Setelah itu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia juga ikut memberikan pandangan mengenai rencana pertemuan Jokowi dan Megawati. Bahlil mengatakan pemikiran Jokowi dan Megawati tidak bisa disamakan dengan pemikiran Hasto.
Bahlil mengatakan Jokowi dan Megawati merupakan tokoh bangsa yang sama-sama punya tujuan baik untuk negara. Menurutnya, pertemuan itu tak perlu digelar secara grasa-grusu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita berpikirnya kayak gini, Pak Presiden dan Ibu Mega ini kan tokoh bangsa, ya kita lihat aja pasti mereka punya hati yang baik untuk negara. Tak perlu grasa-grusu. Pasti kedua tokoh ini kan mereka bersahabat pasti punya jiwa kenegarawanan yang baik," kata Bahlil kepada wartawan di Jakarta, Kamis (18/4).
Bahlil lantas merespons Hasto yang seolah menolak adanya pertemuan tersebut. Bahlil mengatakan pemikiran kedua tokoh itu tidak bisa disamakan dengan yang tidak pernah jadi presiden.
"Pikiran Bu Mega dan Pak Presiden nggak bisa disamakan dengan pikiran Pak Hasto. Ibu Mega itu Presiden tokoh besar, Pak Jokowi juga Presiden. Masa mau disamain dengan orang yang nggak pernah jadi presiden?" ujarnya.
Bahlil meyakini Jokowi tidak masalah jika bertemu dengan Megawati. Menurutnya, Jokowi selalu terbuka dengan siapa pun.
"Jangan Ibu Mega, yang lain aja nggak ada masalah, kok. Tokoh besar ketemu boleh nggak ada masalah," ujarnya.
Balasan Hasto
Hasto juga telah memberikan balasan soal dirinya yang disebut menjadi penghalang pertemuan antara Megawati dan Jokowi. Hasto mengatakan Megawati memilih bertemu dengan pengurus anak ranting partai terlebih dahulu pada momen lebaran.
"Ya bung Noel kan gak tahu, bagaimana ibu Mega memiliki sikap kenegarawanan dan apakah perlu saya bacakan komentar dari ranting-ranting?" kata Hasto pada wartawan di Markas Front Penyelamat Demokrasi dan Reformasi (F-PDR) di Jalan Diponegoro 72, Jakarta Pusat, Kamis (18/4).
Hasto menjelaskan, jika para pengurus ranting partai menjadi benteng bagi Megawati. Apalagi, dengan sistem kepartaian di PDIP saat ini menghasilkan figur-figur mumpuni yang berlatar belakang rakyat biasa.
"PDI Perjuangan mengadakan sekolah partai, sehingga munculah Eri Cahyadi, yang merintis karir dari ASN, menjadi Wali Kota di Surabaya, muncul Bu Ita menjadi Wali Kota Semarang, Pak Abdullah Azwar Anas jadi Bupati dua periode di Banyuwangi itu dari kalangan rakyat biasa,"ungkapnya.
"Rano Karno dari kalangan artis, tapi punya suatu keberpihakan terhadap budaya bangsa. Bisa menjadi Gubernur. Pak Djarot Saiful Hidayat seorang dosen, bisa jadi Wali Kota Blitar dua periode. Begitu banyak dari kalangan rakyat biasa. Yang bisa jadi kepala daerah," sambungnya.
Hasto juga menyoroti sosok Joko Widodo yang dilahirkan oleh PDIP. Menurutnya, mereka-mereka yang disebutkan saat ini justru sedang terancam.
"Nanti yang jadi pimpinan adalah mereka yang punya uang, mereka yang punya akses, terhadap hukum sehingga hukum bisa dilanjutkan menjadi alat intimidasi, apakah itu yang kita inginkan? Maka ini adalah sisi gelap demokrasi kita yang harus kita selamatkan," ucapnya.
"Maka mengapa ibu Mega sampai menjadi Amicus Curiae, sebagai warga negara Indonesia dan kemudian menulis dengan perasan pikiran agar habis gelap benar benar terbitlah terang," lanjutnya.
Ia menegaskan, jika bertemu anak-anak ranting partai merupakan sebuah kehormatan. Menurutnya, hal itu yang tak diketahui oleh Noel.
"Lho bansos saja dibagi dengan terang-terangan, jadi bertemu anak ranting itu kehormatan. Noel nggak tahu. Bertemu anak ranting PDI Perjuangan itu sumber kekuasaan, dari yang namanya ketua umum DPP PDI Perjuangan itu berasal dari anak ranting. Itu suatu kehormatan. Noel yang tidak tahu," pungkasnya.
(knv/fas)