INTERMESO
Pemikiran Eduard Douwes Dekker dalam novel Max Havelaar masih sangat relevan dengan kondisi kekinian Indonesia. Di era Reformasi, korupsi dan ketidakadilan kian merajalela.
Ilustrasi: Edi Wahyono
Senin, 19 September 2016
Belum genap sebulan memegang jabatan Asisten Residen Banten untuk Lebak, Eduard Douwes Dekker mengirim surat kepada Residen Banten Brest van Kempen di Serang. Surat bertanggal 24 Februari 1856 itu dikategorikan rahasia dan dikirimkan secara ekspres dari Rangkasbitung. "Sudilah kiranya Tuan memerintahkan saya untuk melakukan penahanan sementara atas diri Demang Parungkujang," tulis Eduard. Demang Parungkujang, yang bernama Raden Wirakusuma, merupakan menantu Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara.
Eduard juga menuduh Bupati Natanegara menyalahgunakan kekuasaan dan melakukan penindasan dengan meminta paksa hasil bumi kepada penduduk tanpa ganti rugi atau dengan harga yang sangat rendah yang ditentukannya sendiri. Bupati juga mempekerjakan penduduk secara sewenang-wenang untuk kepentingannya sendiri. "Saya menerima laporan bahwa rakyat kecil sudah terlalu pusing akibat penindasan dan sudah lama mengharapkan adanya pertolongan." Surat Dekker itu kemudian dimuat dalam buku berjudul De Man van Lebak, yang ditulis Du Perron.
Karya Multatuli menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Belanda dan membawa pengaruh besar bagi pandangan generasi muda serta kaum progresif di negeri itu."
Sejarawan Harry A. PoezeSejarawan asal Belanda, Harry A. Poeze
Foto: Sudrajat/detikX
Respons Kempen ternyata tak sesuai dengan harapan Dekker. Hasil penyelidikan Dekker atas tindak tanduk para pembesar pribumi dinilai sembrono, tanpa pertimbangan, dan tergesa-gesa. Dekker dianggap amtenar tak berpengalaman yang ingin menjatuhkan martabat pembesar pribumi ternama dan paling disegani di wilayah Karesidenan Banten. Kempen bahkan memuji kinerja Bupati Natanegara sebagai yang terbaik.
Kecewa terhadap sikap Kempen, Dekker mengirimkan laporan resmi kepada Gubernur Jenderal Duymaer van Twist pada 29 Februari 1856. Tepat sebulan kemudian, Dekker mendapat balasan. Sikap Twist tak jauh berbeda. Dekker bahkan kena marah habis-habisan. Bukan hanya itu, ia diberhentikan dari kedudukannya dan dipindahkan ke Ngawi, Jawa Timur, dengan pangkat yang lebih rendah.
Tak puas terhadap keputusan tersebut, Dekker minta diadili. Ia juga mengambil keputusan tidak pindah ke Ngawi dan memilih mengundurkan diri dari dinas negara. Jauh di kemudian hari, Menteri Daerah Jajahan S. Hasselman menguak hubungan rahasia Kempen dengan Bupati Natanegara. Hasselman, yang pernah bertugas sebagai Asisten Residen Pandeglang sebelum Dekker bertugas di Lebak, mengungkap, bupati selalu mencarikan perempuan cantik untuk Kempen. "Itulah sebabnya Kempen tidak segan-segan mengorbankan teman sekerjanya untuk menghindarkan bupati dari tuduhan," tulis Ubaidilah Moechtar dalam bukunya, Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Kebenaran dan Keadilan.
Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya, Gubernur Banten Rano Karno, dan sejarawan muda asal Banten Bonnie Triyana
Foto: Pasti Liberti Mappapa/detikX
Setahun kemudian, tepatnya 3 April 1857, Dekker kembali ke Eropa melalui Surabaya sebagai penganggur. Istrinya, Everdine Huberte van Wijnbergen atau Tine, yang sedang mengandung, ditinggalkan sementara di Rembang, Jawa Tengah. Dekker tinggal di sebuah losmen kecil murah di Brussel, Belgia, dalam keadaan melarat karena tak kunjung mendapat pekerjaan. Hanya bakat menulis yang tersisa padanya. Seluruh kejengkelannya di Lebak dia tumpahkan pada novel yang ditulisnya dalam waktu tiga minggu saja, dari 17 September hingga 3 November 1859.
Dekker memberi judul Max Havelaar untuk novelnya itu. Havelaar merupakan tokoh utama dalam novel sekaligus representasi dirinya. Namun ia sendiri menulis dengan nama pena Multatuli, yang memiliki arti “aku telah banyak menderita”. Sejarawan Harry Poeze mengatakan, di Belanda Multatuli dinilai sebagai sastrawan ternama, sementara novelnya dipandang sebagai karya sastra Belanda terbesar. "Pernah ada pemilihan untuk menentukan buku apa yang paling penting dalam sastra dan sejarah Belanda, dan pilihan jatuh pada buku Multatuli itu," ujar Poeze kepada detikX seusai simposium bertema "Para Pembongkar Kejahatan Kolonial: Dari Multatuli sampai Sukarno” di Museum Nasional, Jakarta, Sabtu, 17 September 2016.
Karya Multatuli itu pun menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah Belanda. Hal itu, kata Poeze, membawa pengaruh besar bagi pandangan generasi muda dan kaum progresif di Belanda. "Kaum muda Belanda yang ditugaskan ke Hindia Belanda banyak yang terinspirasi tulisan Multatuli."
* * *
Nama Multatuli diabadikan sebagai nama jalan di Lebak, Banten
Foto: Agung Pambudhy/detikcom
Kisah Multatuli seharusnya bukan sekadar jadi pelajaran sejarah singkat di pendidikan dasar. Para pemimpin negeri dan anggota DPR pun harus disegarkan ingatannya melalui novel Max Havelaar."
Cendekiawan Daniel DhakidaeEduard Douwes Dekker dilahirkan pada 2 Maret 1820 di Amsterdam sebagai anak seorang nakhoda kapal dagang. Saat usianya 18 tahun, ia ikut kapal ayahnya berlayar ke Hindia Belanda dan tiba di Batavia pada 4 Januari 1839. Dekker mendapat pekerjaan sebagai juru tulis pada Algemene Rekenkamer. Setahun kemudian dipromosikan ke Sumatera Barat untuk menjadi kontrolir atau pengawas, yang setingkat di bawah asisten residen. Ia sempat berpindah-pindah tugas dari Karawang, Jawa Barat; Purworejo, Jawa Tengah; Manado, Sulawesi Utara; sampai Ambon, Maluku; kemudian di Lebak pada Januari 1856.
Dekker masuk Lebak dalam kondisi masyarakat Lebak sangat melarat. Penderitaan mereka semakin berat dengan peraturan rodi dan tanam paksa. Pembesar pribumi dengan leluasa merampas ternak penduduk dan mempekerjakan mereka tanpa upah. Cendekiawan ilmu sosial-politik Daniel Dhakidae menyatakan pemikiran Multatuli atau Dekker yang tertuang dalam novelnya masih sangat relevan dengan kondisi kekinian Indonesia. Pertama dalam hal korupsi. "Koruptor itu tidak mempedulikan asal kekayaannya dari mana. Persis dengan sosok pembesar yang digambarkan dalam novel itu," kata Daniel saat memaparkan pemikirannya terkait Multatuli dalam simposium "Para Pembongkar Kejahatan Kolonial".
Lantas, kata penulis buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru itu, relevansinya pada persoalan ketidakadilan. Pasca-Reformasi, ketimpangan justru semakin meluas. Bank Dunia pada 8 Desember 2015 melansir laporan berjudul “Indonesia's Rising Divide” yang memaparkan ketimpangan kesejahteraan di Indonesia semakin lebar dan bergerak cepat. Dari segi kekayaan, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 77 persen kekayaan di negeri ini. Lalu 1 persen orang terkaya tersebut menguasai 50,3 persen kekayaan bangsa ini. "Segelintir orang kaya menguasai aset nasional, ini bahaya," ujar doktor ilmu politik Cornell University itu.
Daniel Dhakidae saat berbicara dalam simposium "Para Pembongkar Kejahatan Kolonial: Dari Multatuli sampaiSukarno” di Museum Nasional, Sabtu, 17 September 2016.
Foto: Sudrajat/detikX
Karena itu, menurut bekas Wakil Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial tersebut, kisah Multatuli seharusnya bukan sekadar jadi pelajaran sejarah singkat di pendidikan dasar. Pemimpin-pemimpin negeri ini pun harus disegarkan ingatannya melalui novel Max Havelaar. "Harus dibaca di Senayan. Minta satu per satu anggota DPR untuk membaca," kata Daniel.
Sementara itu, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, menilai Sukarno punya peran yang mirip dengan Dekker, yakni membongkar kejahatan kolonial. Hanya, nasib Sukarno lebih tragis dibanding Dekker karena dia meninggal dalam status tahanan rumah tanpa perawatan kesehatan yang memadai. Upacara pemakaman sang Proklamator pun hanya dipimpin oleh Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban 1969-1973, yakni Jenderal M. Panggabean.
Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.