INTERMESO
Pemerintah Lebak kesulitan merekonstruksi rumah bekas Multatuli untuk dijadikan museum. Rumah sakit akan dipindah, digantikan hotel.
Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya menerima litografi wajah Multatuli dari Winnie Sorgdrager, Ketua Perkumpulan Multatuli.
Foto: Bonnie Triyana/historia
"Rumah Multatuli, apa, ya...," kata petugas keamanan Rumah Sakit Umum Daerah Adjidarmo, Rangkasbitung, Lebak, Banten. Ia bingung saat ditanya mengenai posisi bangunan tersebut, yang berada di dalam kawasan rumah sakit. Ia baru sadar tatkala kepadanya diperlihatkan sebuah foto bangunan kosong. "O… cagar budaya," katanya seraya menunjuk ke arah belakang gedung perawatan rumah sakit.
Seperti namanya yang terlupakan, kondisi Rumah Multatuli tak terawat. Letaknya berada di ujung lahan parkir rumah sakit. Dua papan pengumuman bertulisan ”Cagar Budaya Rumah Multatuli” dan ”Peringatan Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya” disandarkan ke tiang karena keropos dimakan karat. Bau pesing kuat tercium ketika pengunjung mendekati bangunan yang menghadap ke arah selatan itu.
Bangunan memiliki dua ruangan utama di sisi timur dan barat dengan luas yang berbeda. Di sisi timur berlantai tegel berbentuk segi 6, sementara sisi barat berlantai keramik baru berwarna putih dengan atap dalam kondisi rusak. Bangunan ini digunakan pihak rumah sakit untuk menyimpan barang-barang tak terpakai, di antaranya ranjang pasien.
Saya pikir Museum Multatuli bisa mengoleksi salinan surat tersebut untuk menunjukkan bahwa Banten pernah berjaya.”
Sejarawan Asvi Warman AdamFoto-foto: Agung Pambudhy/detikcom
Kondisi Rumah Multatuli yang tak terawat di ujung lahan parkir RSUD Adjidarmo, Rangkasbitung, Banten.
Foto: Agung Pambudhy
Kepala Seksi Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan pada Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten Zakaria Kasimin memastikan bangunan tersebut diakui pernah menjadi rumah tinggal Eduard Douwes Dekker, yang memiliki nama samaran Multatuli, saat menjadi Asisten Residen Lebak. Namun hampir seluruh bangunan asli sudah tidak ada lagi. Bangunan yang terlihat sekarang dengan pintu model baru dan jendela kaca serta nako dibuat oleh rumah sakit.
Sekitar tahun 2006, kata Zakaria, pernah dilakukan ekskavasi terbatas atas bangunan tersebut. Dari ekskavasi itu, ditetapkan bahwa bagian asli hanya dinding di sisi timur bangunan, yang kini kondisi temboknya terkelupas dan berlumut di bagian atas. "Hanya tersisa dinding di sisi timur, lainnya tambahan, yang bangun rumah sakit," ujar Zakaria saat dihubungi detikX. Namun ia mengaku tak tahu persis kapan bangunan baru itu didirikan.
Rupanya, ia melanjutkan, bangunan yang sekarang menjadi hak milik RSUD Adjidarmo itu belum ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Statusnya saat ini masih dalam daftar inventarisasi benda cagar budaya. Meski demikian, perlindungan terhadap bangunan tersebut sama seperti bangunan yang sudah dikategorikan cagar budaya. "Kalau mau diapa-apakan, semua harus dengan koordinasi Balai Pelestarian," ujarnya.
Upaya ekskavasi lanjutan dan rekonstruksi untuk menjadikan bangunan tersebut sebagai lokasi wisata sejarah masih harus menunggu kelengkapan data bentuk bangunan asli. Proses akhir rekonstruksi harus serupa dengan bangunan asal. "Kita tidak boleh membuat berdasarkan perkiraan atau imajinasi. Lebih baik dibiarkan begitu saja daripada rekayasa," kata Zakaria. Ia pun meminta Pemerintah Kabupaten Lebak lebih aktif mencari data-data pendukung.
Maket Perpustakaan Saijah-Adinda dan Museum Multatuli
Foto: Pasti Liberti/detikX
Hanya 300 meter dari lokasi Rumah Multatuli, tepatnya sebelah timur alun-alun Kota Rangkasbitung, puluhan pekerja mengebut pemugaran bangunan cagar budaya bekas kediaman Wedana Rangkasbitung. Bangunan yang pernah dipergunakan sebagai kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Lebak itu akan diubah menjadi Museum Multatuli.
Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya mengatakan Museum Multatuli bukan untuk mengultuskan dan mengagung-agungkan tokoh Belanda itu, melainkan untuk mengabadikan jejak Multatuli dalam memperjuangkan kemanusiaan di Lebak semasa menjabat asisten residen. "Sejarah Multatuli adalah semangat kemanusiaan, kita harus mengingat itu," ujar Iti seusai acara simposium bertema “Para Pembongkar Kejahatan Kolonial: Dari Multatuli sampai Sukarno” di Museum Nasional, Jakarta, Sabtu, 17 September 2016.
Multatuli mengambil inisiatif terdepan untuk menyuarakan kegelisahan dan protesnya terhadap nepotisme dan kezaliman yang dilakukan oleh penguasa lokal ketika itu."
Gubernur Banten Rano KarnoMuseum yang berdiri di atas lahan 2.200 meter persegi itu akan terintegrasi dengan gedung Perpustakaan Saijah-Adinda, yang berada di sisi kanannya. Saijah dan Adinda merupakan dua tokoh yang disebut dalam salah satu bagian novel Max Havelaar yang ditulis Multatuli. Perpustakaan berlantai tiga yang juga dalam proses pembangunan direncanakan selesai berbarengan dengan pembangunan museum pada Desember 2016, tepat pada hari ulang tahun ke-188 Kabupaten Lebak. Kedua proyek ini menghabiskan anggaran hampir Rp 17 miliar.
Akhir April 2016, Bupati Iti berada di Belanda untuk menerima sejumlah benda bersejarah yang berkaitan dengan Multatuli dari Ketua Perkumpulan Multatuli Belanda Winnie Sorgdrager. Beberapa di antaranya litografi wajah Multatuli yang dibuat oleh Douwes Dekker sendiri, buku Max Havelaar terjemahan Prancis yang terbit pertama pada 1872, dan sepasang tegel berwarna hitam-putih. "Artefak-artefak itu nantinya akan mengisi museum," kata Iti. Bukan hanya itu, Perhimpunan Multatuli juga mengupayakan menyumbangkan buku untuk Perpustakaan Saijah-Adinda. Patung Multatuli juga akan menghiasi museum. Rencananya, patung dibuat seniman Dolorosa Sinaga.
Perpustakaan Saijah-Adinda dalam proses pembangunan
Foto: Pasti Liberti/detikX
Dalam simposium itu, sejarawan Asvi Warman Adam mengusulkan agar pemerintah Lebak meminta dokumentasi surat pengusaha asal Banten kepada koleganya di Denmark pada masa Kesultanan Banten. Surat itu kini tersimpan di museum di Kota Kopenhagen, ibu kota Denmark. “Saya pikir Museum Multatuli bisa mengoleksi salinan surat tersebut untuk menunjukkan bahwa Banten pernah berjaya,” ujarnya.
Sementara itu, soal Rumah Multatuli, Iti mengaku pemerintah tak melupakannya. Sejumlah pakar dari beberapa perguruan tinggi dan sejarawan terus mendesaknya untuk merestorasi bangunan tersebut. "Sayangnya, tinggal tembok sebidang saja, nanti kita minta masukan dari sejarawan, (itu) akan diapakan," kata Iti. Menurut dia, tak mudah merekonstruksi bangunan tersebut. Selain persoalan data bangunan, posisinya yang berada dalam kawasan rumah sakit akan mempersulit prosesnya. "Alternatifnya mungkin rumah sakit dipindahkan, lalu diganti dengan hotel agar kawasannya nyambung."
Gubernur Banten Rano Karno menyokong penuh pembangunan museum tersebut. Multatuli, kata dia, telah mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa membela kemanusiaan adalah sikap dasar yang akan muncul dari akal sehat dan nurani yang waras. Menurut Rano, sikap Multatuli yang menyuarakan kegelisahan dan protes terhadap kezaliman patut dijadikan teladan oleh seluruh masyarakat.
"Multatuli sebagai seorang Belanda justru mengambil inisiatif terdepan untuk menyuarakan kegelisahan dan protesnya terhadap nepotisme dan kezaliman yang dilakukan oleh penguasa lokal ketika itu yang direstui oleh pemerintah Hindia Belanda," ujarnya.
Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.