Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Demokrat Benny K Harman menyoroti gugatan sistem pemilu proporsional terbuka atau mencoblos gambar calon legislatif (caleg) di MK. Benny menyinggung peran MK sembari menegaskan permasalahan sistem pemilu merupakan wewenang pembentuk undang-undang.
"Masih sistem terbuka vs tertutup. Soal ini menjadi kewenangan penuh dari pembentuk UU: Presiden dan DPR," kata Benny, Senin (16/1/2023).
Benny menyebut Presiden dan DPR merupakan elemen pembentuk undang-undang dan meminta Mahkamah Konstitusi tak ambil kewenangan.
"Inilah yang disebut open legal policy (OLP) pembentuk UU itu. Tidak ada isu konstitusionalitas di sana. Janganlah MK ambil alih kewenangan law maker," sambungnya.
Benny menyarankan pihak yang mendorong sistem proporsional tertutup atau coblos partai untuk memahami kembali Pasal 22 E ayat (2). Menurut Benny, bunyi pasal itu jelas jika pemilu yang diselenggarakan jelas untuk memilih anggota, bukan suatu partai.
"Untuk mereka yang ngebet usul sistem tertutup, baca Pasal 22E Ayat (2): Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPRD, Presiden, Wapres dan DPD. Sekali lagi memilih anggota DPR bukan memilih partai politik," tutur Benny.
"Terang benderang kan. Ayo MK, jangan jadi alat golongan tertentu," imbuhnya.
Sebelumnya, delapan fraksi di DPR kecuali PDIP masih terus menggencarkan aksinya dalam menolak sistem pemilu proporsional tertutup atau mencoblos partai, bukan nama caleg. Terbaru, kedelapan fraksi ini menggelar konferensi pers di DPR membacakan pernyataan sikap mereka menjelang sidang perkara sistem pemilu terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Komisi II DPR Fraksi Golkar Ahmad Doli membacakan pernyataan sikap 8 parpol ini. Mereka menolak pemilu proporsional tertutup diterapkan di Pemilu 2024.
Doli mengungkit putusan MK terkait sistem pemilu yang mengamanatkan pemilihan langsung pada 2008 lalu. Sejak itu, kata dia, rakyat dapat memilih orang yang mewakili mereka di legislatif secara langsung.
"Kita termasuk negara yang menganut sistem pemilihan langsung, terutama dalam pemilihan presiden dan kepala daerah juga dalam pemilihan legislatif, yang semuanya diangkut dalam undang-undang dasar 1945, itulah juga yang menjadi dasar saat mahkamah konstitusi mengeluarkan keputusan mahkamah konstitusi nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008," kata Doli.
"Sejak itu rakyat diberi kesempatan untuk bisa mengenal, memilih dan menetapkan wakil mereka secara langsung orang per orang, tidak lagi tertutup, tidak lagi menyerahkan sepenuhnya hanya ke melalui kewenangan partai politik semata, itulah kemajuan sekaligus karakteristik demokrasi kita Indonesia," sambungnya.
Doli mengatakan rakyat sudah terbiasa berpartisipasi secara langsung dalam menentukan pilihannya. Dengan demikian, Doli berharap sistem pemilu terbuka atau mencoblos langsung nama calegnya, bukan gambar partai, harus dipertahankan.
"Rakyat kita pun juga sudah terbiasa berpartisipasi dengan cara demokrasi seperti itu. Oleh karena itu kemajuan demokrasi kita pada titik tersebut harus kita pertahankan dan malah harus kita kembangkan ke arah yang lebih maju dan jangan kita biarkan atau kembali mundur," kata dia.
(dwr/gbr)