Soal Cawapres, Effendi Gazali: Politik Dinasti Akan Berhadapan Dinasti Lain

Soal Cawapres, Effendi Gazali: Politik Dinasti Akan Berhadapan Dinasti Lain

Lisye Sri Rahayu - detikNews
Kamis, 28 Sep 2023 08:16 WIB
Jakarta -

Pakar komunikasi politik Effendi Gazali mengatakan politik dinasti akan berhadapan dengan dinasti yang lain. Effendi lantas menyinggung ada pihak yang sudah lama berjuang tapi tak kunjung menjadi calon wakil presiden (cawapres).

Effendi menyampaikan hal itu dalam diskusi Adu Perspektif kolaborasi detikcom dengan Total Politik yang tayang di detikcom, Rabu (27/9/2023) malam. Effendi awalnya mengomentari video wawancara politikus senior PDIP, Panda Nababan, yang menyebut putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang terjun ke dunia politik mengalami proses pengkarbitan.

"Jadi karbitan itu mesti dibaca dalam perbandingan bahwa di zaman misalnya Pak Harto apa yang terjadi, di zaman Bu Mega dulu, zaman Pak SBY dan sekarang. Ini (karbit) agak kecepatan, jadi sebetulnya karbitan itu mempercepat buah pisang yang harusnya matang di pohon, dipercepat menjadi matang lalu Anda konsumsi, enak atau tidak terserah pada Anda, tapi prosesnya itu pengkarbitan," kata Effendi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Effendi kemudian memberi contoh proses politik anak Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Effendi menyebut anak SBY baru menjadi menjadi ketua umum partai setelah SBY selesai menjabat sebagai presiden.

"Nah sementara dalam konteks misalnya saja Pak SBY, anak-anaknya baru maju sesudah dia selesai masa jabatannya. Kenapa? Dalam demokrasi presiden itu terlalu kuat dalam sistem presidensial, dia akan menguasai semuanya, Anda sebutlah apa saja. Sesudah dia baru apa, menteri koordinator, gitulah ya, kan ditugaskan di mana-mana," tuturnya.

ADVERTISEMENT

"Dengan dia yang posisinya sangat kuat itu dikhawatirkan semua orang akan jadi 'yes man' dan mempermudah termasuk dengan cara-cara yang tidak adil, itu saja yang dikhawatirkan," lanjutnya.

Effendi menyebut di dalam demokrasi akan ada sejumlah kekhawatiran jika anak ataupun menantu presiden yang masih menjabat maju pada pemilihan umum. Dia kemudian berbicara tentang asas kesetaraan.

"Jadi dalam demokrasi memang ada kekhawatiran ketika anak dan menantu dari seseorang yang masih menjadi petahana, untuk maju dan itu tidak terjadi di masa-masa sebelumnya itu akan ada hal-hal yang bisa diminta dan tidak diminta dilakukan, dan itu melanggar asas-asas kesetaraan atau kesamaan hak ya, dan pelanggaran-pelanggaran dalam keadilan," kata Effendi.

Dinasti Dilawan Dinasti Lain

Effendi kemudian berbicara tentang politik dinasti. Menurutnya, politik dinasti akan dilawan dengan dinasti yang lain. Dia memberi contoh Presiden Amerika Serikat (AS) Ronald Reagen dan John F Kennedy.

"Yang kedua, dinasti itu akan berhadapan dengan dinasti lain, hati-hati loh, yang marah itu bukan cuma pengamat demokrasi, kan pengamat demokrasi memperhatikan 'ini agak kurang demokratis, kurang demokratis, karena ayahnya masih ada di situ...' Reagan kan pernah dipersoalkan juga waktu itu, misalnya, Kennedy apalagi, tapi intinya bukan itu, ada lagi dinasti-dinasti yang lain lihat, 'lho anak kami lama sekali dan belum jadi wapres, kok ada yang main...', nggak, (itu) di luar negeri," kata dia.

"Kalau Anda tarik ke belakang, sampai ke zaman dinasti Tiongkok, kenapa dinasti-dinastinya itu pecah dan berperang, 'Raja Anda, cepat sekali? Anda bisa jadi'," imbuhnya.

Effendi kembali menekankan bahwa politik dinasti itu akan berhadapan dengan dinasti lain. Sebab, menurutnya, proses yang dilakukan oleh satu dinasti untuk mendapatkan kekuasaan begitu cepat.

"Jadi yang berhadapan itu tidak hanya dengan pemerhati demokrasi, tapi mereka yang sama-sama dinasti melihat 'Kok Anda cepat sekali, kami ini melakukan tanpa karbit, tanpa proses pengkarbitan tadi, atau karbitnya agak kuranglah, kok Anda main karbit sekali kan Anda melangkahi hak kami juga, siapa sih Anda?'. Nah itu logika di zaman Tiongkok kuno dulu," kata dia.

(lir/jbr)



Hide Ads