"Itulah demokrasi dan bagi PDIP, sama, ketika pada tahun 2009 ketika MK mengambil keputusan, sikap PDIP taat asas," kata Hasto di kantor DPP PDIP, Selasa (3/1/2023).
Hasto menekankan sikap PDIP itu dilatarbelakangi dengan keyakinan bahwa peserta pemilu adalah parpol. Dengan demikian, kader-kader yang nantinya menjadi anggota legislatif cukup dipilih partai.
"Bagi PDIP, kami berpolitik dengan suatu prinsip, dengan suatu keyakinan berdasarkan konstitusi, peserta pemilu adalah parpol. Kami ingin mendorong mekanisme kaderisasi di internal partai," katanya.
Lebih lanjut, Hasto menyebut PDIP merupakan partai yang menggencarkan kaderisasi pendidikan politik terhadap kader-kadernya. "Kita bukan hanya partai yang didesain untuk menang pemilu, tapi menjalankan fungsi kaderisasi pendidikan politik, memperjuangkan aspirasi rakyat, menjadi kebijakan publik, dan di situlah proporsional tertutup kami dorong," kata Hasto.
Alasan lainnya, Hasto mengatakan sistem proporsional tertutup atau coblos partai akan mendesain penentuan caleg berdasarkan kompetensinya, bukan popularitas. Menurutnya, sistem ini bisa mendorong para akademisi, tokoh agama, dan tokoh-tokoh purnawirawan terpilih menjadi caleg.
"Yang penting kami bisa mendorong, kaum akademisi dari perguruan tinggi, tokoh-tokoh agama misalnya, tokoh-tokoh purnawirawan, itu dengan mekanisme proporsional tertutup lebih memungkinkan bagi mereka untuk didorong terpilih. Karena basenya adalah kompetensi. Jadi proporsional tertutup itu basenya adalah pemahaman terhadap fungsi-fungsi Dewan. Sementara kalau proporsional terbuka adalah populatitas," ujarnya.
Hasto lalu menyinggung soal anggaran penyelenggaraan pemilu yang dipengaruhi oleh sistem ini. Menurut dia, sistem proporsional tertutup akan menghemat biaya pemilu bagi parpol-parpol.
"Kalau kita ekstrapolasikan saja dengan menggunakan inflasi, kita feature value-kan pada tahun 2004 kan ada 3 pemilu, pemilu legislatif, pilpres putaran pertama, pilpres putaran kedua, itu biayanya sekitar Rp 3,9 triliun. Kalau dengan inflasi 10% saja ditambah dengan adanya Bawaslu dan sebagainya itu perkiraan 31 triliun, tapi nanti KPU yang lebih punya kewenangan untuk menghitung bersama pemerintah biaya pemilu," katanya.
"Jadi ada penghematan sistem menjadi lebih sederhana dan kemudian kemungkinan terjadinya manipulasi menjadi kurang. Dan dulu kan begitu banyak penyelenggara pemilu yang karena terlalu capek akibat pemilu yang begitu kompleks, itu nanti semua bisa dicegah," sambung dia. (fca/gbr)