Akademisi Kritik Bagi-bagi Kursi Komisaris untuk TKN Kurang Pas

Akademisi Kritik Bagi-bagi Kursi Komisaris untuk TKN Kurang Pas

Jauh Hari Wawan, Wisma Putra, Bima Bagaskara - detikNews
Rabu, 28 Feb 2024 20:24 WIB
Ilustrasi kepemimpinan transformasional.
Foto ilustrasi (Getty Images/500px Unreleased/Usama Arshad / 500px)
Jakarta -

Para akademisi mengkritik bagi-bagi kursi komisaris untuk penggawa Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran. Akademisi berasal dari pelbagai kampus Indonesia.

Dari UGM, ada pakar politik Arya Budi. Menurutnya, pembicaraan soal bagi-bagi jabatan masih terlalu prematur untuk saat ini. Sebab, Pemilu 2024 belum selesai.

Di sisi lain, Arya juga menilai, lawan politik dari Prabowo-Gibran juga masih mengawal hasil pemilu. Sehingga ini tak elok jika bagi-bagi kursi kekuasaan itu dilakukan sekarang. Dia menyarankan agar semua pihak, terutama yang diprediksi menang agar bisa menahan diri dan menghormati proses pemilu yang masih berjalan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi paslon yang diproyeksikan menang harus menahan diri. Apalagi statemen yang muncul adalah ingin merangkul semua elemen, justru yang dilakukan adalah menahan diri untuk tidak mengeksploitasi potensi menang itu dengan bagi-bagi kursi atau victory speech karena sekarang proses masih berjalan di KPU meskipun ada data quick count yang cukup valid terkait dengan hasil perolehan suara," kata pakar politik UGM, Arya Budi, kepada detikJogja, Rabu (28/2/2024).

Dari Universitas Islam Bandung (Unisba), dosen Fakultas Komunikasi Muhammad E Fuady menilai pengangkatan Prabu Revolusi sebagai Komisaris Independen PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) jangan sampai menjadi amunisi pemerintah untuk melawan kritik publik. Fuady mengatakan fenomena pengangkatan relawan atau timses menjadi komisaris sebetulnya hal yang sudah lama dilakukan.

ADVERTISEMENT

"Dalam politik tidak ada lawan dan kawan abadi, yang ada cuman kepentingan. Dalam politik itu lumrah menyerang dan sejauh mana orang tersebut bisa lihat peluang yang lebih menguntungkan dirinya baik secara personal ataupun karier. Hanya dalam perspektif lain oleh publik, kalau ada hal seperti itu publik bakal mengkritisi, bisa katakan kutu loncat atau bilang tidak loyal," kata Fuady dihubungi detikJabar via sambungan telepon.

"Jangan sampai juga jadi komisaris jadi amunisi pemerintah menembak para aktivis yang mengkritisi pemerintahan. Pernah juga terjadi, saya tak sebutkan siapa, ada relawan diangkat menjadi komisaris lalu dia banyak ngetwit menyerang kritik publik terhadap pemerintah, seharusnya fokus pada aktivitas sebagai komisaris ini terlalu banyak berkomentar dengan urusan yang mungkin bukan bidangnya, sehingga publik banyak kritis komisaris tersebut dan ini berkaitan dengan lembaga atau BUMN tersebut," jelasnya.

Meski demikian, Fuady menyebut kebijakan itu kembali pada Menteri BUMN Erick Thorir sebagai pemangku kebijakan. Fuady berharap, kepada presiden terpilih periode berikutnya tak melakukan hal sama.

"Sebaiknya kita sudah tinggalkan pola politik hutang budi, balas jasa atau angkat seseorang karena jasa politiknya. Harus ada koridor atau tahapan aspek kepatutan atau kelayakan," tuturnya.

Ada pula Komandan Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (TKN Fanta) Prabowo-Gibran, Muhammad Arief Rosyid Hasan, Siti Zahra Aghnia diangkat jadi komisaris PT Pertamina Patra Niaga.

Adanya bagi-bagi kursi jabatan tersebut dikritisi Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin. Ujang menyebut seharusnya bagi-bagi jabatan itu tidak dilakukan saat tahapan Pemilu belum tuntas.

"Ya mestinya ditahan dulu ya jangan bagi-bagi jabatan dulu, jangan bagi-bagi komisaris dulu. Kenapa, ini untuk menjaga kepercayaan rakyat, menjaga kepercayaan pemilih kepada Prabowo-Gibran," ucap Ujang saat dikonfirmasi detikJabar.

Ujang menyayangkan, Pemilu yang masih tahap rekapitulasi suara yang berjalan damai terganggu dengan isu bagi-bagi jabatan. Seharusnya, pemberian hadiah bagi tim sukses dilakukan saat KPU sudah mengumumkan secara resmi siapa pemenangnya.

"Agar betul-betul Pemilu saat ini yang sudah berjalan aman damai, dalam konteks itu mesti ditahan. Nanti kalau sudah dilantik, kalau sudah diumumkan pemenangnya di KPU, kalau sudah kondusif baru," ungkap dosen Univeresitas Al Azhar ini.

Bagi-bagi kursi komisaris di perusahaan plat merah seperti yang dilakukan kepada Siti Zahra Aghnia dan Prabu Revolusi terkesan terburu-buru dan tidak tepat dilakukan saat ini.

"Menurut saya kalau saat ini belum tepat dan ini tentu kurang pas dan harus menjadi bahan perhatian TKN untuk menjaga kepercayaan publik dengan tidak memberi pos-pos kepada pihak tertentu, sebelum semuanya beres, sebelum semuanya tahapan Pilpres berjalan dengan aman dan lancar," pungkasnya.

Simak juga 'TKN: Prabowo Belum Bicara soal Menteri, Terbuka Bagi yang Belum Berkoalisi':

[Gambas:Video 20detik]



(dnu/dnu)



Hide Ads