Analisis CSIS soal Peta Pilkada Jakarta Usai PKS Buka Opsi Tinggalkan Anies

Analisis CSIS soal Peta Pilkada Jakarta Usai PKS Buka Opsi Tinggalkan Anies

Zunita Putri - detikNews
Kamis, 08 Agu 2024 13:55 WIB
Arya Fernandes CSIS
Foto: Arya Fernandes CSIS (tangkapan layar)
Jakarta -

Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menganalisa mengenai pertarungan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 di lima daerah di pulau Jawa. CSIS berharap tidak ada pasangan calon (paslon) yang melawan kotak kosong pada pilkada kali ini.

Analisa mengenai pertarungan pilkada 2024 di lima daerah itu disampaikan oleh Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes, dalam diskusi bertajuk 'Peta Kompetisi dan Dinamika Pilkada 2024' di Gedung CSIS, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (8/8/2024). Arya awalnya memaparkan data 38 provinsi yang CSIS olah berdasarkan perolehan suara partai. Lima daerah yang dianalisa adalah Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten.

"Kalau kasus Jakarta potensial head to head, meskipun sekarang muncul skenario untuk mendorong satu pasang atau melawan kotak kosong, tentu esensi pilkada itu kompetisi, jadi kalau tidak ada kompetisi tidak menunjukkan contoh atau praktek demokrasi tidak baik. Jadi menurut saya kalau ada skenario partai mendesain pilkada melawan kotak kosong, saya kira sudah kebablasan dan itu tidak menunjukkan semangat bangun demokrasi sehat," ujar Arya dalam diskusi tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Arya mengatakan pilkada Jakarta itu memiliki potensi head to head jika PKS, PKB, NasDem, plus PDIP solid. Dia berharap agar skenario paslon melawan kotak kosong tidak terjadi pada pilkada Jakarta.

"Kalau kita ambil misalnya skenarionya NasDem, PKB, dan PKS, kalau PKS-nya keluar, berarti sisanya PKB-NasDem itu bisa mencalonkan karena 23 kursi, tapi kalau PKB narik diri hanya NasDem nggak bisa nyalon, PDIP kalau bertemu NasDem itu (total perolehan kursi) 25 bisa mencalon. Saya kira kita mendorong agar partai-partai yang belum menentukan calon dalam hal ini tentu PKS, NasDem, PKB, dan PDIP tentunya paling tidak memberikan sinyal akan mendukung siapa, itu penting bagi kita supaya desain calon kotak tunggal bisa diprediksi dengan cepat," ucapnya.

ADVERTISEMENT

Kemudian, daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah juga, menurut Arya berpotensi akan bertarung dua paslon. Sementara untuk Banten, Arya mengatakan akan ada pertarungan Gerindra dengan Golkar.

"Untuk Jabar potensialnya masih terjadi head to head karena KIM sudah deklarasikan Dedi Mulyadi, kemungkinan Dedi Mulyadi versus dengan partai lain, bisa PDIP atau bisa juga di Jawa Barat (dengan) PKS, PKS juga cukup besar 19 kursi," katanya.

"Di Jawa Tengah juga akan head to head KIM cukup solid versus PDIP, Jatim bisa potensial 3 pasang tapi bisa 2 pasang kecuali kalau PKB dan PDIP bisa berkoalisi, jadi akan bertarung Khofifah versus calon PDIP. Kemungkinan Banten head to head antara Gerindra versus Golkar," imbuhnya.

Arya kemudian menyoroti tentang pencalonan pilkada tahun ini. Menurutnya, pencalonan kepala daerah yang dilakukan partai politik tidak melibatkan masyarakat.

"Bahwa kalau kita lihat proses pencalonan lebih banyak dipengaruhi konsensus elite bukan konsensus publik, jadi bagaimana elite mendesain si A maju di sini, si B maju di sini, si C maju di sini, jadi sangat konsesus elite bukan publik. Padahal kalau kita lihat pemilihan DPRD intinya bagaimana masyarakat punya pengaruh atau terlibat di pencalonan kepala daerah, dan kalau dilihat sekarang nggak ada standarisasinya, seseorang dicalonkan partai nggak ada mekanisme jelas, nggak ada kualifikasi jelas, dan tentunya ini saya kira tidak baik juga untuk proses regenerasi dan demokrasi kita," ucap Arya.

Simak juga Video: Anies Baswedan Bicara Dilema Partai Saat Bahas Pendidikan di NasDem

[Gambas:Video 20detik]




Situasi Saat Ini Tidak Ideal

Lebih lanjut, Arya mengatakan situasi pencalonan saat ini tidak ideal. Sebab, syarat pencalonan yang tinggi.

"Kita menghadapi situasi yang tidak ideal, karena pertama, syarat kondisi kita multipartai sementara syarat pencalonan kita tinggi 20 persen. Nah itu membuat nggak banyak partai yang mencalonkan diri. Dalam kondisi seperti ini kita lihat misalnya, kalau kita lihat di 38 provinsi hanya beberapa partai aja yang bisa mencalonkan, nggak lebih dari 5 partai," ungkap Arya.

Selain syarat pencalonan tinggi, menurutnya saat ini partai politik tidak terlalu menyaring calon yang dia usung. Arya menilai seharusnya calon yang diusung partai politik itu dilihat dari berbagai kriteria seperti ideologi dan memiliki ketertarikan yang sama antara calon dengan partai politik itu .

"Misalnya, PDIP itu bisa mencalonkan di 9 provinsi langsung tanpa koalisi, Golkar ada 10, kemudian hanya beberapa partai ada NasDem dan lain-lain. Selebihnya, partai harus berkoalisi, dalam kondisi seperti ini kita harus bayangkan proses koalisi tidak lagi melihat apakah dia sama platform atau tidak, apakah ideologinya sama atau tidak, apakah kandidat yang didukung punya interest sama atau tidak, tapi lebih kepada memenuhi syarat pencalonan saja. Atau mungkin juga proses deal-deal politiknya, pembayaran tiketnya, mahar politiknya. Jadi kita tidak bisa bayangkan suatu kondisi ideal suatu kolisi terbentuk berdasarkan aspek ideal," katanya.

"Mudah-mudahan ini masih ada waktu, ada NGO melakukan judicial review ke MK syarat pencalonan ini, tapi tentu merubah peta, MK tidak mungkin terima juga, tapi paling tidak untuk 5 tahun ke depan kita bisa menurunkan syarat pencalonan ini, mungkin pada titik 10 atau 15 persen, dan juga memberikan ambang batas parlemen di DPRD supaya partainya nggak terlau fragmented juga," sambungnya.

(zap/imk)



Hide Ads