Politikus Partai NasDem, Zulfan Lindan, membawa-bawa teori filsafat ini untuk mengupas posisi politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Ini teori yang kini mengguncang politik nasional Indonesia.
Teori itu adalah teori dialektika dari Georg Wilhelm Friedrich (GWF) Hegel (1770-1831). Menurut Zulfan, Anies adalah antitesis dari Jokowi sehingga Anies cocok diusung partainya menjadi bakal capres.
"Ini sudah kita kaji dengan pendekatan filsafat dialektika, ini dengan pendekatan-pendekatan filsafatnya Hegel," kata Zulfan dalam program Adu Perspektif bertema 'Adu Balap Deklarasi, Adu Cepat Koalisi', Selasa (11/10/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: NasDem: Anies Antitesis Jokowi |
Dia memandang Anies sebagai antitesis Jokowi karena Anies dinilainya punya kemampuan berpikir dan rumusan kebijakan yang berbeda dari Jokowi. Sedangkan tokoh lain yang sama-sama dibicarakan sebagai bakal capres adalah Ganjar Pranowo, Puan Maharani, hingga Prabowo Subianto. Tiga nama itu dinilainya bukan antitesis Jokowi, karena masih mirip dengan Jokowi.
PDIP memprotes pernyataan itu. Zulfan kemudian menjelaskan memang demikian teori Hegel yang menafsirkan jalannya sejarah dan realitas. "Dalam kaitan Anies Baswedan sebagai antitesis Pak Jokowi, jangan dipahami saling bertabrakan," kata dia.
![]() |
Jokowi yang berkarakter implementatif berbeda dengan Anies yang berkarakter konseptualistik. Namun, PDIP yang merupakan partai penguasa sudah kadung memaknai NasDem mengambil posisi diametral. Politik nasional berguncang gara-gara teori Hegel. Zulfan Lindan bahkan ditendang dari kepengurusan partainya sendiri gara-gara berucap soal teori itu.
Selanjutnya, teori dialektika Hegel:
Simak Video 'Zulfan Lindan Buka Suara Usai Dinonaktifkan dari NasDem':
Dialektika Hegel
Dialektika adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan metode argumen filsafat yang mencakup sejumlah proses yang saling bertentangan dan beroposisi. Konsep 'dialektika' sebenarnya sudah dikembangkan oleh para filsuf sebelum Hegel, bahkan sampai Plato.
Dikutip dari Stanford Encyclopedia of Philosophy, Hegel memahami aspek-aspek yang beroposisi dalam dialektika sebagai 'kesadaran' dan 'objek dari kesadaran'. Hegel percaya bahwa nalar senantiasa menghasilkan kontradiksi. Premis-premis selanjutnya yang dihasilkan nalar juga bakal menghasilkan kontradiksi lebih lanjut. Segala realitas di alam semesta dipahami Hegel mengikuti hukum dialektika.
Ada tiga momen dialektika: Momen pertama adalah momen 'ketetapan' yakni saat segala hal menjadi punya bentuk dan definisi yang stabil.
Momen kedua adalah momen dialektikal, yakni momen instabilitas. Prosesnya disebut sublasi, dalam bahasa Inggris disebut 'sublation' atau dalam bahasa Jerman disebut 'aufgehoben/aufhebung'. Makna 'sublasi' ada dua yakni 'membatalkan (menegasikan) sekaligus memelihara dalam momen yang bersamaan'.
Sublasi ini unik karena aspek yang saling beroposisi tidak sepenuhnya membuang satu sama lain, melainkan juga memelihara satu sama lain.
Momen ketiga adalah momen spekulatif. Momen ini menyatukan aspek-aspek yang saling beroposisi. Dialektika ini mendorong realitas ke arah yang absolut: terakhir, final, dan lengkap.
Hukum dialektika Hegel berjalan tanpa memerlukan ide baru yang dimunculkan. Hukum dialektika berjalan secara alamiah, dialektika adalah kepastian alam. Rasio alam akan 'memaksa' dialektika itu berjalan terus.
![]() |
Tesis-antitesis-sintesis, benarkah dari Hegel?
Dialektika Hegel sering dijelaskan oleh banyak orang, termasuk Zulfan Lindan, dengan metode: tesis-antitesis-sintesis. Begini skemanya:
1. Muncul tesis
2. Suatu tesis akan disambut dengan hal yang berlawanan yang dinamakan antitesis.
3. Akhirnya, tesis dan antitesis itu menghasilkan sintesis. Sintesis ini menjadi tesis baru dan kemudian disambut sintesis selanjutnya. Seterusnya akan seperti itu.
Menurut Gustav E Mueller dalam 'The Hegel Legend of 'Thesis-Antithesis-Synthesis', istilah tesis-antitesis-sintesis bukanlah istilah Hegel melainkan istilah yang dikemukakan filsuf Jerman yang sezaman dengan Hegel, yakni Johann Gottlieb Fichte (1762-1814).
"Dalam seluruh 20 volume karya lengkap Hegel dia tidak menggunakan triade (tesis, antitesis, sintesis) ini sekalipun; juga istilah itu tidak muncul dalam delapan volume teks-teks Hegel yang diterbitkan pertama kali di abad 20," demikian tulis Gustav E Mueller.
Meski begitu, pemahaman dialektika Hegel sebagai 'tesis-antitesis-sintesis' ini terus diriwayatkan. Sampai-sampai, Karl Marx juga memahami dialektika Hegel sebagai 'tesis-antitesis-sintesis'. Marx kemudian mengkritik Hegel dari pemahaman tersebut.
Marx mengkritik dialektika Hegel (yang sebenarnya juga dia pakai terus) perlu dijungkirbalikkan. Soalnya, Dialektika Hegel seperti berjalan dengan kepala. Maksudnya, Hegel mendasarkan dialektikanya pada dunia ide, padahal seharusnya dialektika didasarkan pada benda (materialisme), ekonomi, hingga mode produksi dalam masyarakat.
(dnu/gbr)