Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendatangi Bawaslu RI siang ini. Mereka menuntut Bawaslu untuk memberikan surat rekomendasi kepada KPU untuk merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menilai Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 telah melanggar konstitusi. Mereka berpendapat PKPU tersebut mematikan keterwakilan perempuan di legislatif.
"Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menyatakan menolak Pasal 8 Ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 karena melanggar UUD negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU Pemilu dan mematikan upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam pencalonan DPR dan DPRD," ujar Aktivis Perempuan Valentina Sagala di kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab itu, Valentina mengatakan pihaknya meminta Bawaslu untuk melakukan pengawasan pada PKPU tersebut. Dia meminta Bawaslu untuk menerbitkan rekomendasi kepada KPU untuk merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
"Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan Menuntut Bawaslu untuk menjalankan perannya dalam melakukan pengawasan tahapan penyelenggaraan pemilu dalam waktu 2x24 jam," ujarnya.
"Sesuai kewenangannya Bawaslu harus menerbitkan Rekomendasi kepada KPU untuk segera merevisi Pasal 8 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU Pemilu," sambungnya.
Valentina mengatakan jika 2x24 jam Bawaslu tidak menerbitkan rekomendasi tersebut, maka Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan akan melakukan upaya hukum.
"Menuntut pemulihan hak politik perempuan berkompetisi pada Pemilu 2024 dengan melaporkan ke DKPP dan juga melakukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA)," ungkap dia.
Sementara itu, Anggota Dewan Penasihat Perludem Titi Anggraini mengatakan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 bertentangan dengan ketentuan Pasal 245 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Di mana dalam Pasal tersebut diamanatkan bahwa daftar caleg di setiap dapil memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan.
"Pasal 8 dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2023 berdampak pada berkurangnya keterwakilan perempuan atau kurangnya keterwakilan perempuan, dari 30% paling sedikit di setiap dapil. Jadi menghasilkan penghitungan yang kurang dari 30% keterwakilan perempuan, setidaknya pada 4 dapil yang dengan bacaleg berjumlah 4,7, 8 dan 11," ujar dia.
Titi mengatakan jika aturan itu diikuti oleh parpol, akan mengakibatkan bacaleg yang diajukan kurang dari 30 persen. Dia menuturkan dengan begitu banyak hak politik perempuan yang diciderai.
"Perempuan yang harusnya berkompetisi di Pemilu 2024 lalu tidak mendapatkan tiket itu. Karena keterwakilan perempuan didistorsi dieliminasi oleh ketentuan itu," tuturnya.
Sebagai informasi, Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dinilai bisa membuat keterwakilan perempuan di legislatif menjadi kurang dari 30%. Pasal ini mengatur terkait pembulatan desimal ke bawah dalam teknis penghitungan proporsi jumlah keterwakilan perempuan di satu dapil.
"Dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: (a) kurang dari 50 (lima puluh), maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau (b) 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas," bunyi Pasal 8 Ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
Akibat dari aturan itu, keterwakilan perempuan akan kurang dari 30% di sejumlah dapil. Semisal, pada dapil yang memberlakukan 7 caleg, 30% dari jumlah tersebut ialah 2,1.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023, angka di belakang koma kurang dari 50, maka 2,1 dilakukan pembulatan menjadi 2 orang.
(amw/maa)