Mahkamah Konstitusi (MK) tak menerima gugatan nomor 141/PUU-XXI/2023 mengenai perkara gugatan ulang terhadap syarat usia capres-cawapres di dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sebelumnya berubah oleh Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Ketua Koordinator Strategis Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Sufmi Dasco Ahmad, memandang putusan itu menegaskan legitimasi konstitusional terhadap pencalonan Gibran di Pilpres 2024.
"Putusan MK nomor 141/PUU-XXI/2023 menegaskan legitimasi konstitusional terhadap pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2024. Dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi menolak dengan tegas permohonan pemohon yang secara substansi ingin mengubah kembali ketentuan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 yang telah dimaknai oleh MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023," kata Dasco dalam keterangannya, Kamis (30/11/2023).
Ketua Harian Partai Gerindra ini mengapresiasi MK atas putusan tersebut. Dia menyinggung pertimbangan majelis hakim yang menyebut dalil pemohon mengandung intervensi dan ada konflik kepentingan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Tok! MK Tolak Gugatan Syarat Capres-Cawapres |
Seiring putusan ini, Dasco memandang bahwa putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang memutus syarat capres-cawapres berusia minimal 40 tahun dan pernah menjabat kepala daerah, tidak bertentangan dengan konstitusi.
Dengan demikian, Dasco mengajak berbagai pihak tidak mengeluarkan narasi negatif terhadap cawapres usungannya, Gibran Rakabuming.
Berikut pernyataan lengkap Dasco:
Putusan MK Nomor 141/PUU-XXI/2023 Menegaskan legitimasi konstitusional terhadap pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2024. Dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi menolak dengan tegas permohonan Pemohon yang secara substansi ingin mengubah kembali ketentuan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 yang telah dimaknai oleh MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Kami mengapresiasi sikap Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya yang menyatakan dalil Pemohon bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengandung intervensi dari luar, mengandung konflik kepentingan, menjadi putusan cacat hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengandung pelanggaran prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak dapat dibenarkan.
Kami juga mengapresiasi sikap MK yang memperjelas dan menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum dan tidak bertentangan dengan perlindungan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut mahkamah dalil-dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Dengan adanya putusan MK nomor 141/PUU-XXI/2023 Ini, kami menyerukan agar tidak ada lagi framing jahat Yang menyebutkan pencalonan Gibran dilakukan secara cacat hukum, ataupun melanggar etika. Baiknya kita bersama sama mengedukasi publik, agar bisa memahami substansi persoalan dengan tepat.
Intinya, dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, anak muda mendapat tempat terhormat karena bisa ikut serta dalam kontestasi yang amat bermartabat yakni pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Putusan MK
MK tak menerima gugatan nomor 141/PUU-XXI/2023 pada sidang pembacaan putusan, kemarin. Perkara tersebut berkaitan dengan gugatan terhadap syarat usia capres-cawapres di dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sebelumnya berubah oleh Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam pertimbangannya, MK pada pokoknya menegaskan putusan itu secara hukum telah berlaku sejak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum, sehingga bersifat final dan mengikat, sebagaimana putusan MK lainnya.
"Jika dikaitkan dengan ketentuan norma Pasal 10 dan Pasal 47 UU MK serta Pasal 77 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021, maka Mahkamah berpendapat Putusan a quo adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final," kata hakim konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan putusan, Rabu (29/11).
"Terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum. Hal tersebut dikarenakan, Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan konstitusi di Indonesia tidak mengenal adanya sistem stelsel berjenjang yang mengandung esensi adanya peradilan secara bertingkat yang masing-masing mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi oleh badan peradilan di atasnya terhadap putusan badan peradilan pada tingkat yang lebih rendah sebagai bentuk 'upaya hukum'," sambungnya.
Simak juga Video: Bos PPI soal TPN Ganjar-Mahfud Serang Jokowi: Nggak Produktif