INTERMESO
“Bangsa ini milik semua orang, bukan hanya satu atau dua tokoh. Masalah ini terjadi lantaran kita tak berbicara satu dengan yang lain.”
Ketika resmi dinobatkan sebagai Raja Thailand pada 5 Mei 1950, Bhumibol Adulyadej hanyalah “anak kemarin sore”. Bhumibol, kala itu 23 tahun, baru pulang kuliah dari Universitas Lausanne, Swiss. Pemuda itu naik takhta tak terduga setelah kakaknya, Raja Ananda Mahidol, tewas tertembak pada Juni 1946.
Di Swiss, negara yang jadi rumahnya selama bertahun-tahun, Bhumibol belajar ilmu politik dan hukum. Tapi, di depan Plaek Phibunsongkhram, jenderal yang berkuasa di Thailand sejak 1938, raja muda itu bak anak ingusan yang masih miskin pengalaman.
“Saat aku membuka mulut dan menyarankan sesuatu, mereka akan mengatakan, ‘Yang Mulia, Anda tak tahu apa-apa,’” Raja Bhumibol, dikutip New York Times, mengenang masa-masa awal kekuasaannya. “Jadi aku tutup mulut. Aku paham banyak hal, tapi aku diam saja. Mereka menyuruhku tutup mulut, jadi aku mengunci mulutku.”
Jenderal Phibun merupakan salah satu tokoh di balik Revolusi 1932, yang melucuti kekuasaan absolut Kerajaan Siam, yang belakangan bersalin nama menjadi Thailand. Tak aneh jika Jenderal Phibun tak pernah akrab dengan Raja Bhumibol. Justru dia bersaing dengan Raja Bhumibol untuk memperebutkan simpati rakyat Thailand.
“Tak mengejutkan lagi jika Jenderal Phibun memandang Raja seperti itu,” kata pengamat politik Suchit Bunbongkarn, dikutip Nicholas Grossman dalam bukunya, King Bhumibol Adulyadej: A Life's Work. Tapi Jenderal Phibun terlalu meremehkan raja yang masih belia itu. Bersama permaisurinya, Ratu Sirikit, Raja Bhumibol cepat sekali merebut hati rakyatnya, terutama setelah Jenderal Phibun tergusur dari Bangkok.
Antrean warga Thailand yang hendak menyampaikan penghormatan terakhir kepada Raja Bhumibol mengular di depan Grand Palace, Bangkok, Kamis, 13 Oktober 2016.
Foto: Reuters
Saat aku membuka mulut dan menyarankan sesuatu, mereka akan mengatakan, ‘Yang Mulia, Anda tak tahu apa-apa.’”
Raja Bhumibol Adulyadej, pada awal naik takhtaTanpa kenal lelah, dia berkeliling dari desa ke desa, dari provinsi ke provinsi. Kefasihan Raja Bhumibol dalam bercakap dalam bahasa Prancis dan Inggris menjadi modal besar saat dia dan Ratu Sirikit melawat ke luar negeri untuk “menjual” nama Thailand. Sepanjang tahun 1960, Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit berkunjung ke puluhan negara. Praktis lebih dari separuh waktunya mereka habiskan di negeri orang.
“Tujuan Yang Mulia melawat ke banyak negara adalah untuk memperkenalkan nama Thailand,” kata Thanat Khoman, Menteri Luar Negeri Thailand, kala itu. Sejak akhir 1960-an, Raja Bhumibol mulai mengurangi lawatannya ke luar negeri dan mengalihkan sebagian besar waktunya untuk mengunjungi seluruh pelosok Thailand. Dalam setahun, hanya sekitar empat bulan Raja Bhumibol dan keluarganya ada di istananya di Bangkok.
Kadang, perjalanan Raja Bhumibol membuat komandan pengawalnya pusing tujuh keliling. Vasit Dejkunjorn, Komandan Pengawal Raja, pada akhir 1960-an mengenang bagaimana mereka harus jungkir balik mengamankan Raja saat mengunjungi satu perkebunan kopi di tengah hutan dengan berjalan kaki. Perkebunan kopi itu merupakan proyek percontohan di lahan bekas ladang opium.
* * *
Raja Bhumibol bukan “raja di menara gading”. Bahkan tak jarang dia membela rakyat kecil, tak segan pula mengkritik kebijakan pemerintah di Bangkok. Misalnya dalam soal hak rakyat atas hutan setelah pemerintah Thailand menerbitkan peraturan baru soal hutan pada 1973.
Seorang warga Thailand menjunjung tinggi foto Raja Bhumibol Adulyadej, Kamis 13 Oktober 2016.
Foto: Reuters
Raja Bhumibol
Foto: Departemen Komunikasi Thailand via Channel News Asia
Raja Bhumibol
Foto: Departemen Komunikasi Thailand via Channel News Asia
Dalam kasus tersebut, Raja Bhumibol mengkritik peraturan pemerintah yang dianggapnya melanggar hak rakyat atas hutan yang sudah mereka tempati jauh sebelum ada peraturan itu. “Dalam kasus ini, pemerintahlah yang melanggar hak rakyat, bukan rakyat yang melanggar hukum,” kata Raja Bhumibol, dikutip dalam buku King Bhumibol Adulyadej: A Life's Work.
Tak mengherankan jika rakyat Thailand cinta mati kepada rajanya. Saat Raja Bhumibol gering, mereka berdoa untuknya. Ketika Raja Bhumibol keluar dari rumah sakit dengan mengenakan baju merah jambu, warna itu segera jadi “baju kebangsaan” rakyat Thailand. “Mengenakan baju merah jambu membawa keberuntungan bagi Raja. Aku tak ingin Raja Bhumibol sakit…. Aku menyayangi Raja. Aku berharap dia bisa jadi Raja Thailand selamanya,” kata Rose Tarin asal Bangkok kepada Washington Post.
Loyalitas dan kecintaan rakyatnya inilah yang “menyelamatkan” Raja Bhumibol selama 70 tahun duduk di singgasana, melewati belasan kali kudeta, kerusuhan, dan badai politik di Bangkok. Pada Oktober 1973, ratusan ribu mahasiswa dan rakyat Thailand turun ke jalan menuntut Perdana Menteri Thanom Kittikachorn lengser.
Thanom menolak turun, dan malah mengirimkan prajuritnya untuk membubarkan protes. Bentrok tak terhindarkan. Raja Bhumibol membuka gerbang Istana Chitralada untuk menyelamatkan para mahasiswa yang dikejar tentara. Untuk meredam krisis, Raja Bhumibol meminta Perdana Menteri Thanom; anaknya, Kolonel Narong; dan mertua Narong, Jenderal Praphas Charusathien—ketiga orang ini disebut sebagai Tiga Tiran—mundur dan mengasingkan diri ke luar negeri.
Raja meminta Sanya Dharmasakti, profesor hukum di Universitas Thammasat, menjadi perdana menteri. “Raja mengatakan, menjadi tugasku untuk menghapus kepulan mesiu dan bau darah secepat yang aku bisa,” kata Sanya.
Dua puluh tahun kemudian, Raja Bhumibol kembali jadi juru damai di negerinya. Pada Mei 1992, suhu politik di Bangkok mendekati titik didih saat ribuan warga yang turun ke jalan menuntut Perdana Menteri Suchinda Kraprayoon mundur dihadang dengan tembakan peluru tajam. Lebih dari 50 orang tewas ditembak tentara. Raja meminta Suchinda dan lawan politiknya, Chamlong Srimuang, menghadap ke istana.
“Bangsa ini milik semua orang, bukan hanya satu atau dua tokoh. Masalah ini terjadi lantaran kita tak berbicara satu dengan yang lain.... Lahir dari kehausan akan darah,” Raja Bhumibol mengingatkan. “Tak akan ada yang menang, semua orang jadi pecundang. Atas dasar apa kalian mengklaim sebagai pemenang saat berdiri di atas puing dan reruntuhan?”
Lewat dari pasang politik, datang badai ekonomi. Pada 1998, mata uang Thailand, disusul mata uang negara-negara di Asia, rontok. Negara-negara yang semula diramal bakal jadi “macan” Asia itu terjerembap. Pabrik-pabrik gulung tikar, ribuan orang kehilangan pekerjaan. Raja Bhumibol tampil untuk menenangkan rakyatnya yang tengah kesusahan.
“Orang-orang begitu terobsesi menjadi macan. Padahal tak ada pentingnya menjadi macan…. Lebih penting bagi kita adalah memiliki ekonomi yang memadai. Memiliki mesin ekonomi yang mampu menghidupi kita,” Raja Bhumibol berpidato, hampir 20 tahun lalu. Krisis, menurut Raja Bhumibol, justru jadi kesempatan untuk memperbaiki diri. “Langkah mundur harus diambil… langkah mundur sebagai bekal kita untuk maju.”
Rakyat Thailand memperlakukan rajanya seolah-olah dia seorang “dewa”. Dengan modal pengaruhnya yang sangat besar, Raja Bhumibol sebenarnya bisa menutup telinga dari kritik dan membungkam suara-suara sumbang kepadanya. Tapi dia malah membuka diri untuk kritik.
“Keyakinan bahwa Raja tak bisa salah justru merupakan penghinaan bagi Raja. Bagaimana Raja tak bisa salah? Dengan mengatakan bahwa Raja tak mungkin salah, berarti menganggapnya bukan manusia,” kata Raja Bhumibol, dikutip Channel News Asia. “Aku tak pernah memenjarakan orang yang melawanku. Jika mereka memenjarakan orang yang menghinaku, aku akan mengampuninya.”
Kemarin, Raja Bhumibol yang dicintai rakyatnya itu mangkat pada usia 88 tahun. Seluruh Thailand meratap. "Dia adalah hati bagi bangsa ini.....Aku seolah-olah kehilangan ayahku sendiri," kata Suthad Kongyeam, pegawai kantor pemerintah, kepada Reuters.
Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.