempuan, tak ada beda dengan perampok, para prajurit itu juga merampas perhiasan dan harta benda berharga lain.

Zaw Htay, juru bicara Presiden Myanmar Htin Kyaw, tak percaya dengan kabar pemerkosaan itu. “Tak masuk akal para prajurit memperkosa perempuan di tengah desa besar dengan 800 rumah dan menjadi persembunyian pemberontak,” kata Zaw Htay. Kepala Kepolisian Negara Bagian Rakhine Kolonel Sein Lwin malah menuding kabar itu hanyalah “propaganda kelompok muslim”.

* * *

Ada sekitar 1,3 juta keturunan Rohingya di Myanmar dan leluhur mereka sudah ratusan tahun tinggal di Myanmar, namun Rohingya tak pernah benar-benar diterima di tanah kelahirannya sendiri. Rohingya tak termasuk di antara 135 suku yang diakui pemerintah Myanmar.

Seorang laki-laki Rohingya menunjukkan luka bekas penganiayaan tentara Myanmar di Maugndaw, Rakhine, pada 27 Oktober 2016.
Foto: Reuters

Tak mungkin hidup bersama kelompok muslim karena mereka terus menginvasi dan merebut tanah kami.”

Kyaw Min, warga Maungdaw   

Dalam sensus penduduk pada Maret 2014, pemerintah Myanmar menyebut mereka keturunan Bengali dan mengharamkan penggunaan sebutan Rohingya. Istilah Bengali ini biasa dipakai pemerintah Burma bagi para imigran gelap dari Bangladesh. “Jika satu keluarga ngotot didaftarkan sebagai Rohingya, kami tak akan mencatatnya,” kata Ye Htut, juru bicara pemerintah, kala itu. Tak diakui sebagai penduduk, jutaan muslim Rohingya kehilangan suara.

Sudah lama ada “api” di antara muslim Rohingya dan penganut Buddha di Myanmar. Biarawan Buddha garis keras acap meniupkan isu bahwa orang-orang Rohingya berniat merebut tanah dan pekerjaan mereka. Tak sedikit yang termakan “propaganda” anti-Rohingya ini. “Tak mungkin hidup bersama kelompok muslim karena mereka terus menginvasi dan merebut tanah kami,” kata Kyaw Win, warga Maungdaw.

Bermula dari pertengkaran sporadis warga muslim Rohingya dengan mayoritas suku Rakhine beragama Buddha di Kota Sittwe pada pertengahan 2012, konflik itu meluas ke pelbagai daerah di Myanmar. Ribuan keluarga minoritas muslim Rohingya terusir dari kampungnya dan sampai hari ini terpaksa tinggal di pengungsian. Hidup mereka terancam dan tak bebas bergerak. Hak mereka dilucuti habis-habisan.

Semula mereka berharap kemenangan Aung San Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional Demokrasi, dalam pemilihan umum setahun lalu akan mengubah nasib Rohingya. Tapi setahun sudah dan harapan itu mulai memudar. “Situasinya sangat buruk di sini,” kata Kyaw Hla Aung, 70 tahun, pemuka penampungan Rohingya di Kota Sittwe, kepada Guardian.

Sudah empat tahun mereka tinggal dalam kampung penampungan dan hidup dalam pengawasan ketat. “Banyak remaja tumbuh dewasa dan tak bisa mengerjakan apa-apa,” ujar Kyaw Hla. Orang tua itu sudah berkali-kali dijebloskan penguasa Myanmar ke penjara. Tapi kali ini dia cemas melihat apa yang terjadi dengan saudara-saudaranya di Maungdaw, hanya puluhan kilometer dari Sittwe. “Tentara sudah datang ke sini, memperingatkan semua orang supaya tak menyembunyikan orang asing.”

Seperti biasa, Suu Kyi, yang kini menjabat Penasehat Negara Myanmar, lebih banyak membisu soal nasib orang-orang Rohingya. “Situasi di Rakhine sangat pelik dan harus sangat hati-hati menyikapinya,” kata Suu Kyi, tanpa menjelaskan apa yang akan dia lakukan untuk menangasi masalah Rohingya.  “Kami tak berniat menyembunyikan sesuatu di sana…. Kami ingin mengenali dulu akar masalahnya.”

Aung San Suu Kyi, Penasehat Negara Myanmar, di Kota Yangon, pada Juli 2016.
Foto: Reuters


Alih-alih mengusut kasus di Maungdaw sampai tuntas, Kepolisian Rakhine malah berniat mempersenjatai kelompok non-Rohingya di Maungdaw dan sekitarnya dengan dalih untuk membela diri. Hanya warga negara Myanmar, menurut Min Aung, anggota parlemen Rakhine, yang boleh menjadi tenaga keamanan partikelir ini. Dus, Rohingya, yang tak dianggap warga negara Myanmar, tak akan bisa bergabung.

Matthew Smith, Direktur Fortify Rights, berpendapat, rencana mempersenjatai kelompok non-Rohingya ini hanya akan membuat situasi di Rakhine makin berbahaya. “Sungguh disayangkan pemerintah berpendapat cara seperti ini menjadi solusi masalah keamanan,“ kata Matthew.

Komentar sejumlah pejabat Myanmar juga malah seperti mengipasi “bara” sentimen anti-Rohingya. Kyaw Swe, Menteri Dalam Negeri Myanmar, meminta kelompok Buddha yang sempat mengungsi gara-gara meletusnya kekerasan di Maungdaw segera kembali ke rumahnya.

“Jika kalian pergi, orang-orang itu akan menduduki tempat kalian. Aku tak ingin hal itu terjadi,” dia menunjuk pada kelompok Rohingya. “Bagi kita, satu laki-laki hanya menikah dengan satu perempuan. Laki-laki mereka bisa menikahi empat perempuan. Jika satu perempuan melahirkan 10 anak, maka akan ada 40 anak dalam satu keluarga.”


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE